NovelToon NovelToon
Endless Journey: Emperors Of All Time

Endless Journey: Emperors Of All Time

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Fantasi Timur
Popularitas:656
Nilai: 5
Nama Author: Slycle024

Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.

Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.

Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bercermin

Zhang Hao tersentak kaget.

A-apa yang harus aku lakukan?

Lari? Menjawab? Atau… apakah aku bahkan berhak masuk kedalam?

Wanita yang dipanggil Nenek itu melanjutkan dengan lembut, suaranya menenangkan, “Jangan panik. Kemarilah. Pasti banyak pertanyaan yang muncul saat kau melihat papan nama toko ini.”

Ragu-ragu, Zhang Hao melangkah maju. Ada sesuatu tak terlihat yang seakan menariknya mendekat. Jika aku masuk… apakah aku akan menemukan semua jawaban itu?

Wanita itu mengangkat tangannya, dan seketika pintu kayu di hadapan Zhang Hao terbuka perlahan. “Ayo, kemarilah. Maukah kau berdiskusi dengan wanita tua ini?”

Didorong oleh kehangatan suara itu, Zhang Hao melangkah masuk. Begitu melewati ambang pintu, ia merasakan sebuah penghalang tak kasatmata, lalu tertegun melihat pemandangan di dalam—bukan toko, melainkan taman kecil dengan patung dan boneka kayu melayang secara beraturan.

Di rerumputan, dua anak duduk berhadapan. Anak laki-laki langsung cemberut. “Nenek, dia bukan keluarga kita. Kenapa membiarkannya masuk?”

Wanita itu hanya memberi isyarat pada Zhang Hao . “Jangan pedulikan mereka. Duduklah, masih banyak bangku.”

Zhang Hao masih ragu, tatapan anak-anak itu seakan menahannya di tempat. Namun, ia memaksa langkahnya terus maju hingga akhirnya memilih duduk di bangku kosong paling jauh.

Melihatnya sudah duduk, wanita itu tersenyum tipis. Ia lalu melemparkan sebilah pisau ukir dan beberapa batang kayu ke arahnya, sebelum kembali menatap cucu-cucunya yang sedang bertengkar. Tangannya perlahan bergerak, melanjutkan ukiran yang belum selesai.

Sementara itu, Zhang Hao hanya duduk dalam keadaan linglung. Entah bagaimana, jarinya mulai bergerak, mengukir batang kayu itu tanpa sadar.

---

Waktu pun berlalu.

“Nenek, kami ingin main salju!” seru anak laki-laki dengan wajah berbinar, semntara anak perempuan di sisinya hanya memeluk kaki sang nenek dengan tatapan penuh harap.

Wanita itu berhenti mengukir. Ia mengangkat tangannya, membuat sebuah penghalang, dan seketika butiran salju turun dengan lembut.

Dua anak itu langsung bersorak riang, berlarian sambil berguling di tanah, saling melempar salju, tawa mereka memenuhi taman kecil itu.

Tidak jauh dari sana, Zhang Hao berhenti mengukir, menatap butiran putih yang turun. Salju itu begitu nyata, dingin menempel di ujung jarinya ketika ia meraihnya.

Ia melirik ke arah wanita itu. Wajahnya tenang, seolah ini hanyalah hal biasa. Sementara dua anak itu berguling-guling dengan tawa yang murni.

Siapa sebenarnya wanita tua ini? Dan kenapa aku bisa berada di sini?meskipun aku tidak merasakan bahaya tersembunyi, tapi  kenapa?

---

Waktu terus mengalir, anak-anak itu pun pergi, meninggalkan Zhang Hao berdua dengan wanita tua itu.

Tatapan wanita itu beralih pada ukiran-ukiran di hadapan Zhang Hao . Alisnya sedikit terangkat ketika menyadari bentuk ukiran kayunya—binatang-binatang iblis langka, yang bahkan jarang ditemukan, dan ukirannya begitu jelas seakan pernah dilihat langsung.

“Menarik,” ujarnya. “Seolah kau pernah menyaksikannya sendiri.”

Ia berhenti sejenak, lalu bertanya, “Tapi… kenapa kau tidak mengukir orang yang kau pedulikan?”

Pisau Zhang Hao terhenti. Ia bergumam lirih, “Yang aku pedulikan…”

Wanita itu tersenyum samar. “Misalkan keluargamu, sahabat, teman… atau dirimu sendiri?”

Zhang Hao masih terpaku dalam diam. Tatapannya kosong, seakan pikirannya tersesat jauh. Wanita itu menatapnya, lalu bersuara lembut,

“Manusia… makhluk dengan kecerdasan yang tinggi. Kau tak bisa hidup hanya dengan makanan dan minuman saja. Hubungan dengan sesama, ikatan, dan keterhubungan—semua itu adalah bagian dari kebutuhan.”

Ia menggeser kayu di tangannya, kemudian melanjutkan, “Meskipun makna kehidupan tidak pernah sama bagi setiap orang. Itu adalah sesuatu yang pribadi, ditemukan lewat nilai-nilai yang kau junjung, tujuan yang kau capai, dan pengalaman yang kau jalani. Namun, jangan pernah lupakan: hubungan dan interaksi juga adalah bagian dari jalanmu.”

Zhang Hao menatapnya dengan kebingungan. “Aku… tidak mengerti.”

Wanita itu menghela napas panjang. “Pahami dan terima sesuatu yang tak bisa kau kendalikan—seperti kepedulian atau sikap orang lain. Seiring waktu, kau akan menemukan tujuanmu sendiri.”

Sebelum Zhang Hao sempat menjawab, ia kembali memotong dengan suara tegas namun lembut,

“Bertahan hidup memang bagian dari kehidupan. Tapi kita manusia dengan kecerdasan. Ingat, mulai sekarang pikirkanlah tujuanmu… selain sekadar bertahan hidup.”

Mendengar semua itu, Zhang Hao hanya bisa mengangguk pelan. Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya kembali menelusuri jejak peristiwa yang telah ia alami.

Perlahan, matahari mulai tenggelam. Cahaya jingga menembus jendela, menyelimuti ruang kecil itu. Wanita itu menatap Zhang Hao yang masih terpejam dengan wajah bingung, lalu bergumam lirih : Angin yang hanya mengikuti alam… pada akhirnya....

Tak lama kemudian ia bersuara, lembut tapi tegas. “Nak, bangun. Hari sudah sore. Pulanglah.”

Dengan satu gerakan santai, entah bagaimana, Zhang Hao mendapati dirinya sudah berada di luar toko. Ia terhuyung, lalu mengusap punggungnya yang terasa nyeri akibat terlempar keluar.

Di tengah kebingungannya, sebuah suara bergema di telinganya. “Jika kau bisa, setiap hari bercerminlah… bukan hanya pada tubuhmu, tapi juga pada jiwamu. Ukirlah dirimu sendiri.”

Suara itu terhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Dan ketika selesai mengukir, lihatlah kembali. Jika itu bukan dirimu… hancurkan. Tapi jika itu benar dirimu, maka kembalilah kemari.”

Zhang Hao terpaku, angin sore menyapu wajahnya. Suara itu masih terngiang, membuat hatinya campur aduk antara bingung dan penasaran.

Ia menutup mata sejenak, lalu membungkuk ke arah toko itu seolah ingin mengucapkan terima kasih. Setelah itu, langkahnya perlahan mengarah ke gerbang kota.

Dengan token yang diberikan Zhao Liang, ia bertanya-tanya tentang cara kembali. Tidak lama, sebuah kereta muncul di hadapannya. Tanpa ragu, Zhang Hao melangkah masuk, duduk di dalam, dan kereta itu segera melaju, membawanya kembali menuju akademi.

---

Sejak saat itu, Zhang Hao mulai diam-diam menebang pohon satu per satu. Tindakan ini membuat pemilik tanah kebingungan, bahkan akademi yang tidak jauh dari lokasi ikut dibuat pusing oleh kejadian aneh tersebut.

Satu tahun berlalu. Selain mengikuti kegiatan rutin di akademi, Zhang Hao juga mengikuti beberapa latihan tambahan—berlatih di bawah air terjun, bertamasya, dan berbagai kegiatan yang menuntut fisik maupun mental. Selama waktu itu, ia perlahan mulai menerima perlakuan orang lain, meski hanya sedikit, dan meresponsnya secara wajar, tanpa terlalu melibatkan perasaan.

Namun sebagian besar waktunya ia habiskan sendiri, bercermin dan mengukir dirinya. Setiap kali melihat ukirannya, selalu ada rasa penolakan dalam jiwanya. Akhirnya, dengan berat hati, ia menghancurkan kembali ukiran itu—lagi dan lagi, berulang kali, seakan tak pernah puas dengan apa yang ia ciptakan.

Suatu malam, Zhang Hao duduk di depan cermin, ukirannya di tangan bisa dikatakan jelek dan sangat kasar. Seperti biasa, rasa ketidakpuasan muncul, tapi kali ini berbeda. Matanya tertahan pada detail ukiran itu, hati kecilnya bergetar.

“Apakah ini… aku?apa yang harus aku lakukan” gumamnya.

Untuk pertama kali, ia tidak menghancurkan ukirannya. Setiap goresan terasa merekam dirinya sendiri, sekaligus semua yang ia terima dari hal-hal di luar kendalinya.

Lalu Zhang Hao tersenyum tipis.

“Jadi… seperti itu,” gumamnya pelan.

Zhang Hao menatap ukirannya sekali lagi sebelum menutup mata. Tubuhnya lelah, tapi hatinya terasa ringan.Ia merebahkan diri, menarik selimut, dan perlahan tertidur.

1
誠也
7-10?
Muhammad Fatih
Gokil!
Jenny Ruiz Pérez
Bagus banget alur ceritanya, tidak monoton dan bikin penasaran.
Rukawasfound
Lucu banget! 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!