Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sabotase data
Pagi itu, kantor ramai seperti biasa. Dentingan keyboard, suara telepon berdering, dan langkah kaki karyawan bersahut-sahutan. Di balik semua hiruk pikuk itu, Tasya duduk di mejanya, mencoba fokus pada layar laptop.
Wajahnya pucat, tapi ia menutupinya dengan make up tipis. Sesekali ia menarik napas pelan, menahan rasa nyeri yang menyelinap di tubuhnya.
"Jangan sampai ada yang sadar," gumamnya pelan.
Dari kejauhan, Revan memperhatikan. Matanya tak pernah lepas dari Tasya yang tampak bekerja lebih pelan dari biasanya. Ia mengetukkan jarinya ke meja, menahan diri untuk tidak langsung menghampiri.
Kenapa dia selalu jaga jarak? pikirnya frustasi.
Tasya sendiri sengaja menjaga jarak. Setiap kali Revan mendekat, ia selalu mencari alasan untuk pergi lebih dulu, pura-pura sibuk, atau hanya sekadar menunduk tanpa menatap. Ia tahu Revan terlalu jeli membaca dirinya, dan ia tak mau kelemahannya terbongkar.
Siang hari, saat Tasya baru saja menyelesaikan satu file penting untuk persiapan acara besar lima hari lagi, tiba-tiba layar laptopnya berkedip. Ia mengernyit, lalu ternganga saat menyadari folder tempat ia menyimpan data hilang.
"Hah? Kok hilang gitu aja?" Tangannya gemetar saat mencoba mencari kembali file itu. Kosong. Semua data yang ia kerjakan berhari-hari … lenyap.
"Kenapa bisa hilang?" bisiknya panik.
Rekan-rekan lain hanya melirik sekilas, sibuk dengan urusan masing-masing. Tasya menunduk, menutup wajahnya dengan tangan. "Aku harus buat ulang … nggak ada waktu banyak."
Namun sebelum ia sempat menenangkan diri, suara Revan terdengar tegas dari belakang. "Sya, kenapa?"
Tasya menoleh cepat, matanya gugup. "Nggak, nggak apa-apa. Laptop aku error, terus datanya hilang. Aku bisa buat lagi, mungkin malam ini aku selesaikan." Ia mencoba tersenyum, tapi jelas senyum itu dipaksakan.
Revan mendekat, lalu menatap layar laptopnya. Alisnya langsung mengerut tajam. "Eror apanya? Ini jelas-jelas ada yang nyabotase, Sya!"
Tasya kaget, buru-buru menutup laptop. "Revan, udah. Jangan ribut di sini. Aku bisa kerjain ulang."
Tapi Revan bukan tipe orang yang bisa diam. Rahangnya mengeras, tatapannya berkilat. Ia berdiri tegak, menoleh ke seluruh ruangan. "Siapa yang berani nyabotase laptop Tasya?" suaranya lantang, membuat semua orang menoleh.
Suasana seketika hening. Beberapa karyawan saling pandang, ada yang gelisah, ada yang menunduk pura-pura sibuk.
Revan mengepalkan tangan. "Acara tinggal lima hari lagi. Data ini krusial. Kalau ada yang main-main sama kerjaan ini, konsekuensinya juga nggak main-main!" Nada suaranya dingin, penuh ancaman.
Tasya menunduk, jantungnya berdegup kencang. Ia merasa Revan terlalu keras, tapi di sisi lain … ada secuil rasa aman karena laki-laki itu tak tinggal diam saat ia diperlakukan tidak adil.
Revan menatap semua orang satu per satu, matanya tajam. "Kalau nggak ada yang ngaku, aku sendiri yang bakal cari tahu."
Suasana makin tegang. Beberapa karyawan menelan ludah, menyadari bahwa masalah ini nggak akan berhenti begitu saja.
Sementara itu, Tasya menarik napas dalam, mencoba menguatkan diri. Ia tahu harus bekerja ulang dari awal, meski tubuhnya sendiri sudah hampir tak sanggup.
Dan tanpa sadar, Revan sekali lagi memperhatikan tangannya yang gemetar.
Fira baru saja kembali dari pantry dengan dua gelas teh hangat di tangannya saat melihat wajah Revan yang berubah serius, bahkan terlihat sangat marah.
"Tas, ada apa?" bisik Fira yang duduk di sebelah meja kerja sahabatnya.
Tasya menggeleng lemah. "Dataku tiba-tiba hilang."
"Hah? Kok bisa? Ya udah ayo aku bantuin susun lagi," ucap Fira mencoba menenangkan Tasya yang kini terlihat pucat.
Fira menaruh teh di meja, lalu langsung membuka laptopnya sendiri. "Mana, coba kasih aku list kasar aja. Biar aku bantu bikin ulang. Kalau kamu maksa sendirian, bisa nggak selesai tepat waktu, Tas."
Tasya tersenyum tipis, meski bibirnya gemetar. "Makasih, Fir. Aku coba inget-inget lagi urutannya."
Aldo yang duduk tak jauh dari meja Tasya ikut berdiri begitu mendengar percakapan mereka. Ia menatap wajah pucat Tasya, lalu tanpa banyak tanya langsung membawa kursinya mendekat.
"Aku juga bantu, deh. Kasih aku bagian yang ringan aja, asal cepat bisa selesai. Jangan maksain kerja sendiri, Tas."
Tasya terdiam sesaat, hatinya hangat sekaligus sesak. Ia tak menyangka Fira dan Aldo langsung turun tangan tanpa banyak alasan. "Makasih banget, kalian …" ucapnya lirih.
Fira tersenyum tipis, menepuk bahunya. "Udah, fokus aja. Kita selesain bareng-bareng."
Sementara di sisi lain ruangan, Revan sudah melangkah cepat ke divisi IT. Wajahnya gelap, nadanya berat saat berbicara. "Aku butuh laporan detail. Siapa yang akses laptop Tasya hari ini? Ada yang masuk, kan?"
Pria IT itu menoleh gugup, lalu mulai mengetik cepat di komputernya. Beberapa menit kemudian, ia menunjuk ke layar. "Benar, Pak. Ada login asing yang masuk lewat jaringan kantor. Ini alamat IP-nya."
Revan menunduk, matanya menyipit membaca data yang terpampang. "Lokasinya?"
Petugas IT itu menelan ludah. "Alamat IP ini … berasal dari jaringan internal. Jadi, orangnya masih di gedung ini, Pak."
Rah rahangnya mengeras. "Jadi benar ada yang main-main di dalam."
"Sepertinya begitu. Tapi untuk tahu komputer mana yang dipakai, saya perlu sedikit waktu tracking lebih dalam."
Revan menatapnya dingin, lalu menepuk bahunya dengan tekanan kuat. "Waktu kamu nggak banyak. Aku harus tahu secepatnya."
Tatapannya kembali gelap. Ia tahu ada orang di dalam gedung itu yang sengaja menjatuhkan Tasya. Dan ia bersumpah akan menemukannya.
Di meja kerja, Tasya, Fira, dan Aldo mulai sibuk membangun ulang file yang hilang. Jemari mereka berpacu di keyboard, saling melengkapi kekurangan satu sama lain.
Tapi meski dikelilingi orang-orang yang membantu, tubuh Tasya makin lemah. Pandangannya sesekali berkunang, napasnya pendek-pendek. Ia berusaha menyembunyikannya dengan menunduk, berharap Fira dan Aldo tak menyadari.
Tim IT akhirnya berhasil melacak alamat IP yang digunakan untuk menghapus data penting milik Tasya. Semua orang langsung lega, setidaknya ada titik terang. Dengan sigap, Revan dan beberapa tim keamanan menuju lokasi yang ditunjukkan.
Namun saat mereka tiba di sana, yang ditemukan hanya sebuah tablet tua yang sudah menyala dengan jaringan aktif, tergeletak di atap gedung kantor. Layarnya masih terbuka pada mode remote access.
Revan mengambil tablet itu dengan wajah muram. "Si4l … ini cuma pancingan," desisnya.
Tim IT yang ikut naik hanya bisa menghela napas. Mereka coba memeriksa sekeliling, tapi tak ada tanda-tanda siapa pun. Bahkan saat dicek rekaman CCTV gedung, tidak ada satu kamera pun yang menangkap sosok pelaku. Semua seakan sudah diatur dengan rapi.
Revan mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Dia sengaja ninggalin jejak palsu. Tapi kenapa harus targetin Tasya?"
Sementara itu, Tasya yang tetap berusaha terlihat tenang di ruang kerjanya, berulang kali menyembunyikan rasa sakit yang mulai menusuk dari dadanya. Dia lebih memilih menahan diri daripada menunjukkan kelemahan di depan orang lain.
Namun dalam hati kecilnya, ada ketakutan lain yang perlahan muncul, apakah dirinya mampu menyelesaikan acara besar ini dalam lima hari ke depan, jika serangan seperti ini terus terjadi?
TO BE CONTINUED