Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1 Luka Yang Bertambah
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu mengurung diri, Leon memberanikan diri untuk turun dari kamarnya. Duduk di atas kursi roda, ia menekan tombol lift pribadi di rumah mewah keluarganya. Ada sesuatu yang membuat hatinya berdegup sedikit lebih cepat — ia ingin mengejutkan Clarisa kekasihnya, yang katanya datang berkunjung hari ini.
Begitu pintu lift terbuka di lantai utama, langkah Leon terhenti. Ia belum sempat keluar saat suara lirih percakapan sampai ke telinganya.
"Maaf, Tante," suara Clarisa terdengar jelas, dengan nada berat yang berusaha terdengar sopan. "Aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini dengan Leon... Aku rasa Tante pasti paham kenapa."
Leon mematung. Tangannya mengepal di atas roda kursi, dadanya berdegup kencang menahan rasa sakit yang tiba-tiba menghantam begitu keras. Ia mundur perlahan, membiarkan pintu lift tertutup kembali. Tubuhnya bergetar menahan amarah, kecewa, dan rasa kehilangan yang begitu dalam.
Kamu tidak bisa melanjutkan hubungan dengan Leon? Suara Gaby, mama Leon, terdengar tak percaya. Matanya membulat, menatap Clarisa seolah ingin memastikan dia salah dengar.
Clarisa menundukkan kepalanya. "Tante pasti mengerti... Orangtuaku juga tidak setuju lagi. Mereka ingin aku memilih masa depan yang lebih pasti..." ucapnya dengan suara pelan.
Gaby menghela napas panjang, menahan kesedihannya. "Clarisa ,sayang... Sedikit saja kesabaranmu. Leon hanya butuh waktu. Dia akan pulih. Dia butuh seseorang untuk mendukungnya, bukan meninggalkannya," bujuknya penuh harap.
Namun Clarisa menggeleng pelan. "Maaf, Tante... Aku sudah menunggu... Tapi aku tak sanggup lagi. Rasanya... Leon tak menunjukkan perubahan... Aku tak mungkin menghabiskan hidupku dengan pria yang..." Kata-katanya terhenti, seolah tak tega untuk melanjutkan.
Seketika itu, suara berat penuh kemarahan terdengar di belakang mereka. "Pria cacat, begitu maksudmu?"
Gaby dan Clarisa sontak menoleh. Di sana, Leon keluar dari pintu lift, dengan tatapan dingin menusuk. Kursi roda menjadi saksi bisu betapa tubuhnya tak lagi sama, tapi sorot matanya... justru semakin tajam.
"Leon..." Gaby tergagap, buru-buru menghampiri putranya. "Kapan kamu turun? Mama dan Clarisa baru saja—"
"Aku dengar semuanya," potong Leon dingin. Tatapannya menembus Clarisa, membuat gadis itu salah tingkah. "Tak perlu berbohong, Mama."
Gaby menggenggam tangan Leon dengan gemetar, hatinya hancur melihat luka yang tak tersembuhkan di mata anaknya. Ia tahu, Leon sangat mencintai Clarisa. Bahkan sebelum kecelakaan itu, mereka telah merencanakan pertunangan besar-besaran.
Clarisa berdiri gugup. Ia meremas jemarinya sendiri, lalu berkata, "Baguslah kalau kau sudah dengar, Leon. Setidaknya... kau mengerti. Aku tidak mau melanjutkan hubungan kita. Aku... aku harap kau cepat sembuh, dan menemukan kebahagiaanmu sendiri."
Kata-kata itu seperti belati yang menghujam dada Leon satu per satu. Namun, pria itu hanya tersenyum miring, senyum yang sama sekali tidak hangat.
"Semudah itu, ya?" gumamnya dingin. "Begitu saja kau pergi... hanya karena aku tak lagi sempurna."
Clarisa terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun kata-kata tersangkut di tenggorokannya.
"Pergilah," ucap Leon akhirnya, suaranya datar. "Mulai hari ini, kita tak ada hubungan apa pun lagi."
Clarisa menggigit bibir bawahnya menahan air mata. Tanpa berani menoleh lagi, ia membalikkan badan dan melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Langkah-langkahnya terdengar memudar di kejauhan, sementara di dalam ruangan, keheningan yang mencekam menggantung berat di udara.
Gaby menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin memeluk Leon, tapi langkahnya tertahan ketika melihat betapa kerasnya rahang putranya mengatup, betapa tangan Leon mengepal erat di atas roda kursinya.
Sejak hari itu, Gaby tahu... luka di hati Leon bukan hanya karena tubuhnya yang lumpuh. Tetapi karena hatinya... kini benar-benar hancur
---
Setelah kepergian Clarisa , Leon hanya bisa memandangi pintu yang kini tertutup. Hatinya hancur, perasaannya berantakan. Tanpa berkata apa-apa, ia segera memutar kursi rodanya, lalu mengarahkannya ke lift untuk kembali ke kamarnya di lantai atas.
Gaby, mama Leon, mencoba menghentikan langkahnya. “Leon, tunggu… Mama ingin bicara,” ucapnya pelan, penuh harap.
Namun, Leon sama sekali tidak menoleh. Ia bahkan tidak menunjukkan isyarat sedikit pun bahwa ia mendengar suara ibunya. Ia terus melaju, seolah tak ingin mendengar satu pun penjelasan lagi.
Gaby pun terdiam. Dengan suara lemah, ia hanya mampu berkata, “Kalau kamu butuh sesuatu… Mama selalu ada untukmu, Nak.”
Tanpa membalas, Leon masuk ke dalam lift. Pintu lift perlahan tertutup, menyisakan kesunyian yang menyayat hati. Gaby hanya bisa berdiri mematung di tempatnya. Ia memahami betul perasaan putranya. Luka yang Leon rasakan terlalu dalam untuk diobati dengan kata-kata.
Sesampainya di lantai atas, Leon langsung menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Ia menguncinya rapat-rapat, seakan ingin menutup dunia luar yang hanya memberinya luka dan kekecewaan. Nafasnya memburu, tangannya bergetar menahan emosi.
Tanpa berpikir panjang, ia menggerakkan kursi rodanya ke arah lemari kecil di sudut kamar. Tangannya menyambar bingkai foto dirinya bersama Clarisa , lalu melemparkannya ke lantai hingga pecah berantakan.
“AARRRGHH!!” teriaknya penuh amarah. “Kau jahat, Cla!!!” suaranya menggema memenuhi ruangan.
Leon mengguncang kursi rodanya dengan kasar. Tangannya menyapu semua barang di atas meja. Buku, vas bunga, jam, dan benda-benda lainnya beterbangan dan jatuh berantakan ke lantai.
“Kenapa kau tinggalkan aku?!” jeritnya dengan suara serak. “Apa salahku sampai kau tega meninggalkanku hanya karena aku lumpuh?!”
Matanya memerah. Air mata yang selama ini ditahan tumpah begitu saja. Ia memukul-mukul dadanya sendiri sambil menggeram, “Kau tahu betapa aku mencintaimu! Tapi ternyata cintamu hanya palsu, hanya sebatas kata-kata yang manis saat aku masih sempurna…”
Suasana kamar menjadi saksi amuk dan ratapan hati seorang pria yang kehilangan segalanya dalam sekejap.
“Aku membencimu, Clarisa! Aku benar-benar membencimu!!” ucapnya di sela tangis yang pecah tak terbendung. “Aku sudah menyiapkan hidup untuk bersamamu… Tapi kau hancurkan semuanya hanya karena aku tak lagi bisa berdiri…”
Leon memukul sandaran kursi rodanya berkali-kali. Ia menunduk dalam, menahan isak yang keluar begitu menyakitkan.
Sementara itu, di luar kamar, Gaby hanya bisa berdiri tepat di depan pintu kamar putranya. Tubuhnya bergetar mendengar teriakan dan suara barang-barang yang dilempar di dalam. Air matanya mengalir pelan, tak kuasa menahan kesedihan yang menyesakkan.
Gaby memeluk dirinya sendiri, mencoba meredam perih yang menjalar ke seluruh tubuhnya sebagai seorang ibu. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Leon—anak semata wayangnya—yang kini tidak hanya harus menghadapi kenyataan pahit karena kelumpuhannya, tapi juga ditinggal pergi oleh wanita yang paling dicintainya.
Ia teringat saat suaminya meninggal dunia, tepat ketika Leon baru memasuki dunia perkuliahan. Saat itu, hanya ia seorang diri yang berjuang membesarkan dan membimbing Leon, sembari mengelola perusahaan keluarga. Dengan kerja keras dan dedikasi, Gaby berhasil menjaga perusahaan tetap bertahan. Dan saat Leon lulus, anak itu mengambil alih perusahaan dan membuatnya berkembang pesat. Leon bahkan dijuluki sebagai salah satu pengusaha muda paling sukses dan disegani di kota itu.
Namun semuanya berubah setelah kecelakaan itu.
Sudah sebulan lebih sejak tragedi itu terjadi. Pada awalnya, Leon masih optimis. Ia percaya dirinya bisa sembuh. Ia rajin menjalani terapi dan selalu berkata bahwa suatu hari nanti ia akan kembali berdiri, kembali mengejar mimpinya bersama Clarisa.
Tapi harapan itu perlahan memudar. Kakinya belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Semangatnya mulai luntur. Terlebih, hari ini, wanita yang ia anggap sebagai masa depannya memilih pergi dengan alasan yang menyayat hati.
Tak hanya itu, pesaing-pesaing bisnis yang dulu tak berani bersuara kini mulai mencibir. Mereka memanfaatkan kondisi Leon untuk menjatuhkannya. Beberapa bahkan terang-terangan meragukan kemampuan Leon dalam memimpin perusahaan.
Gaby memejamkan mata sambil menghela napas berat. Ia tahu, perjuangan anaknya belum berakhir. Tapi luka hari ini mungkin akan meninggalkan bekas yang dalam di hati Leon
“Bertahanlah, Nak…” bisiknya pelan, penuh do'a. “Mama tahu kamu kuat…”