Maheswara merasakan sesuatu yang berdiri di bagian bawah tubuhnya ketika bersentuhan dengan wanita berhijab itu. Setelah delapan tahun dia tidak merasakan sensasi kelaki-laki-annya itu bangun. Maheswara pun mencari tahu sosok wanita berhijab pemilik senyum meneduhkan itu. Dan kenyataan yang Maheswara temukan ternyata di luar dugaannya. Membongkar sebuah masa lalu yang kalem. Menyembuhkan sekaligus membangkitkan luka baru yang lebih menganga.
Sebuah sajadah akan menjadi saksi pergulatan batin seorang dengan masa lalu kelam, melawan suara-suara dari kepalanya sendiri, melawan penghakiman sesama, dan memenangkan pertandingan batin itu dengan mendengar suara merdu dari Bali sajadahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Sebuah Foto
Dokter Farid dan Ratna Dewi melongo melihat isi kamar yang berantakan. Kaca meja rias pecah, bantal dan guling hancur seperti dicabik-cabik, pintu lemari copot, kain gorden terlepas, kamar itu tak ubahnya seperti kapal pecah.
Ratna Dewi tidak bisa menahan dirinya. Kamar itu belum lama diperbaiki saat kepergian Hana ke kota sebelah dan kini mau tidak mau harus diperbaiki lagi.
Dengan wajah geram, Ratna Dewi masuk ke dalam kamar, mengambil botol skincare yang teronggok di lantai, lalu dilemparkannya ke kaca jendela. Pranngg. Kaca jendela pecah.
"Kamu mau marah? Sekalian buang semua. Lihat ini," Dia memunguti semua barang yang Hana buang ke lantai dan melemparnya ke luar jendela.
"Mau menghancurkan semua? Kayak gini dong," Ratna membanting vas bunga besar yang ada di dekat pintu. Prraanggg.
"Bunda, cukup!," teriak dr. Farid sambil menarik lengan istrinya.
"Ayah, Bunda, ada apa?," Ammar berlari dari lantai 1.
"Keterlaluan kamu! Kamu sebenarnya masih normal. Masih bisa mengontrol dirimu sendiri. Kamu bisa mengajar siswa tandanya kamu itu masih normal. Tapi kenapa di hadapan kami, kamu seperti ini?? Apa salah kami, heh?," Ratna kembali mengambil apapun di lantai dan melemparkannya ke luar jendela.
"Bunda sudah,"
"Cukup, bunda. Cukup,"
Dokter Farid dan Ammar menarik tubuh Ratna. Sementara Hana berjongkok di sudut sambil menutup telinganya dengan tangan bergetar.
"Aku lelah ayah, sangat lelah," tangis Ratna pecah ketika dr. Farid memeluknya, "Lama-lama aku juga bisa kena sakit mental kalau begini terus," Ratna terisak.
"Kamu lihat kakakmu dulu. Ayah mau mengurus bunda," ujar dr. Farid pada Ammar seraya membawa Ratna menjauh dari kamar itu.
Ammar mengangguk. Perlahan dia mendekati Hana yang sedari tadi berjongkok.
"Kak, ayo berdiri," Ammar mengulurkan sebelah tangannya dengan hati-hati.
Hana meraih tangan Ammar. Dan mulai berdiri dituntun Ammar. Ammar mendudukannya di tepi ranjang.
"Kak, kenapa harus begini? Barang-barang ini tidak salah. Kenapa harus kakak rusak?," ucap Ammar lembut sambil merangkul Hana.
Hana mengangkat wajahnya menatap Ammar,
"Bukan kakak pelakunya," Hana menggeleng kepala, "Kala pelakunya. Dia jahat. Dia yang membanting semua ini," suara Hana bergetar.
Ammar membuang napas kasar lalu menarik lembut kepala kakaknya menyandarkannya pada dadanya.
"Sstt, sudah..sudah.. Aku tidak marah sama kakak. Kakak aman," Ammar menutup matanya menekan kepedihan hatinya melihat keadaan kakaknya itu.
**
"Aku benar-benar tidak tahan, ayah. Hari ini genap tujuh tahun sudah aku harus menghadapi keadaan seperti ini," suara Ratna Dewi terdengar frustasi.
"Ayah tahu. Ayah juga menghadapi hal yang sama. Kita semua. Tapi apa yang dapat kita lakukan. Kita sama-sama tidak tega memasukan dia ke rumah sakit jiwa," ucap dr. Farid dengan suara yang hampir frustasi juga.
"Tapi anehnya, di depan orang lain dia bisa baik-baik saja. Dia mengajar dengan baik. Bahkan aku dengar, orang-orang menyukainya. Lalu kenapa di hadapan kita dia seperti itu?," Ratna Dewi menengadah ke atas, "Ya Allah, angkatlah penderitaan kami ini. Aku sudah tidak mampu,"
"Dokter Priska bilang, Hana memang akan sering kambuh kalau ke sini karena semua yang dia lihat, dia sentuh, akan membangkitkan ingatannya kembali pada peristiwa itu. Makanya tangannya bergetar terus jika di sini," ujar dr. Farid.
"Lalu apa ada jalan keluar terbaru dari dr. Priska?,"
"Seperti lalu. Dia selalu bilang, hanya pengampunan yang bisa mengobati Hana bukan resep obat atau terapi psikologi. Itu semua hanya akan menutup permukaan lukanya saja bukan inti lukanya,"
Ratna Dewi lunglai,
"Lalu kita harus cari ke mana ayah. Lagipula, sejak peristiwa itu kan Hana tidak membuka mulutnya untuk bercerita. Jadi kita harus cari pria itu di mana, Ya Allah aku benar-benar merasa gila," Ratna Dewi memukul dadanya, "Astaghfirullah.. Astaghfirullah,"
"Ayah sudah berikhtiar, hanya rahmat Allah yang bisa membukakan pintu kesembuhan bagi Hana,"
"Ayah, aku akan mencari pria itu. Aku akan ke pesantren itu lagi. Aku akan buat reka ulang peristiwa malam itu. Aku akan menyewa detektif kalau perlu. Apapun itu akan aku lakukan. Ya. Apapun. Aku sudah muak dengan ini semua,"
**
"Hana Salsabila Hasyim, S.Pd.I, 27 tahun," Maheswara membaca laporan yang diberikan Elmo.
Maheswara menatap Elmo,
"Dia..seorang guru agama? Aku bereaksi terhadap seorang guru agama bukannya pada seorang ladies," Maheswara tidak percaya pada yang dibacanya.
Dia melanjutkan membaca,
"Anak pertama dokter Farid Hasyim 57 dan ibu Ratna Dewi Kyai Demak, M.Hum 55 tahun, punya dua adik, Ammar Syarifuddin Hasyim 21 tahun dan Ayra Salmafina Hasyim 7 tahun,"
Maheswara mengernyitkan keningnya,
"Profil keluarganya menunjukan mereka ini keluarga terpelajar tapi kenapa dia harus berobat ke Psikiater? Ah, sudahlah. Profilku juga tidak kalah hebatnya dari dia tapi faktanya aku pasien dokter psikiater itu,"
"Ada yang aneh, Tuan," ujar Elmo yang sedari tadi berdiri di samping tuannya.
"Aneh? Apa itu?,"
"Jarak usia anak yang bungsu cukup jauh. Sekitar 14 tahun dengan anak kedua. Sedangkan usia orang tuanya juga sudah cukup tua untuk melahirkan anak," tandas Elmo.
"Ah, iya ya. Aku melewatkan hal itu," Maheswara membuka lembaran berikut berisi foto. Dia membandingkan foto wajah kakak beradik itu, "Mereka bertiga sangat mirip. Padahal aku baru mau bilang, mungkin yang ketiga ini anak angkat. Tapi lihat kemiripan mereka,"
"Hmm iya juga Tuan," Elmo memperhatikan deretan foto itu.
"Ternyata dia cantik juga, Elmo. Hanya saja hari itu aku tidak terlalu memperhatikannya. Hidungnya mancung, matanya indah, sangat teduh,"
Elmo tersenyum kecil melihat Tuannya sedang mengagumi sebuah foto.
psikologi mix religi💪