menceritakan gadis cantik yang berwajah baby face dengan jilbab yang selalu warna pastel dan nude yang menjadi sekretaris untuk melanjutkan hidup dan membantu perekonomian panti tempat dia tinggal dulu. yang terpaksa menikah dengan CEO duda tempat dia berkerja untuk menutupi kelakuan sang ceo yang selalu bergonta ganti pasangan dan yang paling penting untuk menjadi mami dari anaknya CEO yang berusia 3 tahun yang selalu ingin punya mami
dan menurut yang CEO cuman sang seketerasi yang cocok menjadi ibu sambung untuk putri dan pasang yang bisa menutupi kelakuannya
dan bagaimana pernikahan Kontrak ini apakah akan berakhir bahagia atau berakhir sampai kontrak di tentukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetmatcha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Setelah Nayla keluar dari ruangan Agra, Dion langsung menjatuhkan tubuhnya ke kursi di hadapan sahabat lamanya itu. Dengan gaya santai, ia membuka laptop dan menatap layar kosong yang siap ia isi.
“Cepetan, Gra. Apa aja syarat kontrak yang mau lo masukin? Biar gue ketik sekarang, gue sekalian koreksi juga,” ucap Dion sambil menggerakkan jemarinya di atas keyboard.
Agra menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya serius, dingin, dan penuh perhitungan. “Pokoknya lo catet aja. Nggak usah banyak protes apa yang gue bilang.”
Dion mendengus kecil. Sejak kapan Agra jadi makin kejam begini? pikirnya. Tapi tanpa komentar, ia mulai mengetik setiap poin yang Agra sebutkan.
Awalnya, Dion masih bisa menahan ekspresinya. Tapi semakin banyak syarat yang dilontarkan Agra, semakin jelas keningnya berkerut. Jari-jarinya sempat terhenti beberapa kali, seolah otaknya menolak untuk menuliskan kalimat-kalimat kejam itu. Hingga akhirnya, ketika sampai pada poin terakhir, Dion tak tahan lagi. Ia menutup laptopnya dengan keras hingga suara “duk!” terdengar memenuhi ruangan.
“Lo gila, Gra?!” suara Dion meninggi, penuh emosi. “Ini semua syarat di kontrak nikah ngerugiin Nayla! Lo keterlaluan banget! Gue nyesel bantuin lo, sumpah!”
Agra tidak terkejut. Justru, bibirnya melengkung tipis, senyum licik yang membuat Dion ingin sekali mendaratkan tinju ke wajahnya.
“Iya. Memang itu tujuan gue,” jawab Agra santai. “Gue akan jadikan Nayla ibu buat Nabila… dan juga ibu dari anak gue sendiri. Gue cuma mau nikah sama wanita yang baik baik untuk ibunya Nabila dan ibu untuk anak gue nanti. Gue butuh anak dari pernikahan yang sah. Dan gue berharap nantik anak gue dengan Nayla anak itu laki-laki.”
Dion membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kalau gitu, ngapain pakai kontrak segala?! Langsung nikah aja! Atau sekalian nikahin salah satu cewek lo yang banyak itu!”
Agra tertawa kecil, datar, lalu menatap Dion dengan tenang. “Lo tahu sendiri, Yon. Cewek-cewek itu cuma buat senang-senang. Macam mama nya Nabila cuman buat senang senang eh rupanya dia cerdik menjebak gue sehingga hamil Nabila untung aja Nabila mirip gue dan cukup sekali gue nikah sama wanita modelan gitu ucap Agra
Nggak ada satu pun yang cocok jadi ibu buat anak-anak gue. Satu-satunya perempuan yang punya sisi keibuan, lembut, dan bisa deket sama Nabila, ya cuma Nayla. Dan satu lagi Nayla gak akan mungkin melarang dengan hobi gue sama wanita ”
Dion menggertakkan rahangnya, jantungnya berdegup kencang. Kenapa harus Nayla? Kenapa anak sebaiknya itu dijadikan korban dari permainan kotor Agra?
Agra kembali bicara, tenang seolah membicarakan angka di laporan keuangan.
“Gue nggak cinta sama Nayla, dan dia juga nggak cinta sama gue. Ini pernikahan mutualisme—saling menguntungkan. Simple. Dia cuma perlu jadi istri yang nurut dan ibu yang baik buat anak-anak kami nanti.”
Dion memejamkan mata, mencoba meredam emosi yang sudah memuncak. Nafasnya berat, dadanya sesak. Kalau bukan karena persahabatan panjang mereka, mungkin ia sudah benar-benar meledak.
“Yon, panggilin Nayla,” ucap Agra akhirnya, datar tapi memerintah.
Dion bangkit dengan enggan, hatinya kacau. Ia membuka pintu dan mendapati Nayla masih duduk di ruang tunggu. Wajah gadis itu terlihat tegang, namun tetap tenang di permukaan. Dion berusaha tersenyum meski hatinya berontak.
“Nay, kamu dipanggil bos,” ucapnya pelan.
Nayla mengangguk. “Siap, Pak.” Ia berdiri dan melangkah masuk, tanpa tahu badai apa yang sedang menunggunya.
Sabar ya, Nay, batin Dion, menatap punggung sahabat kecilnya itu yang perlahan menghilang di balik pintu ruangan Agra.
Nayla masuk dengan hati-hati. “Permisi, Pak.”
Agra langsung menyerahkan sebuah map berisi dokumen. “Ini kontrak pernikahannya. Silakan dibaca dan dicek.”
Dengan kedua tangan yang sedikit bergetar, Nayla menerima map itu. Ia menarik napas, lalu membuka lembaran kertas berlogo perusahaan dengan hati-hati. Matanya menelusuri baris demi baris kalimat yang tersusun rapi, namun setiap kalimat terasa seperti belati yang menusuk jantungnya.
Kontrak Pernikahan
Pihak Pertama: Agra Digantara
Pihak Kedua: Nayla Humaira
Pihak Kedua tidak diperbolehkan mengajukan perceraian kepada Pihak Pertama.
Pihak Kedua wajib mematuhi semua aturan yang ditetapkan oleh Pihak Pertama.
Setelah menikah, Pihak Kedua tidak diperbolehkan bekerja di luar rumah.
Pihak Kedua bertugas penuh merawat anak-anak dan suami di rumah.
Pihak Kedua bertanggung jawab atas seluruh urusan rumah tangga, termasuk memberikan gaji bulanan untuk asisten rumah tangga, yang dananya akan ditransfer oleh Pihak Pertama ke rekening milik Pihak Kedua.
Pihak Kedua tidak memiliki hak untuk melarang Pihak Pertama berdekatan dengan wanita mana pun.
pihak pertama tetap bisa melakukan semua kesenangannya
Pihak Pertama dan Pihak Kedua tetap akan melakukan hubungan suami istri selayaknya pasangan menikah pada umumnya dan lihat kedua dilarang meminum obat penunda kehamilan
Nayla menatap lembar terakhir cukup lama. Dadanya berdebar kencang, tangannya mulai dingin. Terutama pada poin kedelapan. Kata-kata itu seperti menghantam kepalanya, membuat pikirannya berputar kacau.
“Pak… maksud dari poin terakhir itu apa, ya?” tanyanya dengan suara yang hampir bergetar.
Agra menatap langsung ke matanya. Tatapan yang dingin, penuh kuasa. “Kita akan tetap melakukan hubungan suami istri. Tidur di kamar dan ranjang yang sama. Karena saya butuh anak laki-laki dari pernikahan ini untuk pengurus perusahan keluarga saya.”
Nayla terdiam, menelan ludah dengan susah payah. Hubungan suami istri? Anak laki-laki? Semua ini terasa tak masuk akal. “Tapi… bukankah ini hanya pernikahan kontrak, Pak?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Agra hanya menyilangkan tangan. “Kontrak atau bukan, pernikahan tetap pernikahan. Dan saya sudah bilang, saya butuh anak dari pernikahan ini.”
Keheningan membungkus ruangan itu, hanya suara detik jam dinding yang terdengar menusuk telinga.
Dengan ragu, Nayla memberanikan diri bertanya, “Pak… apa masih bisa dibatalkan saja?”
Agra menegakkan tubuh, menatap Nayla dengan tatapan tajam bagai elang yang menatap mangsa. “Kalau kamu batalkan, ya bisa saja. Tapi…” ia tersenyum tipis, penuh ancaman, “kamu akan saya pecat dari perusahaan ini. Dan saya jamin, nggak akan ada perusahaan lain yang mau nerima kamu.”
Nayla terdiam. Jantungnya seperti diremas. Pecat? Lalu aku harus makan apa? pikirnya. Tapi Agra belum selesai.
“Dan yang paling penting… panti asuhan tempat kamu dibesarkan akan tergusur. Ibu panti kamu akan dipaksa ganti rugi. Saya pastikan itu terjadi kalau kamu berani menolak.”
Tubuh Nayla kaku seketika. Kata-kata itu lebih menusuk dari apapun. Panti asuhan adalah rumahnya, satu-satunya tempat ia merasa punya keluarga. Ibu panti adalah sosok yang sudah merawatnya sejak kecil, sosok yang ia hormati setara dengan ibu kandung. Jika tempat itu benar-benar digusur, bagaimana nasib puluhan anak yatim lain? Bagaimana nasib Ibu Panti?
Air mata sudah menggenang di pelupuknya, tapi Nayla berusaha keras menahannya. Kepalanya menunduk, pikirannya kacau. Aku nggak punya pilihan… ini jebakan. Aku harus rela.
Akhirnya, dengan suara lirih, hampir seperti bisikan, Nayla berkata, “Iya, Pak. Saya akan tetap melanjutkan nikah kontraknya.”
Senyum kemenangan tersungging di bibir Agra. “Itu jawaban yang bagus. Kamu memang tahu cara membalas jasa ibu panti yang sudah merawat kamu.”
Nayla menutup matanya sejenak. Hatinya terasa perih, seperti disayat.
“Oh ya,” lanjut Agra santai, “nanti malam jam tujuh saya akan jemput kamu di apartemen. Kita akan ke rumah orang tua saya. Saya mau kenalkan kamu sebagai calon istri. Sekalian minta mereka melamar kamu secara resmi ke panti asuhan.”
Nayla terdiam. Tubuhnya terasa berat, seperti kehilangan tenaga.
“Oh iya… uangnya sudah saya transfer ke rekening kamu.” Agra menambahkan dengan nada datar, seolah semua ini hanyalah transaksi biasa.
Dengan langkah pelan, Nayla akhirnya berdiri. “Terima kasih, Pak. Kalau tidak ada lagi, saya permisi.”
Ia keluar dengan hati yang remuk. Setiap langkah kakinya seperti membawa beban dunia di pundaknya. Wajahnya tetap datar, tapi di dalam, hatinya menangis.
Dion yang melihat Nayla keluar langsung merasakan sesuatu yang mengikat dadanya. Wajah Nayla pucat, matanya kosong. Ia tahu, Nayla sudah terjebak.
Dan Dion hanya bisa menggenggam erat tangannya sendiri, menahan amarah yang ingin meledak. Nay, maafin gue. Gue nggak bisa lindungin lo kali ini…
apakah yang akan di lakukan Nayla selanjutnya dan apa tanggapan kedia sahabatnya