Istri Rahasia Sang CEO
Suara alarm di ponsel berbunyi nyaring, menggema di kamar yang sunyi dan sedikit terlalu dingin untuk selera Raya. Ia mengerang pelan, menarik selimut hingga menutupi kepala, berharap bisa menunda kenyataan barang lima menit saja. Tapi ia tahu, tetap saja, tidak akan ada yang berubah.
Hari ini, seperti kemarin. Seperti besok. Seperti dua tahun terakhir yang sepi dan hambar.
Dengan malas, Raya menggapai ponsel di meja samping tempat tidur dan mematikan alarm. Matanya masih setengah terpejam saat ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela besar di sudut ruangan. Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menggambar pola-pola lembut di lantai kayu.
"Good morning to me..." gumamnya lirih, berusaha memotivasi diri sendiri.
Kakinya menyentuh lantai yang dingin, membuat tubuhnya bergidik. Dengan langkah malas, ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci wajah, lalu berdiri beberapa detik menatap bayangannya sendiri di cermin. Rambut cokelat panjangnya berantakan, matanya masih sayu, tapi senyum kecil tetap ia paksakan.
"Semangat, Raya. Ini cuma satu hari lagi... lalu satu lagi... lalu satu lagi... sampai kamu bebas," bisiknya pada dirinya sendiri.
Setelah bersiap, mengenakan blus putih sederhana dan celana panjang hitam, Raya melangkah keluar dari kamarnya. Ia melewati lorong panjang dengan dinding berwarna netral dan dekorasi minimalis yang terlalu sunyi untuk rumah sebesar ini.
Turun ke dapur, ia menemukan pemandangan yang sudah biasa: Arka duduk di meja makan, dengan ekspresi datar, menyesap kopinya perlahan sambil menatap tablet di tangannya. Setelan kerja hitamnya sudah rapi, dasi abu-abunya sempurna tanpa cela. Bahkan di pagi hari pun, pria itu terlihat seperti potret profesionalisme yang membosankan.
Raya menarik napas dalam-dalam.
‘Oke, mulai akting.’
"Selamat pagi," ucap Raya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Arka hanya mengangguk sedikit tanpa mengalihkan pandangannya dari tablet. Tidak ada ‘pagi juga’, tidak ada senyum, tidak ada percakapan ringan. Seperti biasa.
Raya mengabaikan rasa sesak di dadanya dan menuju kulkas, mengambil sebotol susu untuk sarapan serealnya. Ia makan dengan cepat, karena tahu Arka akan segera berangkat, dan setelah itu rumah ini akan kembali sunyi seperti biasanya.
Begitu Arka selesai dengan kopinya, ia bangkit dari kursinya. Hanya suara gesekan kursi dengan lantai yang terdengar.
"Aku pergi," katanya singkat, akhirnya memecah keheningan.
Raya hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. "Hati-hati di jalan," balasnya, walaupun ia tahu, Arka tidak pernah benar-benar mendengarnya.
Pintu depan tertutup dengan suara klik yang khas, meninggalkan keheningan yang menggantung di udara.
Raya menghela napas panjang, meletakkan sendok di mangkuk kosongnya.
"Dan... rumah ini kembali menjadi museum," katanya sambil menatap kosong ke arah pintu.
Ia menatap jam dinding. Pukul 07.20. Masih ada waktu untuk bersantai sebelum berangkat magang—ke kantor yang sama dengan tempat Arka menjadi CEO. Ironis. Setiap hari, mereka bekerja di bawah atap yang sama, namun tak ada satu orang pun yang tahu hubungan mereka.
Semua orang percaya, istri Arka adalah Amara. Bukan dirinya.
Dan anehnya, Raya merasa lega sekaligus sedih tentang itu.
Ia menatap ke luar jendela, menonton dunia kecil di luar sana perlahan-lahan berdenyut hidup. Orang-orang terburu-buru memulai hari mereka, bersemangat, penuh tujuan. Sedangkan dirinya...
Ia menjalani hari hanya karena itu bagian dari rutinitas yang tidak bisa ia tinggalkan.
Sambil bersandar di kursi, Raya membayangkan, andai saja dua tahun lalu ia tidak mengorbankan dirinya di altar. Andai saja ia berani menolak. Tapi semua itu sudah lewat. Ia terjebak dalam pernikahan rahasia yang tidak pernah ia pilih.
Raya tersenyum miris.
Lucu, bagaimana hidup bisa berubah hanya dalam satu hari. Dari seorang mahasiswi biasa, menjadi... istri CEO. Tapi tanpa cinta, tanpa kehidupan pernikahan yang sesungguhnya. Hanya status yang bahkan harus ia sembunyikan dari dunia.
Ia menutup matanya sebentar. Membiarkan perasaan hampa itu mengisi dadanya, sebelum akhirnya memaksakan diri bangkit.
‘Move, Raya. Hidup ini tidak akan menunggu orang malas.’
Mengambil tas ransel, ia memeriksa berkas-berkas magangnya, lalu mengunci pintu rumah dan bergegas keluar menuju halte bus. Meski ia tinggal bersama pria super kaya, Raya tetap mempertahankan kehidupannya yang sederhana. Tidak pernah mau menyetir mobil mewah, tidak pernah meminta kemudahan apapun.
Ia ingin menjaga sedikit kebebasan kecil yang masih tersisa.
Saat bus melaju membawa dirinya menuju pusat kota, Raya bersandar di jendela, menatap pemandangan yang bergulir cepat. Ia tidak sadar, bahwa pagi ini—yang tampak biasa saja—akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
*
Gedung megah milik Xander Corp menjulang tinggi di tengah kota, berkilauan diterpa matahari pagi.
Raya menarik napas panjang sebelum melangkah melewati pintu putar kaca, memasuki dunia yang asing namun perlahan mulai akrab baginya.
Sudah satu minggu ia bekerja di sini sebagai karyawan magang di divisi pemasaran.
Pekan pertamanya terasa seperti berjalan di atas tali — penuh kehati-hatian, takut tergelincir di antara para profesional yang tampak jauh lebih berpengalaman.
Langkah kakinya berhenti di depan lift.
Raya melirik arlojinya. Jam delapan kurang sepuluh menit. Tepat waktu, seperti biasa.
Setibanya di lantai 17, ia segera bergegas menuju ruang kerjanya, sebuah ruangan luas dengan sekat-sekat kaca, penuh dengan suara keyboard yang beradu cepat dan bisikan-bisikan kecil.
"Raya!"
Suara ceria menyapanya.
Raya menoleh dan menemukan Clara, senior yang membimbingnya selama masa magang ini. Wanita itu tersenyum ramah sambil melambaikan tangan.
"Selamat pagi, Kak Clara," sapa Raya sopan, menganggukkan kepala.
"Ayo, ikut aku. Ada rapat divisi pagi ini," kata Clara, menggamit lengannya ringan.
Raya mengangguk patuh, mengikuti Clara menuju ruang rapat kecil di ujung lorong.
Di sepanjang perjalanan, beberapa karyawan lain melirik ke arah mereka — atau lebih tepatnya, melirik ke arah Raya.
Raya sudah terbiasa dengan tatapan itu.
Sejak hari pertamanya, desas-desus tentang dirinya sudah beredar.
Bukan karena prestasi atau penampilannya.
Tapi karena satu fakta kecil yang tampaknya mengguncang seluruh lantai:
Raya adalah adik ipar dari CEO perusahaan, Arka Xander.
Dan parahnya, selama seminggu ini, ia belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan sang CEO di kantor.
Semuanya seolah menganggap Raya seperti makhluk aneh, mencurigai ada 'hubungan istimewa' yang membuatnya bisa magang di tempat elit seperti ini.
Begitu mereka duduk di ruang rapat, pembicaraan tak lama kemudian bergulir.
"Eh, Raya," bisik Clara sambil mencondongkan tubuh, suaranya dibuat setengah berbisik, setengah menggoda, "bener ya kamu itu... adik iparnya Pak Arka?"
Raya terkejut sesaat, sebelum mengangguk canggung. "I-iya, kak. Tapi kami nggak dekat..."
"Ohhh..." Clara mengedipkan mata penuh arti.
Beberapa rekan lain mulai mendekat, pura-pura sibuk sambil memasang telinga.
"Aku dengar, Pak Arka itu... orangnya super galak ya? Sampai-sampai, semua kepala divisi aja pada gemeteran kalau dipanggil ke lantai 30," celetuk seorang senior pria bernama Rio.
"Aku juga pernah dengar," sahut Nadia, staf pemasaran lain, menambahkan. "Katanya, ekspresi dia tuh nggak pernah berubah. Kayak... patung hidup."
Beberapa orang terkikik pelan.
Raya hanya bisa tersenyum tipis, tidak tahu harus merespons apa.
Dalam hati, ia mengakui — selama di rumah pun Arka memang bukan orang yang banyak berbicara, apalagi menunjukkan ekspresi.
To Be Continued >>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments