NovelToon NovelToon
Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Adik Tiri Kesayangan Si Kembar

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.

Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.

Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.

Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?

silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Ballroom hotel bintang lima itu berubah seketika dari kemegahan jadi lautan kepanikan. Dentuman musik dansa yang barusan terdengar anggun kini lenyap, berganti teriakan panik tamu-tamu elit yang berdesakan mencari jalan keluar. Kursi terbalik, gelas kristal pecah berhamburan, suara kamera media mengabadikan kekacauan itu terdengar semakin riuh. Lampu sorot darurat berwarna merah menyapu dinding, menambah suasana mencekam.

Daniel berdiri di tengah hiruk-pikuk, wajahnya menegang tapi tetap berusaha tenang. Dengan cepat dia menahan seorang petugas keamanan hotel.

“Matikan akses keluar! Kunci Semua pintu, sekarang! Jangan ada yang bisa keluar atau masuk sebelum adik saya ditemukan,” suaranya tegas, dingin, aura seorang pemimpin bisnis yang terbiasa memberi instruksi langsung.

Namun di sisi lain, Dominic justru meledak-ledak. Tangannya menarik kerah seragam security yang sama, membuat lelaki itu hampir terhuyung.

“Kalian kerja apa aja, hah? Di hotel segede ini, gimana bisa adik gue HILANG begitu aja?! CCTV mana?! Atau jangan-jangan lo semua kongkalikong?!” suaranya bergemuruh, sampai beberapa tamu terdiam dan menoleh. Wajahnya memerah, nadanya lebih seperti ancaman daripada sekadar protes.

Bella, yang masih berdiri dekat panggung, terperangah. Tangannya gemetar, napasnya tersengal, dia memeluk tas kecilnya erat-erat seakan itu bisa menenangkan hatinya.

“Lala… oh Tuhan, Lala…” bisiknya lirih, matanya terus mencari ke setiap sudut ballroom, seolah Elanor bisa muncul dari balik kerumunan kapan saja. Tapi semakin dia mencari, semakin kosong yang dia temukan.

Di tengah semua hiruk pikuk itu, Rafael muncul. Ekspresinya datar, tidak panik seperti tamu-tamu lain, tapi matanya menyapu ruangan cepat, penuh perhitungan. Dia melangkah keluar ballroom dengan tenang namun tergesa, menyalakan ponselnya.

Begitu tersambung, suaranya rendah dan dingin.

“Siapkan alatku. Sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban, Rafael langsung menutup telepon, melepas rompinya yang hitam elegan itu, dan melemparkannya ke lantai lorong hotel. Kemeja putihnya kini melekat di tubuhnya, lengan digulung hingga siku, tatapannya berubah tajam. Aura manservant sopan itu hilang seketika, berganti sesuatu yang lebih berbahaya, lebih dingin. Di belakangnya, ballroom masih penuh dengan teriakan, blitz kamera, dan suara gaduh.

Casandra berdiri di tengah kerumunan tamu, gaunnya yang berkilau tetap anggun meski wajahnya berpura-pura pucat. Tangannya menutup mulut seakan syok, lalu dengan suara yang dibuat gemetar dia berkata:

“Elanor… oh Tuhan, di mana putriku? Tolong… cari dia! Cepat!”

Matanya berkeliling, mencari perhatian media yang masih menyorot, memastikan tiap ekspresi paniknya terekam dengan jelas. Sesekali dia menoleh ke arah security, suaranya meninggi.

“Bagaimana bisa seorang gadis menghilang di pesta sebesar ini?! Lakukan sesuatu! Kalian dibayar untuk apa?!”

Beberapa tamu wanita mendekatinya, mencoba menenangkan, sementara para pria terhormat menggeleng, berbisik-bisik pelan. Kamera media terus memotret, menangkap setiap tetes air mata buatan Casandra yang dengan lihai dia biarkan jatuh di pipinya.

Sementara itu, jauh dari hingar-bingar ballroom, Rafael sudah berada di lantai terbawah hotel, yaitu area parkir yang sepi, remang, dan hanya diterangi lampu neon redup. Langkahnya mantap, cepat. Suara sepatu kulitnya memantul di dinding beton, hingga akhirnya dia berhenti tepat di depan motor hitam bergaya klasik yang dipoles rapi.

Dengan gerakan terlatih, dia meraih helm hitam matte dari setang motor. Helm itu tak sekadar pelindung, tapi penuh dengan teknologi tersembunyi. Rafael memakainya tanpa ragu, lalu menaiki motornya. Begitu kunci diputar, suara mesin meraung rendah—bertenaga, beringas.

“Tin… tin… tin…”

Jam tangan di pergelangan kirinya menyala, memproyeksikan hologram peta berwarna biru redup. Di tengah peta itu, sebuah titik merah berkedip cepat, bergerak menjauh dari hotel. Pandangan Rafael mengeras, rahangnya mengatup.

“Aku pasti akan menyelamatkanmu, Ela,” bisiknya dalam hati, suaranya nyaris bergumam namun penuh tekad.

Tangannya menggenggam erat stang, tubuhnya sedikit menunduk. Sekejap kemudian, suara mesin meraung keras.

Bruuuuuummm!

Motor itu melesat keluar dari parkiran bawah tanah, ban berdecit meninggalkan jejak hitam di lantai beton. Udara malam kota langsung menerpa tubuhnya, lampu-lampu jalan jadi garis cahaya yang tertinggal di belakang. Setiap detik, Rafael menambah kecepatan, matanya fokus pada titik merah yang terus bergerak di peta kecil di jam tangannya.

Perburuan baru saja dimulai.

Suara raungan mesin motor Rafael pecah di jalan kota yang ramai. Lampu-lampu neon dari gedung pencakar langit bergaris panjang di kaca helmnya, sementara angin malam menampar wajahnya keras. Titik merah di peta jam tangannya terus bergerak maju, dan tak lama kemudian, tiga sedan hitam berjejer rapat di depannya.

Rafael mencondongkan tubuh ke depan, tangannya menekan tombol kecil di sisi helm. Suara sambungan telekomunikasi langsung terdengar di telinganya.

“Jl. Anggrek Barat,” ucapnya singkat, dingin. Tak ada kata lain. Ia menutup sambungan, fokus sepenuhnya pada pengejaran.

Di mobil sedan kedua, seorang pria dengan tubuh atletis, wajah keras, dan aura pemimpin yang tak bisa disembunyikan, duduk dengan tenang. Tangannya memegang rokok, asap tipis mengepul ke atas. Ketika salah satu anak buahnya bersuara panik, “Bos, ada yang mengikuti kita!”, pria itu langsung menoleh ke kaca belakang.

Mata tajamnya menangkap kilatan lampu motor yang semakin mendekat. Dahinya mengernyit, lalu matanya melebar sesaat.

“Bagaimana bisa…?” gumamnya, sebelum wajahnya berubah dingin, beku seperti patung. Suaranya berat, tenang, namun penuh perintah.

“Bunuh dia.”

Instruksi itu membuat mobil paling belakang segera bereaksi. Jendela-jendela diturunkan serentak, angin malam masuk kencang. Tiga pria bersenjata keluar setengah badan, senapan otomatis hitam di genggaman mereka. Tanpa aba-aba lagi—

DORR! DORR! DORR! DORR!

Hujan peluru memecah kesunyian jalan. Suara dentuman memantul di gedung-gedung sekitar, kaca etalase toko pecah, alarm mobil-mobil parkir berbunyi. Peluru-peluru menghujani aspal, memercikkan api saat mengenai besi pembatas jalan.

Rafael dengan refleks menurunkan badan ke samping motor, setang ia miringkan tajam. Motor melaju zig-zag, nyaris menempel aspal. Suara peluru melintas hanya beberapa inci dari tubuhnya. Helmnya langsung mengunci mode taktis, HUD (heads-up display) menyala, menampilkan lintasan peluru dan rute teraman di layar dalam visor.

“Kurang ajar…” Rafael mendesis, matanya menyipit. Ia meraih pedal di samping motor dengan kakinya, lalu menendangnya. Seketika motor melesat makin kencang, knalpot mengeluarkan suara ledakan kecil saat turbo aktif.

BRRRRUUUUUUMMMM!

Motor itu melesat mendekati mobil paling belakang. Senjata musuh terus menyalak, tapi Rafael menunduk rendah, menempelkan tubuhnya ke motor.

Dengan satu gerakan cekatan, tangan kirinya menyelip ke dalam kompartemen kecil di samping motor. Pistol Glock 12 keluar, gagangnya sudah dimodifikasi dengan grip karbon, moncongnya lebih panjang, dan ada laser kecil di bawahnya.

Sambil terus melaju, Rafael mengangkat pistol itu dengan satu tangan. DOR! DOR! DOR! Suara tembakan membelah malam. Dua peluru meleset, menghantam kaca toko dan dinding beton, tapi tembakan ketiga dan keempat mengenai sasaran. Dua dari tiga pria bersenjata itu terhuyung, darah memercik, tubuh mereka masuk kembali ke dalam mobil.

Pria ketiga buru-buru menarik badannya ke dalam, wajahnya pucat, tangannya gemetar saat berusaha mengganti magasin.

“Kesempatan…” Rafael mendesis rendah, matanya menajam.

Tangannya memelintir gas motor lebih dalam. Suara BRRRRUUMMMM memecah jalan raya, motornya kini sejajar dengan sedan hitam paling belakang. Dari jarak sedekat itu, Rafael bisa melihat jelas wajah panik supir di balik kemudi.

Dengan gerakan cepat, Rafael menekan tombol di samping helm. Klik! Mode night vision langsung aktif. Dunia berubah menjadi hijau pekat, garis-garis tajam mobil terpampang jelas di layar dalam visor. Ia meneliti bagian belakang, kursi, bagasi, dan tidak ada tanda-tanda Elanor di mobil itu.

“Bukan di sini,” gumamnya, dingin.

Tanpa pikir panjang, Rafael mengangkat Glock-nya, membidik lurus ke arah supir. DOR! Satu tembakan tepat di kepala.

Supir langsung ambruk menabrak setir, sedan itu oleng liar, ban menggesek aspal hingga mengeluarkan percikan api. “Sialan!” teriak pria bersenjata yang masih hidup di dalam. Mobil itu menghantam mobil parkir di pinggir jalan, dan dalam hitungan detik—

BOOOOOOMMM!!!

Ledakan besar mengguncang jalanan kota. Api menjilat langit malam, kaca pecah berhamburan, alarm mobil-mobil di sekitar serentak berbunyi. Gelombang panasnya bahkan terasa membakar dari balik visor Rafael.

Motor Rafael sempat oleng terkena shockwave, tapi dia sigap menyeimbangkan tubuhnya. Nafasnya berat, matanya masih fokus ke dua mobil sedan yang tersisa di depan.

“Kalau bukan yang belakang…” Rafael bergumam dingin, suaranya nyaris seperti bisikan.

“…Ela ada di salah satunya.”

Tangannya menekan gas lebih dalam, motornya meraung kencang membelah asap ledakan, memburu dua mobil lain yang mulai panik menambah kecepatan.

Sementara itu, Kegaduhan di ballroom belum juga reda. Para tamu masih berbisik-bisik, sebagian media sibuk menyalakan kamera, blitz menyala berulang kali, menangkap setiap ekspresi Casandra yang dengan lihai memerankan kepanikan pura-puranya.

Di sudut ruangan, Daniel duduk kaku dengan punggung menegang, kedua matanya menatap kosong ke arah panggung kosong di mana adiknya tadi berdiri. Dominic di sebelahnya terus mengetukkan jari di pahanya, gelisah seperti singa yang terkurung. Bella duduk di sisi lain, wajahnya pucat, mata sembab karena menahan tangis.

Hening sesaat, sebelum getar ponsel Daniel memecahkan udara. Nada getarnya singkat, tapi cukup membuatnya refleks meraih saku jas. Dia menggeser layar, menempelkan ponsel ke telinga.

Hanya satu kalimat terdengar, suara berat dan dingin di seberang sana:

“Jalan Anggrek Barat.”

Klik—sambungan terputus.

Daniel menurunkan ponselnya perlahan, matanya melebar. Jantungnya seolah berhenti sepersekian detik, lalu berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Kenapa?” suara Dominic tajam, mencabutnya dari kebekuan. “Siapa yang nelpon lo?”

Daniel menggeleng pelan, napasnya berat. “Gue nggak tau… tapi dia cuma bilang satu hal.”

Mata Dominic menyipit, sorotnya penuh amarah.

“Dan itu?”

Daniel menelan ludah. “Jalan Anggrek Barat.”

Seolah tersengat listrik, Dominic langsung berdiri. Kursinya bergeser kasar, bunyinya menabrak marmer lantai. Tanpa menunggu jawaban, dia melangkah cepat ke arah pintu keluar. Nafasnya berat, bahunya tegang—seperti pejuang yang sudah memutuskan maju ke medan perang.

Daniel hendak bangkit, tapi sebuah sentuhan menghentikannya. Tangan Bella, gemetar, menggenggam pergelangan tangannya. Daniel menoleh.

Mata Bella basah, sembab, tapi tatapannya penuh tekad yang rapuh. Suaranya pecah, tapi mantap.

“Gue ikut. Apapun caranya… gue harus ikut. Dia sahabat gue.”

Sejenak Daniel terpaku. Di wajah Bella, ia melihat ketakutan yang nyata, tapi juga keberanian yang tak ia duga sebelumnya. Tidak ada waktu untuk berdebat.

Daniel menghela napas pendek, menunduk sedikit menatap Bella. “Baiklah. Kau ikut dengan ku.”

Tanpa kata tambahan, dia meraih tangan Bella, menggenggam erat, lalu menariknya bangkit. Bella nyaris terseret oleh langkah panjang Daniel, tapi genggaman itu membuatnya tetap berdiri.

Mereka berdua berlari menyusul Dominic, meninggalkan ballroom yang masih kacau, meninggalkan Casandra yang tersenyum tipis di balik kepura-puraan paniknya.

Di luar, udara malam terasa jauh lebih dingin. Jalan Anggrek Barat menunggu—dan di sanalah jawaban dari teka-teki gelap ini tersembuny

1
Nanabrum
Ngakakk woyy😭😭
Can
Lanjuuutttt THORRRRR
Andr45
keren kak
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭
Andr45
wow amazing 🤗🤗
Can
Lanjut Thor
Cikka
Lanjut
Ken
Semangaaat Authooor, Up yang banyakk
Ken
Udah ngaku ajaaa
Ken
Jangan tidur atau jangan Pingsan thor😭😭
Ken
Nahh kann, Mulai lagiii🗿
Ken
Wanita Kadal 02🤣🤣
Ken
Bisa hapus karakter nya gak thor🗿
Ken
Kan, Kayak Kadal beneran/Panic/
Ken
Apaan coba nih wanita kadal/Angry/
Vytas
mantap
Ceyra Heelshire
gak bisa! mending balas aja PLAK PLAK PLAK
Ceyra Heelshire
apaan sih si nyi lampir ini /Panic/
Ceyra Heelshire
wih, bikin novel baru lagi Thor
Hazelnutz: ehehe iyaa😅
total 1 replies
RiaChenko♥️
Rekomended banget
RiaChenko♥️
Ahhhh GANTUNGGGGG WOYYY
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!