Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Setelah lelah menangis, Anna merasakan kelopak matanya semakin berat. Efek obat yang baru saja ia minum perlahan menyeretnya ke dalam kantuk. Ia merebahkan tubuhnya di dipan kayu, berniat memejamkan mata sebentar saja, sekadar mengumpulkan tenaga sebelum nanti harus menjemput Lili pulang sekolah.
Leo yang sejak tadi mengawasi dari balik celah jendela, merasakan hatinya seperti diremas melihat Anna yang terlelap dalam kondisi sakit. Tanpa pikir panjang, ia berinisiatif menggantikan tugas Anna. Ia ingin menjemput Lili.
Perlahan, Leo meninggalkan halaman rumah sederhana itu. Ia menyusuri jalan setapak menuju sekolah dasar di ujung desa. Ada keraguan yang menggelayuti benaknya, apakah Lili akan takut padanya? Namun, keinginan untuk menebus kesalahan masa lalu jauh lebih besar daripada rasa takutnya akan penolakan.
Gerbang sekolah mulai riuh saat bel pulang berbunyi. Leo berdiri mematung di sana hingga murid-murid berhamburan keluar. Matanya mencari-cari, sampai akhirnya tertuju pada sosok kecil yang tampak bingung menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sang ibu yang tak kunjung datang.
Leo melangkah mendekat. "Lili," panggilnya lembut.
Bocah itu menoleh. Matanya membulat terkejut melihat pria yang ia temui pagi tadi kini berdiri di hadapannya. "Om ngapain di sini?" tanya Lili polos.
Lagi-lagi, hati Leo terasa nyeri. Bocah di depannya ini adalah darah dagingnya, namun kenyataan bahwa Lili sama sekali tidak mengenali siapa ayahnya adalah hukuman yang paling pedih. Mata Leo mulai berkaca-kaca, suaranya bergetar saat ia berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka.
"Lili pulang sama Om, ya?"
Dahi kecil Lili berkerut bingung. "Kenapa Om yang antar? Ibu ke mana?"
Leo memaksakan sebuah senyum, berusaha meyakinkan. "Ibu ada di rumah, lagi istirahat. Om boleh antar Lili pulang?"
Lili terdiam sebentar, teringat pesan ibunya untuk tidak sembarangan ikut orang asing. Namun, saat menatap mata Leo, ada rasa nyaman yang aneh menyelimuti hatinya. Mungkin itu ikatan batin yang tak bisa dijelaskan kata-kata. Akhirnya, Lili mengangguk pelan.
Leo tersenyum samar. Ia menggandeng tangan kecil Lili, membawanya menyusuri jalan setapak. Genggaman itu begitu erat, seolah Leo takut jika ia melonggarkannya sedikit saja, Lili dan Anna akan menghilang untuk kedua kalinya dari hidupnya.
"Lili mau es krim?" tanya Leo memecah keheningan.
Mata Lili langsung berbinar. “Mau!” serunya penuh semangat. “Lili suka yang rasa vanila!”
Mereka mampir ke toko kecil di dekat sana, membeli es krim dan beberapa camilan kesukaan Lili. Melihat binar bahagia di wajah putrinya, Leo hanya bisa tersenyum getir di balik rasa bersalahnya yang kian menggunung.
Sementara itu, di dalam rumah, Anna tersentak bangun. Ia panik menyadari dirinya tertidur terlalu lama. Dengan rambut yang masih berantakan, ia bergegas bangkit dan lari menuju pintu.
Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu.
Pemandangan di hadapannya membuat napasnya seolah berhenti. Ia melihat Lili berjalan bergandengan tangan dengan Leo. Lili tertawa begitu lepas sambil menenteng plastik penuh jajanan.
"Lili..." panggil Anna lirih.
"Ibu! Lili pulang!" Bocah itu berlari kecil menghampiri ibunya dengan wajah ceria. "Ibu lihat, tadi Om belikan Lili es krim dan banyak jajan!"
Melihat kebahagiaan yang begitu murni di wajah anaknya, Anna hanya bisa tersenyum semu. Ia lalu mengangkat pandangannya, menatap tajam ke arah pria yang berdiri beberapa meter di depannya.
"Terima kasih," ucap Anna dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Raya, bisa kita bicara?" tanya Leo dengan suara rendah.
Anna terdiam sejenak. Ia menunduk, mengusap pucuk kepala putrinya dengan lembut. "Lili tunggu di dalam ya, Sayang."
Setelah Lili masuk, suasana mendadak berubah dingin. Tatapan Anna kembali mengeras. "Tuan, sudah saya katakan, saya bukan Raya."
"Raya, mau sampai kapan kamu menutupi ini?" suara Leo terdengar seperti rintihan. "Aku sudah tahu semuanya. Kau tidak perlu berpura-pura lagi dariku."
Tubuh Anna menegang. Napasnya tercekat, tak menyangka rahasia yang ia jaga selama tujuh tahun telah terbongkar. Matanya memerah menahan amarah yang mulai mendidih. "Lalu apa?" tanya Anna dengan suara bergetar. "Jika kau tahu siapa aku, apa yang akan kau lakukan? Apa kau belum puas menyiksaku? Apa kau kembali untuk memastikan aku benar-benar mati kali ini?"
"Raya, maafkan aku..."
"Asal kau tahu, Leo," potong Anna tajam. "Raya yang kau maksud sudah lama mati di dasar sungai itu!"
Anna berbalik, hendak masuk dan menutup pintu, namun suara Leo kembali menghentikannya.
"Lili... apa dia anakku?"
Dunia seolah berhenti berputar. Anna memutar tubuhnya perlahan, sorot matanya kini menyala penuh api amarah. "Lili bukan anakmu!" ucap Anna, suaranya tajam menusuk langsung ke jantung Leo. "Dia putriku! Hanya putriku!"
Tanpa menunggu balasan, Anna masuk ke dalam rumah dan membanting pintu kayu itu dengan sangat keras, meninggalkan Leo yang mematung dalam kehancuran di luar sana.