NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dhara Memberikan Nasihat

:

Perjalanan dari Jakarta ke Bandung biasanya memakan waktu tiga jam—tiga jam yang terasa seperti keabadian bagi Larasati yang duduk di kursi penumpang mobil Reza, menatap pemandangan yang berlalu dengan pikiran yang jauh.

Setelah malam di hotel kemarin—setelah kehangatan dan intimacy yang membuat dia merasa hidup lagi—Larasati bangun dengan realisasi yang menghantam: dia perlu bicara dengan ibunya. Dhara Kusuma, perempuan kuat yang membesarkannya dengan nilai-nilai tentang kemandirian dan self-respect, yang sekarang tinggal sendirian di rumah keluarga di Bandung sejak suaminya—ayah Larasati—meninggal lima tahun lalu.

Larasati belum cerita apapun pada ibunya tentang Gavin. Tentang perselingkuhan. Tentang kehancuran pernikahannya. Dia terlalu malu—malu karena gagal dalam pernikahan, malu karena tidak bisa pertahankan keluarganya, malu karena sekarang dia sendiri...

Sekarang dia sendiri apa? Selingkuhan? Perempuan yang balas dendam? Atau perempuan yang akhirnya menemukan kebahagiaan di tempat yang tidak terduga?

"Kamu oke?" tanya Reza, melirik sebentar dari jalan tol yang ramai. "Kamu diam sejak tadi."

Larasati tersenyum tipis—senyum yang tidak sampai ke mata. "Aku cuma... nervous. Aku belum cerita ke Ibu tentang semuanya. Dia tidak tahu tentang Gavin. Tentang kamu. Tentang... tentang apa yang sudah terjadi."

Reza meraih tangannya yang tergeletak di pangkuan, menggenggam dengan lembut. "Ibumu pasti akan mengerti. Dia perempuan kuat—seperti kamu. Dan apa pun yang dia katakan, aku akan ada di sini untuk support kamu, oke?"

Larasati mengangguk, tapi kekhawatirannya tidak berkurang.

---

Rumah keluarga Kusuma di kawasan Dago terlihat sama seperti terakhir kali Larasati berkunjung enam bulan lalu—rumah bergaya kolonial dengan taman yang rapi, tanaman mawar yang ibunya rawat dengan telaten, dan teras luas di mana keluarga dulu menghabiskan sore-sore bersama sebelum ayahnya pergi.

Mobil Reza berhenti di depan gerbang. Larasati turun dengan kaki yang terasa berat, menatap rumah yang dulunya jadi sanctuary-nya, sekarang terasa seperti tempat di mana dia harus mengakui kegagalannya.

"Mau aku ikut masuk?" tanya Reza, berdiri di sampingnya.

Larasati menggeleng. "Aku perlu bicara sama Ibu sendirian dulu. Tapi... tapi terima kasih sudah antar aku."

Reza cium keningnya—ciuman yang lembut, yang berbicara tentang support tanpa syarat. "Aku akan tunggu di kafe dekat sini. Telepon aku kalau kamu butuh apa-apa, oke?"

Setelah Reza pergi, Larasati berdiri di depan pintu dengan tangan yang gemetar, mencoba mengumpulkan keberanian. Lalu dia ketuk—tiga ketukan pelan.

Pintu terbuka hampir langsung, seolah ibunya sudah menunggu. Dan di sana—Dhara Kusuma, enam puluh dua tahun tapi terlihat lebih muda dengan rambut yang mulai beruban tapi masih tebal, mata yang tajam tapi penuh kehangatan, postur yang tegak dengan dignity yang natural—berdiri dengan ekspresi yang langsung berubah dari senang menjadi khawatir saat melihat wajah putrinya.

"Lara?" Suara ibunya lembut tapi penuh pertanyaan. "Sayang, ada apa? Kamu tidak bilang mau datang. Dan kamu..." Matanya memindai wajah Larasati—mata yang bengkak, wajah yang pucat, postur yang terlihat lebih kecil dari biasanya. "Kamu kelihatan... Ya Allah, apa yang terjadi?"

Dan Larasati—yang sudah bertahan sekuat tenaga, yang sudah fight dan confront dan pretend untuk strong—akhirnya runtuh. Di ambang pintu rumah ibunya, dengan aroma masakan dan kehangatan yang familiar menyambut, dia jatuh ke pelukan ibunya dan menangis seperti anak kecil yang terluka.

"Ibu..." isak Larasati, suaranya pecah. "Ibu, semuanya hancur. Semuanya..."

Dhara tidak bertanya. Dia hanya peluk putrinya lebih erat, satu tangan di kepala Larasati, yang lain di punggung, memberikan comfort dengan cara yang hanya ibu yang bisa.

"Masuk dulu, sayang," bisik Dhara. "Masuk. Ibu buatkan teh. Lalu kamu cerita semuanya."

---

Mereka duduk di ruang keluarga—ruangan yang penuh dengan foto-foto keluarga, dengan furniture yang sudah puluhan tahun tapi terawat, dengan kehangatan yang berbeda dari rumah Larasati sendiri yang terlalu besar dan terlalu dingin.

Dhara taruh dua cangkir teh di meja, duduk di sebelah Larasati dengan jarak yang cukup dekat untuk support tapi tidak invasif.

"Cerita sama Ibu," kata Dhara lembut. "Apa yang terjadi dengan Gavin? Dengan pernikahanmu?"

Dan Larasati cerita. Semua. Mulai dari menemukan email pertama, investigasi yang dia lakukan, foto-foto dari Bali, audio recording yang menghancurkan, confrontation dengan Gavin, Julian yang tampar kakaknya sendiri, sampai... sampai Reza.

Dia cerita tentang Reza dengan suara yang lebih pelan, dengan rasa bersalah yang menyelimuti setiap kata. Tentang bagaimana Reza ada di saat dia paling butuh. Tentang bagaimana mereka melewati garis yang tidak seharusnya dilewati. Tentang bagaimana—untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun—dia merasa dicintai dengan cara yang tulus.

Dhara mendengar tanpa interrupt, wajahnya tidak menunjukkan judgment atau kemarahan. Hanya perhatian yang fokus dan empati yang dalam.

Saat Larasati selesai—suaranya serak dari terlalu banyak bicara dan menangis—keheningan turun di ruangan.

"Ibu tahu," kata Dhara akhirnya, suaranya tenang tapi membawa weight.

Larasati menatapnya, terkejut. "Ibu tahu? Tahu apa?"

"Ibu tahu Gavin selingkuh." Dhara meraih tangan putrinya, menggenggam dengan hangat. "Bukan detail-nya. Bukan siapa atau kapan atau bagaimana. Tapi Ibu tahu ada yang salah. Sejak... mungkin setahun lalu. Saat kamu datang ke sini untuk ulang tahun Ibu, ada sesuatu di matamu yang berbeda. Kamu tersenyum tapi senyummu tidak sampai ke mata. Kamu cerita tentang Gavin tapi dengan nada yang... yang forced. Seperti kamu trying too hard untuk convince dirimu sendiri bahwa semuanya baik-baik saja."

Air mata mengalir lagi di pipi Larasati. "Kenapa Ibu tidak bilang sesuatu?"

"Karena Ibu tidak punya bukti. Dan karena Ibu tahu—kalau Ibu tanya, kamu akan bela dia. Kamu akan bilang Ibu salah, Ibu terlalu paranoid." Dhara tersenyum sedih. "Ibu pernah jadi istri juga, sayang. Ibu tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang mungkin tidak mencintai kamu dengan cara yang sama. Ibu tahu bagaimana rasanya menunggu, berharap, percaya bahwa semuanya akan membaik."

Larasati tidak tahu ibunya pernah merasakan hal yang sama. Ayah dan ibunya selalu terlihat bahagia—solid, supportive, in love sampai ayahnya meninggal.

Seolah membaca pikirannya, Dhara menambahkan, "Ayahmu dan Ibu bahagia, iya. Tapi tidak selalu. Di tahun-tahun awal pernikahan kami, ayahmu... dia punya seseorang. Affair yang berlangsung beberapa bulan. Ibu tahu. Ibu bisa smell perfume asing, bisa lihat text messages yang dia coba sembunyikan. Tapi Ibu diam. Karena Ibu takut—takut kehilangan dia, takut untuk anak-anak, takut untuk apa yang orang akan bilang."

Larasati tersentak. "Ibu... Ibu tidak pernah cerita tentang ini."

"Karena tidak relevan untuk cerita sampai sekarang." Dhara menatap putrinya dengan mata yang penuh dengan wisdom dari pengalaman. "Ayahmu akhirnya sadar sendiri. Dia stop affair itu dan kembali ke Ibu. Kami mulai dari awal—dengan counseling, dengan komunikasi yang lebih baik, dengan komitmen yang diperbaharui. Dan kami bahagia—genuine bahagia—sampai dia meninggal."

"Jadi... jadi Ibu bilang aku harus kasih Gavin kesempatan kedua?" tanya Larasati, sesuatu di dadanya tegang dengan harapan yang tidak dia sadari masih ada.

"Tidak," kata Dhara firm. "Ibu tidak bilang itu. Karena situasi ayahmu dan situasi Gavin sangat berbeda. Ayahmu affair berlangsung beberapa bulan, bukan bertahun-tahun. Ayahmu tidak planning untuk ninggalin Ibu atau ambil anak-anak dengan cara yang kotor. Dan yang paling penting—ayahmu yang datang ke Ibu, mengaku, memohon maaf dengan genuine remorse, bukan karena ketahuan tapi karena dia realize dia salah."

Dhara berhenti sejenak, memastikan Larasati dengar setiap kata.

"Gavin tidak melakukan itu semua, kan?" lanjut Dhara. "Dia ketahuan, bukan mengaku. Dia defensive, bukan remorseful. Dan dia masih planning untuk fight dirty bahkan setelah ketahuan. Itu bukan pria yang deserve kesempatan kedua, sayang. Itu pria yang akan terus menyakiti kamu kalau kamu kasih kesempatan."

Kata-kata itu—diucapkan dengan lembut tapi firm—membuat sesuatu di dada Larasati yang masih berharap akhirnya mati sepenuhnya.

"Tapi..." Larasati menatap tangannya, "tapi aku juga salah, Bu. Aku juga... aku juga selingkuh. Dengan Reza. Aku tidak lebih baik dari Gavin—"

"Stop," potong Dhara, mengangkat tangan putrinya untuk menatapnya. "Kamu tidak sama dengan Gavin. Jangan pernah bilang itu. Gavin selingkuh sambil masih punya pernikahan yang—setidaknya dari luarnya—functioning. Dia selingkuh karena egois, karena mau excitement, karena bisa. Kamu bertemu Reza setelah kamu tahu pernikahanmu sudah mati. Setelah suamimu menghancurkan kepercayaan sepenuhnya. Itu bukan sama."

"Tapi aku masih married secara legal—"

"Legal bukan sama dengan moral atau emotional," kata Dhara. "Secara emotional, pernikahanmu sudah berakhir saat Gavin pilih Kiran. Kamu cuma... kamu cuma mencari kehangatan di tengah dingin yang dia ciptakan. Dan Ibu tidak bisa judge kamu untuk itu."

Air mata Larasati mengalir lagi—tapi kali ini air mata lega. Lega karena ibunya tidak menghakimi, tidak mengecewakan, tidak bilang dia gagal.

"Tapi sayang," Dhara melanjutkan, suaranya lebih serius sekarang, "Ibu perlu kamu dengar ini dengan hati-hati. Apa pun yang kamu pilih untuk lakukan—cerai dari Gavin, mulai hubungan dengan Reza, apapun—Ibu dukung. Tapi Ibu mau kamu ingat satu hal: jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri di tengah semua ini."

Larasati menatapnya, bingung. "Maksud Ibu?"

"Maksud Ibu adalah: jangan biarkan balas dendam atau kemarahan atau rasa sakit drive keputusanmu sepenuhnya." Dhara menggenggam kedua tangan putrinya sekarang, tatapan mata to mata. "Kamu dengan Reza—apa itu karena kamu genuinely develop feelings untuk dia? Atau itu karena kamu mau prove sesuatu ke Gavin? Mau buat dia sakit seperti dia buat kamu sakit? Mau merasa desired karena kamu merasa rejected?"

Pertanyaan itu menghantam Larasati seperti pukulan. Karena dia tidak tahu jawabannya. Apakah dia benar-benar jatuh cinta dengan Reza? Atau dia hanya... menggunakan Reza untuk mengisi kekosongan yang Gavin tinggalkan?

"Ibu tidak bilang perasaanmu ke Reza tidak genuine," lanjut Dhara, melihat confusion di wajah putrinya. "Mungkin itu genuine. Mungkin kamu memang develop feelings untuknya. Tapi kamu perlu honest dengan dirimu sendiri—apa kamu ready untuk relationship baru? Atau kamu masih processing kehancuran yang lama?"

Larasati tidak bisa jawab. Karena dia tidak tahu.

"Dan satu hal lagi," kata Dhara, suaranya lebih lembut tapi tidak kalah penting. "Jangan biarkan need untuk merasa dicintai—untuk merasa desired—override judgment-mu. Ibu tahu Gavin tidak sentuh kamu dengan proper selama berbulan-bulan. Ibu tahu dia buat kamu merasa tidak attractive, tidak wanted. Dan sekarang Reza datang dan buat kamu merasa semua yang Gavin tidak buat kamu merasa. Itu powerful, sayang. Itu addictive. Tapi kamu perlu pastikan—apa kamu dengan Reza karena kamu love him? Atau karena kamu love bagaimana dia buat kamu feel about yourself?"

Kata-kata ibunya bergema di kepala Larasati, membuat sesuatu yang selama ini dia tidak mau acknowledge akhirnya surface:

Dia tidak tahu apa yang dia rasakan untuk Reza. Dia tahu dia merasa aman dengannya. Dia tahu dia merasa attractive saat Reza menatapnya. Dia tahu tubuhnya respond pada sentuhan Reza dengan cara yang tidak respond pada Gavin lagi.

Tapi apakah itu cinta? Atau apakah itu hanya desperate need untuk tidak merasa rejected, untuk tidak merasa seperti perempuan yang tidak cukup baik untuk ditinggalkan?

"Ibu tidak mau kamu jump dari relationship yang toxic langsung ke relationship baru tanpa process apa yang sudah terjadi," kata Dhara, mengusap pipi putrinya dengan lembut. "Kamu perlu healing, sayang. Kamu perlu waktu untuk jadi Larasati yang utuh lagi—bukan istri Gavin, bukan pacar Reza, tapi Larasati. Perempuan yang punya dreams sendiri, yang punya identity sendiri, yang tidak defined by relationship dengan pria manapun."

"Tapi aku tidak tahu bagaimana jadi itu lagi," bisik Larasati, suaranya pecah. "Aku jadi istri Gavin selama delapan tahun. Aku lupa siapa aku sebelum dia."

"Lalu ini waktunya untuk remember," kata Dhara dengan senyum yang lembut tapi encouraging. "Dan Ibu akan bantu kamu. Kamu bisa tinggal di sini untuk sementara—dengan Abi, kalau kamu mau. Jauh dari Jakarta, jauh dari drama, jauh dari... dari Gavin dan Reza dan semua orang. Hanya kamu dan Abi dan proses untuk find yourself lagi."

Penawaran itu terdengar seperti mimpi—sanctuary dari semua kekacauan, waktu untuk breathe dan think dan heal.

Tapi sebelum Larasati bisa jawab, ponselnya berbunyi—bunyi yang terlalu keras di keheningan ruangan.

Dia lihat layar. Nama yang muncul membuat jantungnya berdetak lebih cepat:

**Reza**

Dan seketika—seketika semua kebijaksanaan yang ibunya share, semua pertanyaan tentang motivasi dan perasaan genuine, semua saran untuk take time—buyar.

Karena saat dia lihat nama itu, tubuhnya respond. Dia ingat bagaimana rasanya dipeluk Reza. Bagaimana rasanya dicium dengan passion yang tidak ada agenda manipulatif. Bagaimana rasanya... bagaimana rasanya saat mereka bercinta, saat tubuhnya merasakan pleasure yang sudah bertahun-tahun tidak dia rasakan karena suaminya lebih tertarik pada perempuan lain.

Dia tidak mau mengakui pada ibunya—mungkin bahkan tidak pada dirinya sendiri—tapi bagian besar dari apa yang dia rasakan untuk Reza adalah physical need. Need untuk disentuh. Need untuk merasa desired. Need untuk membuktikan bahwa dia masih attractive, masih bisa membuat pria want her.

Akibat dari bertahun-tahun rejection dari suami yang jarang menyentuhnya karena sudah puas dengan selingkuhan, yang membuat Larasati merasa seperti furniture—ada tapi tidak penting, functional tapi tidak desirable.

Dan Reza—Reza membuat dia merasa sebaliknya. Membuat dia merasa alive di cara yang paling primal, paling basic.

Apakah itu cinta? Atau apakah itu addiction pada feeling yang dia tidak sadari dia desperately butuhkan?

"Lara?" suara ibunya membuyarkan lamunannya. "Kamu mau angkat?"

Larasati menatap ponsel yang masih berdering, lalu menatap ibunya yang menatapnya dengan tatapan yang tahu—tahu exactly apa yang terjadi di kepala putrinya, tahu exact struggle yang dia hadapi.

"Ibu tidak akan judge apapun keputusanmu," kata Dhara lembut. "Tapi pikirin baik-baik, sayang. Pikirin apa yang benar-benar kamu inginkan. Bukan apa yang kamu pikir kamu butuhkan di moment ini. Tapi apa yang genuinely akan buat kamu happy dalam jangka panjang."

Ponsel berhenti berdering. Lalu mulai lagi—persistent, demanding attention.

Dan Larasati—dengan hati yang penuh conflict, dengan pikiran yang berputar dengan semua yang ibunya bilang dan semua yang tubuhnya inginkan—meraih ponselnya.

Dia tidak tahu apa yang dia inginkan untuk jangka panjang.

Tapi dia tahu apa yang dia inginkan sekarang.

Dan mungkin—hanya mungkin—itu cukup untuk saat ini.

---

**

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!