Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.
Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.
Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.
Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.
Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Sekarang kamu sudah aman, jangan takut lagi." Bara merangkul Hasya, membiarkan Hasya bersender di dada bidangnya.
Keduanya sekarang sedang berada di rumah Belinda, keluarga mereka kumpul semua. Lebih tepatnya hanya keluarga dari Mamanya Bara yang dua saudara karena dari Bagas, sudah tidak mempunyai saudara lagi, hanya ayah Arsen yang sudah meninggal dunia.
"Kamu dijemputnya kapan?" Bara memecah keheningan, karena dari tadi Hasya hanya terdiam.
"Pagi, saat akan berangkat kerja." jawabnya, suaranya sedikit serak.
"Kenapa kamu gak telepon aku?"
"Aku gak punya nomor HP bapak." jawab Hasya santai.
"Mas, jangan panggil aku bapak." protes Bara.
"Bapak aja dulu, aku lagi gak mood." jawabnya tanpa ekspresi.
"Baiklah, baiklah... Aku tidak akan memaksamu, Nona. Yang penting kamu bahagia sekarang." Bara mengalah, ia seperti berhadapan dengan anak kecil.
"Ya, aku harus bersyukur." Hasya mengagguk.
"Alhamdulillah..." ucap Bara. Tangannya mengusap lembut kepala Hasya.
Hasya mendongak, menatap Bara."Terimakasih..." sudah...
"Tidak usah berterimakasih. Itu sudah kewajiban aku menyelamatkan kamu. Selain sebagai manusia yang harus tolong menolong, aku juga sebagai calon suami yang harus menyelamatkan calon istrinya. Bagaimana kalau kamu terluka jika aku gk menyelamatkan kamu? Ini saja terlambat..."
Tok tok tok
"Nak, nenek ganggu dulu." suara Belinda terdengar dari luar. Hasya menegakkan tubuhnya dan Bara berdiri untuk membuka pintu kamarnya.
"Ya, Nek. Aku gak lagi ngapa-ngapain kok." Bara membuka lebar pintu kamarnya.
Belinda masuk dan menghampiri Hasya yang sedang berdiri. "Duduk saja, Nak. Nanti malam aja membuat cucunya." Hasya terbelalak. Tapi Belinda tidak menghiraukan itu, ia mengajak Hasya untuk kembali duduk.
Belinda kembali menatap Bara yang sudah menutup pintu kamarnya. "Tadi Arsen menghubungi nenek..."
"Dia terlalu banyak protes nek, kublokir nomornya." jawab Bara cepat. Ia masih merasa kesal atas tindakan Arsen. Benar saja, kalau Hasya dalam bahaya.
Belinda membuang napasnya kasar. "Kamu ada rapat..."
"Ah, iya. Dia juga bisa handle semua, kan? Gak mungkin aku ke sana sekarang." Bara baru teringat akan hal itu.
"Baiklah..." Belinda juga tidak mungkin membiarkan Bara pergi ke kantor sekarang.
"Ke kantor saja, Tuan." ucap Hasya.
"Gak usah, nenek yang kan membereskan nya langsung. Kamu istirahat, jangan banyak pikiran. Sekarang kamu sudah aman ada di sini, jangan mengkhawatirkan apa pun lagi." Belinda mengusap lembut kepala Hasya. Dia merasa shock sebenaranya saat Bara meminta menyiapkan pernikahan keduanya dengan dalam waktu singkat.
"Terimakasih, Nek."
Belinda mengangguk, kemudian meneliti wajahnya yang terdapat luka memar juga tangannya yang terbalut perban. "Lukanya sudah diobati?" tanyanya.
"Sudah." Hasya terlihat gelagapan.
"Jangan ada yang ditutup-tutupi, Nak." Belinda memang benar-benar khawatir.
Hasya mengangguk, dia tidak mungkin memberitahu semuanya kepada Belinda dan Bara.
"Kamu luka di mana saja?" Bara bertanya setelah Belinda kembali ke bawah.
"Ini saja." Jawab Hasya pendek, tetap tanpa ekspresi.
"Oke!" tangan Bara terulur, membuka kancing baju pengantin Hasya. Ya, Hasya dan Bara memang masih memakai baju pengantin. Beruntung Belinda sudah menyiapkannya jauh-jauh hari dan seminggu yabg lalu juga Hasya sudah fitting baju itu.
Sebenarnya Hasya masih seperti mimpi karena awalnya dirinya tidak pernah membayangkan ini akan terjadi. Setiap ucapan Belinda yang mengharuskannya menikah dengan Bara tidak pernah memasukannya ke dalam hati, dia tidak ingin terlalu berharap banyak mengingat dirinya siapa.
"Eh, mau apa?" Hasya menyilangkan tangannya di dada.
"Yang aku buka itu kancing belakang, Nona. Bukan depan." Bara gemas sendiri.
"Ya, dari belakang juga bisa sampai ke depan."
"Jenius!" Bara memberikan dua jempolnya kepada Hasya. Hasya memalingkan wajahnya, dia merasa malu sampai dibilang jenius. Dia bukan tidak mengerti, tapi dia belum siap sepertinya.
"Jangan halangi itu, aku ingin melihatnya." Bara menurunkan tangan Hasya walaupun Hasya menolaknya, namu karena tenaganya kalah, Hasya pasrah saja.
Perlahan, Bara menurunkan gaun itu, mata Bara membulat. Bukan karena melihat yang ingin ia lihat. Tapi melihat badan Hasya yang penuh memar di balik tanktopnya putihnya.
Ded deg deg
Hasya memejamkan matanya saat melihat sorot mata Bara. Ia tidak bisa mengartikan tatapan Bara itu.
"Aaah... Jangan semuanya, Tuan." Hasya kaget saat Bara menurunkan gaunnya sampai sebatas paha.
"Aku ingin lihat." Bara memaksa menurunkan gaun pernikahannya itu sampai ke bawah. Mata Bara semakin membulat seperti ingin loncat dari kelopak matanya.
"Allahu Akbar! Kamu harus ke rumah sakit."
Hasya membuka matanya, melihat Bara yang panik. "Eh, mau apa? Gak perlu, Tuan. Kan, belum apa-apain aku, kenapa harus ke rumah sakit?" tanyanya tidak mengerti.
Bara tiba-tiba loading, dia seperti dihempaskan oleh kara-kata Hasya. "Ini memar kamu," Bara menekan pelan memar yang ada di paha Hasya. "kamu diapain saja sama mereka. Biar aku yang balas." Bara berdiri dan mencondongkan wajahnya ke wajah Hasya, ia mengusap leher Hasya yang langung mendapat respon menghindar dari Hasya.
"Geli," gumamnya polos. Bara langsung membenamkan wajahnya diantara dua buah kembar Hasya. Ia terkekeh pelan melihat kepolosan Hasya.
"Mau apa di situ Tuan?" tanyanya, ia benar-benr merasa geli.
"Jangan banyak tanya, kamu ikuti permainan aku."
"Main kok di situ?" Hasya memang hanya tahu garis besarnya saja tentang hubungan suami istri, karena dia belum pernah melakukannya.
"Ayo di kasur, tapi nanti malam saja. Aku ingin mengobati memar kamu" Bara menjauh, meninggalkan Hasya yang mematung di tempat.
"Tuan, aku malu begini." Hasya menutup bagian intinya yang memakai celana hotpans ketat.
"Harus terbiasa begini saat di kamar dan hanya boleh aku yang melihatnya." jawab Bara. Tangannya telaten mengoleskan obat di setiap bagian tubuh Hasya yang memar.
Mata Hasya membulat. "Pakaian ini?"
"Iya, nanti aku belikan yang lebih bagus lagi."
Hasya terlihat murung. "Maaf Tuan..."
Bara menyadari itu. "Eh, maaf kalau kamu tersinggung. maksud aku itu yang lebih menantang, ini, kan masih tertutup." Bara meralat ucapannya tadi.
"Hah? Tuan sudah pernah memakainya?" ternyata Hasya salah paham.
"Itu pakaian untuk kamu, gak mungkin aku memakai pakaian itu. Itu khusus untuk perempuan." tangan Bara tidak berhenti mengoleskan salep memar ke setiap luka memar yang ada di tubuh Hasya.
"Oh..." Hasya mengangguk paham.
"Aku cukup ini saja." ucap Bara.
"Aaa...!" Hasya menutup wajahnya saat Bara menurunkan celananya dan terpampang jelas ular viton Bara yang sudah menegang. Sebenarnya dia menahannya karena tidak mungkin melakukan itu sekarang, mengingat tubuh Hasya yang penuh memar.
"Kenapa di buka? Tutup lagi." Hasya merasa malu sendiri melihatnya.
"Kamu harus terbiasa dengan ini. Hanya kamu yang melihat." Bara membuka jas nya beserta kaos oblongnya dan dia hanya menyisakan kain segitiganya yang ketat.
"Mataku ternoda, ya Tuhan... Tolong aku!"
"Kamu harus terbiasa, Sayang." Bara mengecvp singkat bibir Hasya. Dan Hasya kembali meresponnya dengan menghindar.
"Jangan menghindar terus, kamu harus terbiasa dengn sentuhan-sentuhan yang tiba-tiba aku berikan."
"Harus begitu?"
"Ya, Sayang."
Cup!
Bara kembali mengecup singkat, tapi itu membuatnya tidak berhenti dan menginginkannya lagi.
"Duh... Bahaya! Aku harus bisa menahannya, tidak mungkin, kan, aku bermain sekarang? Keadaan fisik dia lemah." gumamnya.
"Tuan! Kenapa melamun." Hasya berhasil membuyarkan lamunannya.
"Eh, enggak. Sekarang kita istirahat saja. Masih jauh sampai ke sore." Bara membawa Hasya ke tempat tidur dan memeluknya cepat.
"Pelukan ini seperti pelukan pertama saat aku berada di lift." gumam Hasya pelan. Namun Bara mendengarnya.
"Benar, itu aku." jawab Bara. Ia membiarkan Hasya tidur di tangannya.
"Iya kah?" Hasya menatap Bara penuh selidik.
"Iya, Sayang. Kamu agres1f banget waktu itu." Bara berkata jujur. Ia membelai rambut Hasya, menyelipkan ketelinganya saat rambut itu terlihat menutupi wajahnya.
"Aku takut gelap?" ucap Hasya.
"Lalu kalau kamar ini?"
"Harus ada lampu tidur, jangan gelap banget."
"Baiklah, Nona. Sekarang istirahat supaya malam nanti bisa lebih kuat."
"Memangnya mau apa malam nanti?"
"Mau bajak sawah."
"Hah? Bajak sawah malam-malam? Kamu suka turun langsung ke sawah?" Hasya membulatkan matanya.
"Bukan turun lagi. Aku yang bajak langsung dan gak boleh siapa pun ada yang bajak selain aku." Hasya semakin tercengang.
"Gak usah dipikirkan, ayo tidur."
"Baik, Tuan."
***
"Bagaimana keadaannya, Nak?" tanya Belinda. Bara membawa Hasya turun ke lantai satu untuk makan malam.
"Baik, Nek. Cuma pegal-pegal saja sama sedikit nyeri." jawab Hasya tanpa ekspresi.
Belinda beralih menatap Bara. "Bara!" ia menatap tajam cucunya itu.
"I-itu, anu, Nek!" Bara garuk-garuk kepala.
Bersambung