"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Dua Puluh Tiga
Cahaya matahari pagi menembus tirai kantor Xander Corp, memantul di permukaan kaca jendela besar yang menghadap ke jalan utama kota. Suasana kantor masih terasa tenang—beberapa pegawai baru saja datang, sibuk dengan laptop dan secangkir kopi di tangan.
Dan di antara mereka, suara tawa yang paling nyaring pagi itu berasal dari seseorang yang biasanya paling pendiam: Raya.
“Clara, kau tahu tidak? Aku baru sadar kalau mesin kopi di pantry bisa macet cuma karena aku salah tekan tombol dua kali. Aku kira aku merusak mesin kantor!” katanya sambil menahan tawa.
Clara yang duduk di seberangnya mengerjap bingung. “Tunggu... kau—apa kau baru bercanda?”
“Tentu saja! Aku tidak separah itu, tapi ekspresi panik si barista kantor benar-benar priceless!” Raya kembali tertawa keras.
Beberapa karyawan menoleh karena kaget. Bagi mereka, melihat Raya tertawa seperti itu terasa... aneh. Biasanya gadis itu kalem, fokus pada pekerjaan, nyaris tak pernah bicara kecuali ditanya.
Clara menatapnya lama, memperhatikan setiap gerak Raya. Ada sesuatu yang berbeda dari sorot matanya. Terlalu terang. Terlalu dibuat-buat.
“Raya,” panggil Clara pelan, “kau baik-baik saja, kan?”
“Baik sekali!” jawab Raya cepat, masih tersenyum. “Kenapa memangnya? Aku terlihat aneh ya?”
Clara menautkan alis, lalu menggeleng cepat. “Bukan... hanya saja, kau terlihat... berbeda.”
“Berbeda bagus atau berbeda aneh?” Raya mengedip jahil.
“Uh... dua-duanya?” sahut Clara, setengah bercanda setengah bingung. “Biasanya kau lebih... tenang.”
Raya mencondongkan tubuhnya, menatap Clara dengan senyum lebar yang nyaris meyakinkan siapa pun.
“Tenang itu membosankan. Aku cuma ingin mencoba hari yang lebih ringan. Lagi pula, terlalu banyak diam bisa bikin kepala penuh, kan?”
Clara tidak menjawab. Tapi dalam hati, ia tahu sesuatu sedang tidak beres.
Tawa yang terlalu keras seringkali hanya cara paling halus untuk menutupi rasa sakit yang dalam.
Dan Clara bisa melihat itu dari cara Raya tertawa—seolah setiap senyum adalah perban untuk luka yang belum sembuh.
*
Menjelang siang, sinar matahari mulai menerobos kaca jendela ruangan kerja mereka. Suasana kantor menjadi lebih ramai. Orang-orang mulai berbicara soal makan siang, rencana akhir pekan, atau keluhan kecil tentang pekerjaan.
Keenan muncul di depan meja Raya sambil menenteng dua gelas kopi dingin.
“Hey, nona ceria. Punya waktu makan siang bareng senior-mu yang kece ini?”
Raya mendongak, menatap wajah Keenan yang menyunggingkan senyum ramahnya seperti biasa. Ada sedikit rasa hangat di dadanya—bukan karena perasaan romantis, tapi karena ia melihat sosok yang masih sama seperti dulu. Stabil. Aman. Tidak menyakitkan.
“Kalau kopi-nya untukku, aku tidak akan menolak,” sahut Raya sambil menerima gelas itu.
“Dan makan siang? Baiklah, ayo sebelum aku berubah pikiran.”
Keenan tertawa pelan. “Aku harus cepat sebelum mood-mu berubah, rupanya.”
*
Kantin Xander Corp siang itu cukup ramai. Aroma ayam panggang, sup krim, dan kopi baru terseduh bercampur jadi satu. Keenan dan Raya duduk di pojok, agak jauh dari keramaian, tempat mereka dulu sering mengerjakan proyek bersama.
Raya memainkan sedotannya, pura-pura sibuk menatap orang lain agar tidak harus menatap Keenan terlalu lama.
“Aku masih belum percaya,” ucap Keenan akhirnya, “kau benar-benar keluar dari timku?”
Raya tersenyum tipis. “Ya. Itu keputusan atasan.”
“Arka?” tanya Keenan tanpa berpikir panjang.
Raya terdiam sesaat. “Kau tahu jawabannya.”
Keenan menarik napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku tidak menyangka dia akan seketat itu. Aku cuma ingin kau tetap di proyek itu karena kau yang paling menguasai. Bukan karena hal lain.”
“Aku tahu,” sahut Raya lembut. “Tapi aku tidak punya kuasa menentang keputusan itu, Keenan. Aku hanya magang, ingat?”
Keenan menatapnya lama, seolah mencoba membaca apa yang tidak diucapkan. “Kau terlihat... lain hari ini.”
“Lain bagaimana?” Raya mengangkat alis, tersenyum seolah santai.
“Entah, mungkin karena senyummu.”
“Kenapa dengan senyumku?”
“Tidak seperti biasanya,” jawab Keenan jujur. “Kau tertawa, tapi aku tidak lihat kau bahagia.”
Raya terdiam beberapa detik, lalu tertawa kecil. “Kau terlalu peka, Keenan. Aku hanya sedang mencoba menikmati hari, itu saja.”
“Raya,” Keenan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah. “Kau tahu, aku mengenalmu bukan sehari dua hari. Kalau ada yang mengganggumu, kau tidak perlu pura-pura kuat.”
Raya menatapnya, kali ini benar-benar menatap. Ada rasa perih di matanya yang segera ia tutupi dengan senyum datar.
“Tidak semua hal harus dijelaskan, Keenan. Kadang, pura-pura kuat itu satu-satunya cara agar tidak hancur di depan orang lain.”
Keenan tidak tahu harus menjawab apa.
Suasana mendadak sunyi. Hanya bunyi alat makan dan suara riuh di meja lain yang mengisi udara di antara mereka.
Raya mengaduk minumannya pelan. “Aku cuma ingin fokus pada pekerjaan. Tidak mau dicampur dengan hal-hal pribadi.”
Keenan mengangguk, meski wajahnya masih menyiratkan kecewa.
“Baiklah. Tapi kalau suatu hari kau butuh tempat cerita, kau tahu aku selalu ada.”
Raya tersenyum lagi—senyum yang kali ini lebih lembut, lebih manusiawi. “Terima kasih, Keenan.”
*
Sepulang dari makan siang itu, Raya kembali ke meja kerjanya dengan langkah pelan. Tapi begitu sampai di depan komputer, senyumnya langsung kembali seperti topeng yang sempurna.
Clara menyapanya. “Hei, kalian makan di mana tadi?”
“Di kantin. Dan kau tahu? Makanannya masih sama enaknya seperti dulu, tapi piringnya makin kecil,” celetuk Raya sambil tertawa.
“Raya!” Clara sampai geleng-geleng kepala. “Kau benar-benar aneh hari ini.”
“Terima kasih. Aku ambil itu sebagai pujian.” Raya duduk sambil membuka laptopnya, mengetik cepat, dan sesekali menimpali obrolan rekan-rekan lain dengan candaan kecil.
Dari luar, semua tampak baik-baik saja.
Raya tersenyum, tertawa, dan sesekali menggeleng lucu.
Tapi di dalam dirinya, sesuatu terus berdesir—gelombang kecil yang menekan dadanya perlahan.
Ia terus berkata dalam hati: Jangan pikirkan dia. Jangan pikirkan Arka. Jangan pikirkan tentang kemarin.
Namun suara itu tak pernah benar-benar diam.
Setiap kali ia menatap layar komputer, yang muncul di benaknya bukan angka atau laporan kerja—melainkan wajah pria itu, tatapannya yang dingin, dan kalimat yang terus menghantuinya:
“Kau milikku, Raya.”
Raya menutup mata sejenak, menahan napas, lalu tersenyum lagi seolah tak terjadi apa-apa.
Clara memperhatikannya dari jauh, dan kali ini ia benar-benar yakin—
Raya tidak baik-baik saja.
Gadis itu hanya sedang mencoba bertahan dengan caranya sendiri.
Dan kadang, berpura-pura bahagia adalah bentuk paling menyakitkan dari cinta yang tak bisa disuarakan.
📖 To Be Continued...
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........