Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Besoknya, hanya ada satu mata kuliah, itu hanya praktikum Fisiologi Tumbuhan.
"Bunga.... bangun" ujar Melina sambil menepuk pundak Bunga
Melina lalu bersiap-siap. Ia memakai kemejanya dengan rapi. Setelah itu, Melina pergi ke dapur untuk mempersiapkan sarapannya bersama Bunga. Serambi menunggu Bunga bersiap-siap, Melina membuatkan telur dadar dengan nasi hangat lalu menghidangkannya dimeja makan.
"Bunga, ayo sarapan." ajaknya
Mereka berdua lalu sarapan singkat dan pergi berjalan kaki menuju kampus.
Saat mereka ingin masuk ke kelas, sekilas Melina melihat Erick yang baru keluar dari mobilnya. Langsung padangan Erick tertuju pada Melina dan Melina langsung membuang muka.
"Lihatin siapa, Mel?" tanya Bunga
"Enggak ada kok." ujarnya.
Praktikum hari ini diajar oleh Miss Yolan dan Pak Erick. Melina dan Bunga langsung pergi ke lab dan menggunakan jas lab mereka.
Tepat pukul 08.00, Miss Yolan lalu masuk membawa absen dan beberapa perlengkapan untuk praktikum hari ini.
"Melina, rambutnya diikat, ya." tegur Miss Yolan.
Mahasiswi yang lain sudah pada ikat rambut kecuali Melina. Ia sangat lupa hari ini praktikum dan harus mengikat rambut.
"Ya ampun, aku lupa bawa ikat rambut." ujarnya panik.
Bunga lalu memeriksa totebagnya dan menemukan satu ikat rambut lalu menyerahkannya pada Melina. Tepat saat Melina mengikat rambutnya, Erick perlahan masuk ke lab dan melihat Melina betapa memukaunya Ia dengan gaya itu.
Erick memperhatikan bagaimana cara Melina
mengikat rambut dan ia sedikit terangsang dengan leher belakang Melina.
"Pagi... sudah datang semuanya?" Erick menyapa mahasiswa sambil Ia masuk ke lab.
"Pagi Pak." ujar mahasiswa serempak.
"Baik, praktikum kali ini kita akan melakukan Pembuatan Preparat Sayatan Daun dan melakukan Uji di mikroskop."
"Miss, tolong bagikan sampel daun jagung." ujar Erick
Miss Yolan lalu membagikan sampe daun jagung pada masing-masing kelompok. Diruangan itu ada empat kelompok.
Devano, yang biasanya pendiam, kini menjadi jauh lebih banyak berbicara. Ia sering sekali berdiri di dekat meja Melina, menanyakan detail pengamatan atau sekadar menawarkan bantuan untuk mengangkat tabung reaksi.
Melina bertugas membuat sayatan setipis mungkin pada permukaan bawah daun untuk melihat stomata (mulut daun). Inilah yang dipuji Devano karena tangan Melina sangat stabil dan rapi saat menggunakan silet tajam.
"Mel, pelan-pelan. Jangan sampai tanganmu terluka." ujar Devano perhatian
"Ehem!" goda bunga sambil menyenggol lengan Melina.
"Bunga, jangan gitu. Nanti siletnya meleset." tegur Melina
Setelah itu, mereka harus menghitung jumlah stomata yang terbuka dan tertutup. Melina mengamati di bawah mikroskop, sementara Devano membantu mencatat data dan mengatur pencahayaan mikroskop agar objek terlihat jelas.
Erick memperhatikan kedua orang itu. Ia terbakar api cemburu. Tatapannya pada Devano seperti ingin membunuh.
"Mereka berdua sangat selaras." ujar Miss Yolan saat Ia berjalan menuju meja dosen.
Erick menahan amarahnya lalu terpaksa berkata "Ya"
Ketika sedang mengamati sampel daun dibawah mikroskop, tiba-tiba ada mahasiswa yang tak sengaja menjatuhkan cawan petri hingga pecah dan serpihannya mengenai tangan telapak tangan Melina
"Awww!" Melina meringis lalu reflek memegang telapak tangannya
"Mel!" ujar Devano panik lalu langsung menarik tangan Melina dan membersihkan darah itu dengan kapas yang tersedia di lab.
Perlakuan Devano itu dilihat oleh Erick. Rasa bencinya semakin meningkat. Devano memegang tangan Melina? Tangan yang harusnya hanya boleh disentuh Erick seorang dan anak ini berani-beraninya memegang tangan kekasihnya.
"Ya ampun, Melina." Miss Yolan lalu langsung menghampiri Melina dan melihat telapak tangannya yang terluka. Untung saja tidak parah.
"Jangan hanya melihat. Kalian bersihkan serpihan kaca itu sebelum ada lagi yang terkena." ujar Miss Yolan kesal.
"Maaf Miss." ucap mahasiswa yang tak sengaja menjatuhkan cawan petri tadi.
"Miss, aku tidak apa-apa kok." ujar Melina
"Ini hanya luka kecil." lanjutnya
Miss Yolan lalu mengambil kotak P3K di lemari lab dan mengeluarkan betadine. Ia pelan-pelan mengoleskan betadine di telapak tangan Melina
"Agh, sakit." Melina meringis kesakitan
Setelah itu, Miss Yolan menyimpan kotak itu dan menyuruh mahasiswa melanjutkan pengamatan di mikroskop.
"Jangan dipaksakan." ujar Miss Yolan
Melina lalu bergantian pengamatan, ia menyuruh Bunga dan Raka. Sementara Melina duduk dan memandangi tangannya yang terluka.
Sekilas Melina melihat tatapan Erick yang dingin itu dan dengan langkah pelan, Erick mendatangi kelompok Melina lalu melihat luka itu tanpa menyentuh tangannya.
"Lain kali kalian hati-hati. Kalau sampai terjadi kelalaian satu kali lagi, maka kalian satu kelas harus mengganti rugi dan mengulang praktikum semester depan." ancaman yang biasa digunakan Erick.
Mahasiswa lalu menunduk ketakutan dan merasa bersalah.
"Lanjutkan pekerjaan kalian." ucap Erick dingin.
Melina menunduk, tak berani menatap Erick apalagi Devano yang duduk disampingnya yang memperhatikan Melina
"Besok itu juga akan sembuh." ujar Erick datar.
Setelah satu jam, selesai pengamatan dan mereka memotret hasil mikroskop untuk laporan praktikum. Rasa denyut ditelapak tangan Melina mulai berkurang. Untung saja Miss Yolan cepat sigap memberikan betadine.
"Sudah selesai? Sekarang kita kuis ya. Hanya satu soal kok. Kuisnya lisan." ujar Miss Yolan.
"Dua kelompok sama saya, dan dua kelompok lagi sama Pak Erick, ya." lanjutnya.
Miss Yolan membagi tugas, dua kelompok diarahkan ke mejanya, sementara dua kelompok lainnya, termasuk kelompok Melina dan Devano harus berhadapan langsung dengan Pak Erick.
Jantung Melina berdegup kencang saat gilirannya tiba. Raka sudah selesai dan diperbolehkan merapikan alat. Kini Melina berdiri tepat di depan Erick. Meja kayu di antara mereka terasa sangat kecil.
Erick memberikan pertanyaan tentang mekanisme pembukaan stomata. Melina menjawab dengan suara bergetar namun tepat sasaran. Ia berusaha fokus pada materi, namun ia sadar Erick tidak hanya mendengarkan jawabannya.
Mata pria itu menatap dalam ke arah bibir Melina yang bergerak saat menjelaskan teori. Ada rasa gairah dan rasa rindu yang tertahan di mata Erick, ia ingin sekali mencium mahasiswinya itu saat itu juga.
"Bagus. Silakan kembali," ucap Erick dengan suara berat yang sengaja ia tekan agar tetap profesional.
Bunga menyusul dan berhasil menjawab dengan lancar. Terakhir adalah Devano. Melina menahan napas. Ia melihat wajah Erick berubah menjadi sangat dingin saat Devano melangkah maju.
Erick memberikan pertanyaan tentang integrasi hormon sitokinin dan auksin pada pertumbuhan kalus sebuah materi yang sebenarnya jauh di atas standar kuis lisan hari ini.
Suasana menjadi hening. Devano terdiam, berpikir keras. Melina memejamkan mata, ketakutan jika Erick akan meledak dan mempermalukan Devano. Namun, setelah tiga puluh detik yang terasa mencekam, Devano mulai berbicara.
Ia menjelaskan jawaban itu dengan runtut dan logis. Erick tertegun sejenak. Dengan rasa berat hati yang luar biasa, ia menuliskan angka 100 di lembar nilai Devano. Ia tidak punya alasan untuk menyalahkan jawaban sesempurna itu.
"Selesai. Bawa berkas ini ke Miss Yolan," perintah Erick singkat tanpa menatap Devano.
Saat mereka sedang merapikan tas di loker, Devano mendekat.
"Mel, ke kantin bareng yuk?" ajak Devano.
Melina tersentak. "Eh, maaf Dev, aku..."
"Ayo dong, Mel! Aku juga laper," potong Bunga sambil langsung menarik tangan Melina tanpa memberi kesempatan untuk menolak.
Melina terpaksa melangkah mengikuti Bunga dan Devano. Sebelum keluar pintu lab, ia memberanikan diri menoleh ke belakang. Di sana, di depan meja dosen, Erick berdiri dengan tangan mengepal.
Wajahnya gelap, menatap punggung Melina dengan ekspresi penuh amarah dan kekecewaan yang mendalam.
"Mampus aku," batin Melina.