Siapa sangka moment KKN mampu mempertemukan kembali dua hati yang sudah lama terasa asing. Merangkai kembali kisah manis Meidina dan Jingga yang sudah sama-sama di semester akhir masa-masa kuliahnya.
Terakhir kali, komunikasi keduanya begitu buruk dan memutuskan untuk menjadi dua sosok asing meski berada di satu kampus yang sama. Padahal dulu, pernah ada dua hati yang saling mendukung, ada dua hati yang saling menyayangi dan ada dua sosok yang sama-sama berjuang.
Bahkan semesta seperti memiliki cara sendiri untuk membuat keduanya mendayung kembali demi menemui ujung cerita.
Akankah Mei dan Jingga berusaha merajut kembali kisah yang belum memiliki akhir cerita itu, atau justru berakhir dengan melupakan satu sama lain?
****
"Gue Aksara Jingga Gayatra, anak teknik..."
"Meidina Sastro Asmoro anak FKM, kenal atau tau Ga?"
"Sorry, gue ngga kenal."
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah yang tak kan ada akhirnya
Jingga
Jingga mengguyur badannya mulai dari atas kepala, benar-benar menerjang tubuhnya dengan air di titik suhu 19 derajat celcius malam ini.
Pikirannya begitu berisik, rasa berdenyut itu masih ada dan semakin membuatnya menggila. Ia tak berhasil membujuk hatinya sendiri untuk berdamai dengan keadaan di masa lalu.
Senyumnya tersungging miring mengingat sejauh ini ia telah bertindak konyol meminta pihak LPM, DPM dan DPL untuk merolling posisi dirinya dengan salah satu anggota kelompok 21, bisa? Tentu saja...dengan semua sepak terjang dan keistimewaannya di dalam organisasi kampus serta kedekatannya dengan beberapa dosen.
Demi apa? Apa ia terobsesi? Terserah apa namanya, ia tak peduli.
***
Ini cucu saya Meidina, senyum enin yang masih terpotret menjadi luka menganga sampai detik ini selalu membuat Jingga murka.
Kenangan 2 tahun lalu, ketika ia dengan sengaja datang ke Bandung demi bertemu separuh hatinya diantara rasa lelah mendera tubuh, ia justru harus dihadapkan dengan pemandangan menyesakan.
Ia melihat satu mobil yang terparkir di rumah enin Mei, memuntahkan satu keluarga bersama euforia persis orang lamaran.
"Mei makin cantik. Kapan lulus? Mau langsung nikah aja apa tunangan dulu sama Izan?"
Mei terkekeh renyah disana, menepis udara.
Otak pintarnya mendadak gulita. Tak bisa lagi berpikir...ia memutuskan untuk menerjang perjalanan kembali ke Jakarta dengan segera. Separuh hati yang hendak ia jemput, nyatanya telah Mei hancur leburkan sebelum Jingga benar-benar bisa menyatukannya kembali.
****
Jingga berkali-kali mengguyur kepala yang diliputi hawa panas, padahal sekujur badannya telah pegal dan kebas karena air yang begitu dingin.
"Ga, dingin ngga airnya?" pertanyaan random yang diteriakan Alby itu jelas-jelas tak membutuhkan jawaban, karena ia sudah pasti tau. Jingga keluar dengan rambut basahnya yang ia gosok-gosok dengan handuk.
"Ngga usah dijawab, Ga...liat muka lo aja sudah terjawab, muka lo persis es batu..." ucap Alby lagi, "ini kompor gas nyala kan?"
"Ngga usah manja, By...buruan...mau gue dulu apa lo?" Arlan sudah bersiap nyerobot dengan handuk di sebelah pundaknya.
Jingga berjalan masuk ke dalam, melewati dapur dan jelas saja kamar yang saling berhadapan. Mau tak mau matanya disuguhi oleh Meidina yang menepuk-nepuk kasur agar ia lebih nyaman. Gadis itu sudah berganti pakaian dengan yang lebih nyaman dan kaus kaki, seraya bercanda receh bersama anggota perempuan lain.
Jingga melanjutkan langkahnya ke arah ruang depan, dimana Maru masih bergelut dengan teh manis hangat bersama Mahad yang mulai mengeluarkan barang-barangnya termasuk sleeping bad miliknya.
Otaknya masih saja berisik, Lo jangan nyesel, Ga...gue baru tau kabar kalo ternyata Mei itu jomblo sampai sekarang, dia ngga tunangan seperti yang lo liat waktu itu. Dan demi apa, suara Satria yang heboh itu membuatnya menyesal dan kembali mengumpulkan serpihan hati miliknya beberapa minggu lalu. Tentu tak akan ia sia-sia kan kesempatan itu, dimana ia sempat melepakan Mei dan semua masa lalu bersama angin dan hujan, ingin mencoba membuka lembaran baru.
Namun kenyataannya Jingga tak sekuat itu, rasa pada Mei seolah tertanam abadi, meski sosok Mei-nya yang dahulu telah banyak berubah sekarang. Dimana Mei menjadi sosok yang lebih pendiam nan kalem, mungkin... Tanpa Mei tau, Jingga selalu memperhatikannya di kampus dari kejauhan. Ia rindu.....
Tapi kecanggungan dan rasa asing membuat Jingga tak mungkin langsung tiba-tiba datang memeluk gadis itu sebagai seorang kekasih yang telah lama hilang, seolah sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Sungguh komunikasi mereka begitu buruk.
***Meidina***
Malam pertama, bagi Mei cukup nyenyak meskipun beberapa kali ia harus terbangun untuk ke kamar mandi dan rasa tak biasa. Begitu pula dengan suara binatang malam terutama toke dan burung hantu. Sempat ia ke kamar mandi pukul 12 malam, dan masih mendengar beberapa orang berbincang...entah siapa yang belum tidur selarut itu.
Ketika ia mendengar sayup suara adzan Mei tak bisa membuat matanya kembali terpejam, ia menjadi orang pertama yang bangun di kamar perempuan.
Melongokan kepalanya ke arah ruang depan, karena suara berisik alarm entah milik siapa berbunyi sangat kencang.
Akhirnya ia tau, siapa yang semalam tidur larut, dimana ia menemukan Mahad yang setia di dalam sleeping bagnya macam kepompong, Jingga di sampingnya, berderet acak-acakan dengan Alby dan Maru.
Sementara di kamar laki-laki, ia menemukan Arlan, Jovian, Arshaka yang bertumpuk dengan Zaltan, memang serandom itu gaya tidur mereka.
Niat hatinya mematikan alarm, namun langkah Mei tertahan oleh geliat resah penghuni ruang depan.
"Woyy, alarm matiin oyyy, siapa yang pasang alarm...Ga, Mahad..." parau Alby sewot diantara mata yang masih terpejam, "dingin banget anjirrr suer...auto gatel-gatel karena alergi gue besok.." ia menarik selimutnya lebih erat.
Jingga terlihat meraba-raba ke segala arah demi mematikan alarm ponsel milik Maru, "Ru, alarm lo matiin, Ru." Tapi si empunya ponsel justru tak tergoyahkan sama sekali.
Mei bergegas ke area belakang demi duluan masuk ke kamar mandi. Namun si alnya, air yang ada di jolang besar dan ember justru habis.
"Duh abis banget lagi airnya." Mungkin hanya cukup untuknya mengambil wudhu dan gosok gigi saja.
"Airnya abis?" Mei terperanjat terkejut manakala suara itu datang secara tiba-tiba.
"Astaga kaget ih...iya." Angguknya masih menetralkan kondisi jantung. Jingga mendorong kacamatanya turut melihat tempat air yang kosong.
"Ya udah. Untuk urusan air, biar jadi urusan anak-anak cowok..." ia sudah ikut masuk ke dalam kamar mandi, membuat Mei sedikit menepi memberikan ruang ketika Jingga menarik ember kecil bertali dan mulai menurunkannya ke dalam sumur secara hati-hati.
"Ga," Mei masih berdiri memainkan kedua jarinya gugup.
"Hm?"
"Gue ngga kuat pengen pi pis ih," keluhnya, maksudnya lebih seperti...*lo keluar dulu, gue mau pipis*.
Tapi sepertinya kepekaan Jingga memang langka, sejak dulu pemuda ini memang menyebalkan, kan?!
"Ya udah pi pis aja." Santainya tak mengindahkan ekspresi Mei yang sudah melotot.
Jingga justru masih anteng menarik tali timba, "ish, nyebelin...lo nya awas dulu, masa gue mau pi pis di depan lo." Kini sewot ciri khas Meidina keluar juga. Meski ia langsung mengalihkan pandangan ke lain arah dengan sebal.
*Byurrrrr*.....
Lantas menuangkan air dari ember ke dalam jolang, tanpa berkata-kata ia hanya menatap Mei sambil melengos keluar.
Ia sudah menuntaskan rasa membuncah dari kantung kemih, gosok gigi dan mengambil air wudhu, namun saat keluar dari kamar mandi tatapnya jatuh pada pemuda dengan kaus putih yang duduk di kursi meja makan, sejak tadi rupanya ia menunggu disana.
Mei sempat beradu tatap, namun kemudian ia berlalu duluan ke arah kamar.
\*\*\*\*
Hanya berselang 10 menit kemudian, suasana posko sudah ramai dengan antrean di depan kamar mandi yang mengular, teriakan pagi, dan kesewotan.
"Heh bang ke...bangun kagak?!" hardik Jovian, Alby yang masih membannngke justru berpindah tempat tidur ke kamar tanpa berniat bangun awal-awal.
"Ihhh, tidur tumpuk-tumpukan begitu...Zaltan udah ternodai, ngga lagi perjaka, awas dia hamil By...lo tin dih begitu!" seru Senja, tentu saja kelakuan para laki-laki ini dapat mereka lihat sebab pintu kamar laki-laki yang tak ditutup.
Mei tertawa, masih duduk bersama Arshaka, Maru dan Jingga di ruang depan. Dari pintu rumah yang terbuka, Syua sudah menyapa beberapa warga yang melintas demi memberitahukan bahwa kini mereka adalah bagian dari dusun Widya Mukti selama 45 hari ke depan. Bu Sri bahkan sudah berjalan mendekat membawa baskom berisi gorengan untuk sarapan anak-anak Jakarta ini.
Terlihat langkah Syua setengah berlari membawa baskom itu masuk, "masih anget nih guys!"
"Apa itu Yua?" tanya Mei sempat terdistrek dari obrolannya bersama ketiga laki-laki ini.
"Gorengan anget."
Pfft, Mei terhenyak sejenak lalu pandangannya beralih menatap Jingga sejenak yang ternyata melakukan hal sama dengannya.
"Wahhhh, gorengan makanan sejuta umat." Arshaka bahkan sudah meninggalkan tempatnya dan menggusur baskom hangat itu ke tengah, "guys gorengan nih!" serunya berteriak, mengundah riuh dan riak yang siap menyerbu baskom plastik itu.
"Sok atuh dimakan, mumpung masih anget..." ujar bu Sri yang sudah datang kembali membawa teko berisi teh tubruk panas.
"Makasih banyak ibu..." kata mereka.
"Mei, Ga...buruan nih...ntar diserobot Alby kalo makhluknya keburu bangkit, mon cong dia kan persis vacum. Lo berdua emangnya ngga suka gorengan?" Arshaka dan Yua telah menggigit rakus-rakus, para makhluk ajaib yang berada di kamar dan di dapur sudah mulai menyerbu.
"Suka kok suka..." angguk Mei.
"Nih, orang kaya aja langsung nyerbu gorengan gini. Gue pikir kalo orang kaya ngga suka tahu isi toge, Had."
"Terus orang kaya makannya tahu isi apa?" tanya Syua.
"Biasanya gue makan tahu isi mobil. Puas lo?" ujar Mahad.
Mei tertawa renyah melihat kegaduhan ini, *gorengan*...tak sengaja gumamnya lirih, membuat Jingga menoleh dengan senyuman tipis.
.
.
.
.
eeeeh tapi ngapain jingga n mei didlm????
jadi jangan ada yg di tutup²in lagi ya cantik