Hidup Syakila hancur ketika orangtua angkatnya memaksa dia untuk mengakui anak haram yang dilahirkan oleh kakak angkatnya sebagai anaknya. Syakila juga dipaksa mengakui bahwa dia hamil di luar nikah dengan seorang pria liar karena mabuk. Detik itu juga, Syakila menjadi sasaran bully-an semua penduduk kota. Pendidikan dan pekerjaan bahkan harus hilang karena dianggap mencoreng nama baik instansi pendidikan maupun restoran tempatnya bekerja. Saat semua orang memandang jijik pada Syakila, tiba-tiba, Dewa datang sebagai penyelamat. Dia bersikeras menikahi Syakila hanya demi membalas dendam pada Nania, kakak angkat Syakila yang merupakan mantan pacarnya. Sejak menikah, Syakila tak pernah diperlakukan dengan baik. Hingga suatu hari, Syakila akhirnya menyadari jika pernikahan mereka hanya pernikahan palsu. Syakila hanya alat bagi Dewa untuk membuat Nania kembali. Ketika cinta Dewa dan Nania bersatu lagi, Syakila memutuskan untuk pergi dengan cara yang tak pernah Dewa sangka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makian Syakila
Syakila terkejut saat seseorang tiba-tiba menarik tangannya dan memaksa dia untuk bangun. Padahal, posisi perempuan itu sedang tertidur lelap.
"Kak Dewa, apa-apaan ini?" protes Syakila. Dia berusaha melepaskan cengkraman Dewa dari pergelangan tangannya.
"Berani-beraninya kamu melukai Nania. Apa kamu sudah bosan hidup, hah?" sentak Dewa penuh amarah.
Perempuan dihadapannya begitu tenang bagai air. Bahkan, Syakila kini malah tersenyum ke arahnya.
"Istri kesayanganmu itu mengadu apa lagi tentangku?" tanya Syakila.
Mendadak, Dewa berubah menjadi gugup. Tatapan Syakila begitu sangat hambar. Seolah-olah, tak ada kecemburuan yang tersirat sedikit pun.
"Nania bukan istriku," elak Dewa. "Kamu yang istriku."
"Oh, ya?" balas Syakila. "Kalau Nania bukan istrimu, lalu kenapa kamu lebih percaya padanya dibanding aku? Kamu bahkan belum memberiku kesempatan untuk menjelaskan apapun. Tapi, kamu sudah datang dalam keadaan marah dan malah memvonis jika akulah yang bersalah dalam masalah ini."
"Aku mengenal Nania," ucap Dewa sambil memejamkan matanya sebentar. Setelah itu, dia kembali menatap Syakila.
"Dia perempuan baik dan sangat polos," imbuh Dewa. "Dia..."
"Bagaimana denganku?" potong Syakila cepat. "Apa kamu tidak mengenalku? Kamu bilang, aku ini istrimu. Tapi, kenapa kamu malah lebih mengenal mantan pacarmu dibanding istrimu sendiri, Kak Dewa?" cecar Syakila penuh penekanan.
Cengkraman Dewa sedikit melemah. Dia tidak tahu, sejak kapan Syakila jadi pintar membantahnya seperti ini.
Dingin dalam nada bicara Syakila membuat sudut hatinya semakin gelisah. Ini bukan Syakila yang dia kenal. Ini bukan Syakila yang selama beberapa bulan terakhir berhasil membuatnya nyaman pulang ke rumah.
"Kamu memang keras kepala, Syakila!" ucap Dewa seraya berlalu pergi.
Ekspresi Syakila tidak seperti orang yang memiliki kesalahan. Tatapan matanya terlalu berani. Padahal, normalnya, jika orang telah berbuat kesalahan, pasti dia akan sedikit merasa bersalah atau ketakutan.
"Apa jangan-jangan... memang bukan Syakila pelakunya? Tapi, Nania juga tidak mungkin berbohong, kan?"
Dewa merasa bimbang dalam hatinya. Mana yang harus dia percayai? Syakila atau Nania?
"Dewa, bagaimana? Apa Syakila sudah mengakui perbuatannya?" tanya Nania saat Dewa kembali.
Dewa pun duduk di kursi. Dia menghela napas panjang.
"Apa kamu yakin, kalau Syakila yang sudah melukai kamu?" tanya Dewa.
Ekspresi Nania berubah sebentar. Namun, sebelum Dewa menyadarinya, dia buru-buru menetralkan kembali ekspresi wajahnya.
"Kamu... tidak percaya padaku?" tanya Nania dengan mata berkaca-kaca.
"Bukan begitu," balas Dewa. "Hanya saja, aku sedikit ragu kalau Syakila mampu melakukan hal seperti itu."
Nania menyusut air mata yang terjatuh. Dia menganggukkan kepala sambil memainkan jari-jari tangannya.
"Aku tahu kalau kamu tidak akan percaya. Itu sebabnya, aku sudah meminta tolong kepada perawat yang menolongku untuk menjadi saksi," kata Nania. "Masuklah!" titahnya kepada seseorang.
Selang beberapa saat, perawat yang menolongnya memasuki ruangan dengan langkah sedikit ragu.
Tak ada satu orang pun di kota ini yang tidak mengenal seorang Dewangga Clarke. Dia adalah pewaris dari pengusaha kaya raya. Perawat itu tahu, apa yang dia lakukan sekarang adalah sesuatu yang memiliki resiko sangat tinggi.
"Suster, bisakah Anda menjadi saksi untukku?" tanya Nania dengan nada lembut.
Perawat itu menatap Dewa dan Nania secara bergantian. Ia pun mengangguk dengan sedikit kaku.
"Tuan Dewa, memang benar kalau Nona Syakila yang menyerang Nona Nania dengan pisau," ucap perawat itu dengan suara bergetar.
"Kau yakin?" tanya Dewa dengan alis berkerut dalam.
"Ya-yakin. Sa-saya bawa barang buktinya. Anda bisa mengujinya kalau tidak percaya. Disana, jejak sidik jari Nona Syakila dan Nona Nania pasti masih ada," balas perawat itu sambil mengeluarkan pisau buah yang menjadi bukti kejahatan paling penting.
Dewa pun menerima pisau yang sudah dibungkus dengan plastik itu dengan sedikit ragu. Apa ini sungguh nyata? Syakila benar-benar ingin mencelakai Nania?
"Aku akan segera mencari tahu. Awas saja kalau kamu sampai berbohong," desis Dewa seraya bangkit dari kursinya.
Perawat itu menunduk dengan badan gemetar. Setelah Dewa benar-benar meninggalkan ruangan itu, barulah dia bisa bernapas dengan benar.
"Nona, bagaimana dengan bayaran saya?" tanya sang perawat kepada Nania.
"Uangnya sudah ku transfer ke rekeningmu," jawab Nania.
Perawat itu pun buru-buru mengecek M-banking miliknya. Begitu melihat deretan angka yang bertambah drastis, dia langsung tersenyum lebar.
"Terimakasih banyak, Nona Nania!" ucapnya.
"Ya," jawab Nania. "Sana pergi!" usirnya kemudian.
Perawat itu mengangguk antusias. Dia segera keluar dari kamar rawat VIP milik Nania.
"Syakila... kali ini, lagi-lagi kamu kalah."
****
"Cepat bangun! Kita pulang sekarang!"
Dengan gerakan kasar, Dewa memaksa Syakila untuk bersiap-siap. Malam ini juga, Dewa ingin membawa Syakila pulang bersamanya.
Sidik jari pada pisau itu sudah diselidiki. Dan, memang benar. Hanya ada sidik jari Nania dan Syakila di pisau itu.
Itu artinya, Syakila-lah pelakunya. Tidak mungkin Nania nekat melukai diri sendiri, kan?
"Ada apa?" tanya Syakila tak mengerti.
"Pokoknya, cepat berkemas!" balas Dewa dengan tatapan sedingin es.
Terpaksa, Syakila menuruti permintaan pria itu. Dia mengemasi barang-barangnya yang hanya berupa dua potong pakaian untuk dibawa kembali ke rumah.
"Syakila, kamu duduk dibelakang, ya! Aku biasanya akan mabuk darat jika duduk di bangku belakang," ucap Nania berdalih.
Dengan gaya angkuhnya, dia duduk di bangku depan sambil memamerkan kekuasaannya. Ia ingin menegaskan bahwa dirinyalah prioritas utama Dewa. Selamanya.
"Tidak masalah," sahut Syakila sambil membuka pintu mobil bagian belakang.
Melihat sang adik angkat yang lagi-lagi harus mengalah demi dirinya, Nania merasa sangat senang sekali. Ya, inilah hidup. Dia seharusnya memang paling diutamakan.
Sepanjang perjalanan, suasana didalam mobil terasa begitu mencekam. Tak ada satu pun yang angkat suara untuk mengisi keheningan. Hanya Nania, yang sesekali mengoceh tentang jalanan dan juga kenangan masa lalunya bersama Dewa.
Sampai di rumah, hujan tiba-tiba turun dengan deras disertai dengan angin kencang. Dewa memasangkan jaketnya untuk Nania. Selain itu, dia juga memayungi perempuan itu untuk masuk ke dalam rumah.
Syakila hanya diam melihat semua itu. Dirinya hanya orang asing. Sosok yang bahkan tidak bisa disebut sebagai orang ketiga karena memang tidak memiliki hubungan apapun dengan kedua manusia itu.
Dia hanya berlari kecil menerobos hujan dan badai. Namun, saat hendak masuk ke dalam rumah, suara dingin Dewa seketika membuatnya jadi membeku.
"Suruh Nyonya berlutut di halaman selama lima jam! Kalau dia tidak mau, pukuli saja!" titah Dewa kepada dua orang bodyguardnya.
Napas Syakila seketika tercekat. Dia menatap Dewa tak percaya. Namun, pria itu memilih memalingkan wajahnya ke arah lain.
Sementara, Nania yang berada dalam dekapan Dewa hanya berucap tanpa mengeluarkan suara.
"Mam-pus," kata Nania dengan seringai penuh kepuasan.
Syakila tertawa hambar. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dan sekarang Dewa ingin menambah penderitaannya lagi.
"Dasar laki-laki otak keledai! Bodoh! Budak cinta!!" umpat Syakila dengan suara keras.
Salah satu bodyguard langsung membekap mulut Syakila. Dia berbisik pelan di telinga perempuan itu, "Nyonya, jangan tambah masalah lagi! Nanti, Tuan akan semakin menyiksa Anda."
Sementara itu, Dewa menoleh dengan tatapan tak percaya. Syakila baru saja mengatainya. Apa itu benar atau hanya ilusi pendengaran saja?
"Kau dengar itu?" teriak Syakila lagi. Dia melepaskan tangan bodyguard itu dari mulutnya. "Aku bilang, kau laki-laki bodoh! Otak keledai. Laki-laki buta yang hanya bisa dijadikan budak oleh si j@lang Nania!"
Jika tak bisa membela diri, sekalian saja Syakila memaki pria itu.
lah
semoga syakila bahagia dan bisa membalas dendam terhadap keluarga dito yang sangat jahat
menanti kehidupan baru syakila yg bahagia...