NovelToon NovelToon
Guruku Suami Rahasiaku

Guruku Suami Rahasiaku

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.

Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!

Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!

Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 23

Satu tahun berlalu begitu cepat.

Dulu Yunita masih murid berisik yang suka membantah, sekarang ia berdiri di aula besar sekolah dengan toga hitam, wajahnya berseri tapi matanya sedikit berkaca-kaca. Hari ini hari kelulusannya hari yang dulu ia kira akan terasa biasa, tapi ternyata terasa begitu berat.

“Woy, Yun! Jangan bengong, nanti maskara kamu luntur!” seru Rara sambil merapikan topi toga milik Yunita.

“Aku gak nangis, cuma... debu masuk mata,” elak Yunita dengan senyum tipis.

“Debu dari mana? Kita di aula, bukan di lapangan!” cibir Nadia sambil menahan tawa.

Salsa ikut menimpali, “Udahlah, Yunita sentimental mode on. Soalnya hari ini terakhir dia bisa pura-pura ‘murid baik-baik’ di depan Pak Yudhistira.”

Yunita mendelik. “Hei! Aku gak pernah pura-pura baik! Aku emang baik.”

“Baik tapi bikin guru stres?”

“Eh, dulu aku cuma bikin suami aku stres, bukan guru lain,” balas Yunita dengan bangga.

Ketiganya langsung ngakak.

Tepat saat itu, pintu aula terbuka. Suara langkah sepatu terdengar, membuat semua kepala refleks menoleh. Yudhistira masuk dengan setelan jas abu-abu, wajahnya tetap tenang tapi jelas sorot matanya berbeda ketika melihat Yunita di barisan depan.

“Wah… Pak Guru killer berubah jadi Pak Guru elegan,” bisik Rara.

Nadia menambahkan pelan, “Dan tatapannya tuh, astaga... kayak di drama Korea pas liat pemeran utama wanitanya!”

Yunita buru-buru menunduk, pipinya panas. Jangan senyum. Jangan senyum. Semua orang bisa lihat, batinnya panik.

Tapi dari sudut matanya, ia bisa melihat Yudhistira menatap sekilas — hanya satu detik, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

Upacara Dimulai

Kepala sekolah berpidato panjang, para siswa mulai bosan, dan beberapa bahkan menguap diam-diam. Namun suasana berubah saat nama Yunita disebut untuk mewakili pidato kelulusan.

Ia naik ke podium, jantungnya deg-degan. Seluruh mata memandang ke arahnya. Termasuk mata Yudhistira di deretan guru.

“Selamat pagi semuanya,” ucapnya dengan suara sedikit gemetar. “Hari ini, kami berdiri di sini bukan cuma sebagai siswa yang lulus... tapi juga sebagai orang-orang yang belajar tentang makna tumbuh.”

Beberapa siswa menatap serius, beberapa tersenyum. Yunita melanjutkan,

“Dulu saya pikir sekolah cuma tentang nilai, PR, dan ujian. Tapi ternyata… yang paling penting itu bukan angka di rapor, tapi orang-orang yang kita temui di perjalanan ini.”

Ia menarik napas, matanya menatap sekilas ke arah Yudhistira.

“Termasuk… seseorang yang mungkin tidak pernah saya sangka, menjadi bagian paling penting dalam hidup saya.”

Satu aula mendadak riuh. Teman-temannya bersuit dan menyoraki. “Wooooo! Pak Yudhistira tuh maksudnya!”

Wajah Yunita langsung merah padam. “Eh, bukan, bukan— maksud saya… guru-guru semua! Termasuk Pak Yudhistira, tentu saja,” katanya cepat.

Para guru tertawa, sementara Yudhistira menunduk dengan senyum kecil — senyum tipis yang cuma muncul di momen tertentu.

Yunita menutup pidatonya dengan suara bergetar,

“Terima kasih sudah menjadi rumah kedua. Terima kasih sudah percaya pada kami. Dan… terima kasih karena telah membuat masa remaja kami penuh makna.”

Tepuk tangan menggema. Banyak yang meneteskan air mata, tapi yang paling menahan diri dengan keras adalah Yunita sendiri.

Setelah Acara

Begitu acara selesai, aula berubah jadi tempat foto massal. Semua ingin berfoto dengan teman, guru, dan tentu saja dengan Yudhistira — guru killer yang ternyata bisa tersenyum.

“Pak Yudis, boleh foto bareng?” seru Nadia, membawa ponsel.

“Boleh,” jawabnya datar.

Lalu Rara menyusul. “Aku juga, Pak! Tapi tolong jangan pasang ekspresi ujian, aku takut hasilnya buram karena aura killer-nya keluar.”

Para siswa tertawa. Yunita hanya menatap dari jauh, senyum lembut di bibirnya.

Namun Yudhistira rupanya memperhatikan. Ia melangkah mendekat, berhenti di depan istrinya.

“Kenapa gak ikut foto?” tanyanya pelan.

“Takut diliatin satu sekolah,” jawab Yunita setengah berbisik.

Yudhistira mengangkat alis. “Kamu takut?”

“Gak takut, cuma malu.”

“Dulu kamu bilang, ‘aku gak akan malu karena cinta yang bener itu gak perlu disembunyiin’,” katanya mengingatkan, suaranya rendah tapi tegas.

Yunita menggigit bibirnya, lalu tersenyum. “Iya juga sih…”

Ia berdiri di samping Yudhistira. Kamera ponsel diangkat.

“1... 2... 3!” klik!

Satu foto sederhana tapi penuh makna. Karena kali ini, mereka tidak lagi harus bersembunyi.

Di Lapangan Sekolah

Sore hari, siswa-siswa sudah mulai pulang. Yunita duduk sendirian di bangku taman dekat lapangan basket. Angin sore mengibaskan ujung togan-nya.

Ia menatap gedung sekolah yang mulai sepi, dan kenangan satu per satu muncul:

Hari pertama ia berdebat dengan Yudhistira, hari ia jatuh dari tangga dan ditolong, hari mereka pertama kali sarapan bareng di rumah… semuanya seperti film yang diputar ulang.

“Gak nyangka ya, semuanya udah selesai,” suara lembut itu terdengar di belakangnya.

Yunita menoleh, Yudhistira berdiri dengan dua gelas es teh di tangan.

“Kamu nyari aku?” tanyanya.

“Saya liat kamu belum pulang.”

“Belum siap,” jawab Yunita jujur. “Aku cinta banget sama tempat ini, Pak.”

Yudhistira duduk di sampingnya, menyerahkan satu gelas. “Saya juga.”

Mereka diam sejenak, hanya menatap langit sore yang berubah jingga.

“Pak…”

“Hmm?”

“Sekarang aku udah bukan murid kamu lagi, ya?”

“Secara teknis, iya.”

“Berarti aku udah bisa godain kamu di mana aja?”

Yudhistira menatapnya dengan ekspresi datar tapi matanya jelas berkilat geli. “Dari dulu kamu udah ngelakuin itu.”

Yunita terkekeh. “Tapi dulu diam-diam. Sekarang bebas.”

“Bebas tapi inget batas,” ucap Yudhistira sambil mencubit pelan pipinya.

“Ih! Kamu tuh romantisnya aneh banget, tahu gak?”

“Romantis itu relatif,” jawab Yudhistira santai. “Yang penting kamu gak pernah berhenti ketawa.”

Yunita menatapnya dalam-dalam. “Dan kamu gak pernah berhenti sabar.”

Hening lagi. Tapi kali ini bukan canggung, melainkan hangat seperti angin sore yang lewat tanpa tergesa.

Satu Bulan Kemudian

Yunita kini resmi kuliah di jurusan pendidikan. Katanya, ingin “ngikutin jejak suaminya tapi versi lebih lucu”.

Pagi itu, ia sedang berdiri di depan cermin sambil menata rambut. “Pak, aku udah siap kuliah!”

Dari ruang tamu, suara Yudhistira terdengar, “Sarapan dulu.”

“Iya, Mas Guru.”

“Jangan panggil saya begitu.”

“Kenapa? Kan kamu emang guru, dan aku istri yang manis.”

“Manis tapi tukang ngelawan.”

“Ya biar gak bosen hidupnya,” sahut Yunita sambil berjalan ke meja makan.

Hari-hari mereka kini lebih santai, tapi tetap penuh canda khas mereka. Kadang Yunita datang ke sekolah lama untuk bantu-bantu, dan setiap kali, murid-murid baru langsung berbisik,

“Itu istri Pak Yudhistira, ya? Cantik banget, ya?”

Dan Yunita selalu menatap suaminya dengan senyum kecil penuh kemenangan.

...****************...

Suatu sore, Rara, Nadia, Salsa, dan Putri datang berkunjung.

“Rumahnya lucu banget, Yun! Kayak drama Korea versi domestik!” seru Nadia sambil memotret ruang tamu.

“Dan suamimu kayak pemeran utama yang lagi ngoreksi tugas,” tambah Rara, melihat Yudhistira di meja makan dengan setumpuk kertas ujian.

“Ya emang itu hobinya,” jawab Yunita sambil menaruh kue. “Kalau gak ngoreksi, hidupnya gak lengkap.”

Yudhistira menatap sekilas. “Kalau kalian terus ribut, saya koreksi kalian juga.”

Semua langsung diam, lalu ngakak.

Putri duduk di samping Yunita dan berbisik, “Aku seneng lihat kamu kayak gini, Yun.”

“Kayak gini gimana?”

“Tenang. Bahagia. Dulu aku kira kamu cuma menang nasib. Tapi ternyata kamu emang orang yang bikin kebahagiaan kamu sendiri.”

Yunita tersenyum. “Kamu juga bisa, Putri. Bahagia tuh bukan dikasih, tapi dibikin.”

Mereka saling pandang dan tertawa.

----

Setelah teman-temannya pulang, Yunita duduk di balkon sambil membawa buku harian. Di sebelahnya, Yudhistira membawa teh hangat seperti biasa.

“Kamu nulis lagi?” tanyanya.

“Iya. Mau nulis penutup masa sekolahku.”

“Boleh saya baca?”

Yunita tersenyum. “Boleh, tapi janji jangan koreksi tata bahasanya.”

Yudhistira tertawa kecil. “Saya usahain.”

Yunita membuka halamannya dan mulai membaca pelan:

“Dulu aku pikir cinta itu cuma di drama. Tapi ternyata, cinta bisa datang di ruang kelas, di tengah tugas, di antara teguran, dan di balik nilai merah.

Aku tumbuh bukan karena waktu, tapi karena seseorang yang selalu sabar ngajarin arti ‘dewasa’.

Sekarang aku bukan muridnya lagi, tapi aku masih belajar tentang kesabaran, tentang ketulusan, tentang caranya tertawa setiap hari.”

Yudhistira diam lama, lalu berkata pelan, “Kalimat terakhir itu bagus.”

“Yang mana?” tanya Yunita

“‘Tentang caranya tertawa setiap hari.’ Karena kamu bikin saya ingat, ternyata ketawa itu juga bisa jadi pelajaran.”

Yunita menatapnya, matanya berkilat di bawah cahaya lampu. “Jadi aku guru juga dong sekarang?”

“Guru paling cerewet, iya.”

Yunita memukul pelan bahunya. “mas Yudis!”

“Hmm?”

“Terima kasih udah jadi bab paling indah di hidup aku.”

Yudhistira meraih tangannya, menggenggam erat. “Dan kamu, bab yang gak akan pernah saya tutup.”

Hening kembali, tapi bukan sunyi. Ada suara jangkrik, angin lembut, dan dua hati yang saling tahu bahwa perjalanan mereka baru saja berganti bab, tapi cintanya akan terus sama.

Di halaman terakhir buku hariannya, Yunita menulis:

“Hari kelulusan bukan akhir. Tapi awal dari hidup baru.

Dan aku akan terus belajar, bukan dari buku...

tapi dari cinta yang tiap hari tumbuh di rumah kecil kami.”

🌙 Bersambung...

1
sahabat pena
Luar biasa
sahabat pena
makan cuka
sahabat pena
duh kasian.. tp gpp pacaran setelah menikah lbh menyenangkan loh.
Wulan Sari
lha sudah tamat Thor? bahagia seh tapi rasane kurang pingin nambah karena ceritanya gwmesin lucu,....
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏
inda Permatasari: terima kasih kak atas dukungannya 🙏♥️
total 1 replies
bunda kk
bagus
Cindy
lanjut kak
Cindy
lanjut
Cindy
lanjut kak
Wulan Sari
wkwkwk lanjut gokil lihat pasutri itu 🤣🤣🤣
Wulan Sari
yaaaa pelakor muncul🤦🏼‍♀️thor jangan sampai iepuncut lho enggak banget kepincut pelakor namanya laki2 mokondo sudah punya istri kegoda yg lain amit2 😀😀😀maaf lanjuuut trimakasih Thor 👍
Cindy
lanjut
Cindy
lanjut kak
Cindy
lanjut
Cindy
lanjut kak
Wulan Sari
semoga langgeng ya sampai kakek nenek pak guru dan muridnya Aamiin 🤲😀
Cindy
lanjut
Cindy
lanjut kak
Wulan Sari
aku ikut bahagia 💃💃💃
Cindy
lanjut kak
Wulan Sari
cip lanjutkan Thor semangat 💪 Thor salam sukses selalu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!