Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 : GADIS DENGAN TARING TAJAM
Mobil mewah itu membelah jalanan kota yang berkilau, namun di mataku, lampu-lampu itu hanya tampak seperti coretan cahaya yang buram. Sopir pribadi Erlangga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan di dalam mobil terasa mencekik, seolah-olah AC mobil itu meniupkan udara beku langsung ke tulangku.
Hingga akhirnya, mobil berhenti di sebuah gedung pencakar langit. Aku dibawa menuju penthouse di lantai paling atas.
Begitu pintu terbuka, kemewahan itu langsung menamparku. Lantai marmer yang mengkilap, lampu gantung kristal yang megah, dan perabotan yang harganya mungkin bisa membeli sepuluh rumahku di kampung. Namun, tempat ini terasa mati. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Erlangga.
"Selamat datang, Mbak Shilla," suara lembut seorang wanita tua memecah lamunanku. "Nama saya Bi Sumi. Den Erlangga sedang ada urusan mendadak di kantor, mungkin pulang larut. Mari, saya antar ke kamar Mbak."
Senyum Bi Sumi sangat tulus, kontras dengan badai yang ada di dadaku. Setelah menunjukkan kamar yang luasnya hampir seukuran seluruh rumahku, Bi Sumi meninggalkanku sendiri. Aku membersihkan diri, namun, air hangat itu tak mampu menghapus kata "pelacur" yang diteriakkan Andra di dalam kepalaku.
Haus akan ketenangan, aku melangkah menuju balkon. Angin malam kota Jakarta yang lembap menerpa wajahku. Dari sini, manusia di bawah sana tampak seperti semut. Kecil dan tak berarti—sama seperti aku di mata dunia.
Aku merogoh saku, mengeluarkan sebungkus rokok yang tersisa. Dengan tangan gemetar, ku nyalakan satu batang. Asapnya mengepul, terbawa angin, seolah membawa sedikit beban dari pundakku. Aku menyesapnya dalam-dalam, membiarkan nikotin itu membakar tenggorokanku, memberi rasa sakit yang nyata untuk mengalihkan perih yang ada di hati.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sana. Satu batang berganti batang berikutnya. Hingga tiba-tiba, sebuah aroma parfum kayu yang mahal dan maskulin menusuk indra penciumanku, mengalahkan aroma tembakau.
"Ternyata barang mahal yang kubeli ini punya kebiasaan buruk," suara bariton itu terdengar tepat di belakang telingaku.
Aku tersentak hebat, hampir menjatuhkan rokok di tanganku. Aku berbalik dan mendapati Erlangga berdiri di sana. Ia masih mengenakan kemeja kantor yang lengannya digulung hingga siku, dasinya sudah longgar. Matanya yang tajam menatap ujung rokokku yang masih menyala, lalu beralih ke mataku yang sembap.
Erlangga menggerutu pelan. Ia melangkah maju, memperpendek jarak di antara kami hingga aku bisa merasakan panas tubuhnya.
"Aku tidak suka bau rokok murahan di kamarku," ucapnya dingin, namun ada gurat keheranan di wajahnya. "Dan aku lebih tidak suka melihat wanita pilihanku merusak dirinya sendiri dengan cara murahan seperti ini."
Aku terdiam, tak mampu membalas. Aku hanya bisa menatap dadanya yang bidang.
"Kenapa? Kau kaget aku pulang secepat ini?" Erlangga mengambil paksa rokok dari jariku, lalu mematikannya di asbak yang ada di meja balkon. "Atau kau sedang meratapi nasibmu sebagai 'penebus hutang'?"
Ia mencengkeram daguku, memaksaku menatap matanya yang sehitam malam. "Dengar, Shilla. Di sini, kau milikku. Buang semua identitas jalananmu, termasuk rokok-rokok ini. Aku membayar mahal bukan untuk melihatmu berbuat konyol seperti ini."
Tangannya yang kasar namun hangat itu perlahan turun ke leherku, membuat bulu kudukku meremang. Ketakutan dan rasa penasaran bercampur menjadi satu.
"Bi Sumi bilang kau belum makan," lanjutnya, suaranya kini merendah, hampir seperti bisikan. "Ikut aku ke dalam. Kita punya banyak waktu untuk membahas aturan main di rumah ini... dan tugas pertamamu malam ini."
Aku mengangkat daguku, menepis tangan Erlangga dengan gerakan yang cukup berani hingga membuat pria itu sedikit terhuyung mundur karena terkejut. Mataku yang semula layu kini menyala, menatap langsung ke dalam manik mata hitamnya yang angkuh.
"Identitas jalanan?" aku tertawa getir, suara serakku membelah keheningan malam. "Kau bisa membeli ragaku dengan uang tiga ratus juta itu, Tuan Erlangga. Tapi kau tidak membeli hak untuk mengatur bagaimana cara aku bernapas atau bagaimana cara aku menenangkan kepalaku yang hampir gila."
Erlangga terdiam. Rahangnya mengeras, dan kilat amarah mulai terpancar dari wajahnya yang sempurna. Ia tidak terbiasa dibantah, apalagi oleh wanita yang ia anggap sebagai "barang" penyelamat hutang.
"Berani sekali kau," desisnya, melangkah maju hingga tubuhnya mengintimidasi ruang gerakku. "Kau sadar sedang bicara dengan siapa? Tanpa uangku, ibumu sekarang mungkin sudah diusir ke jalanan dan teman-temanmu mendekam di penjara."
"Aku sadar sepenuhnya," balasku tanpa gentar, meski jantungku berdegup kencang di balik rusuk. "Justru karena aku sadar telah kehilangan segalanya, aku tidak punya beban lagi untuk kehilangan harga diriku di depanmu. Kau ingin aku patuh? Silakan. Tapi jangan harap kau bisa mengubahku menjadi boneka porselen yang hanya bisa duduk manis dan berbau parfum mahal sesuai seleramu."
Aku mengambil kembali kotak rokokku yang tergeletak di meja balkon, lalu memasukkannya ke saku jubah mandi dengan gerakan provokatif.
"Jika kau merasa rugi membeliku karena aku 'rusak', kau bisa memulangkan aku sekarang juga. Tapi kita tahu, pria sepertimu terlalu gengsi untuk mengakui bahwa kau baru saja membeli sesuatu yang tidak bisa kau jinakkan."
Suasana di balkon itu menjadi sangat panas. Erlangga menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan—antara amarah yang meledak atau rasa penasaran yang baru saja terusik. Ia tidak menyangka bahwa Shilla, gadis yang ia temukan di tempat kumuh, memiliki taring yang begitu tajam.
Tiba-tiba, sudut bibirnya terangkat sedikit. Bukan senyuman ramah, melainkan seringai tantangan yang berbahaya.
"Begitu?" Erlangga mendekat, suaranya kini selembut sutra namun sedingin es. "Kau pikir dengan bersikap keras kepala kau akan terlihat terhormat? Tidak, Shilla. Kau hanya membuatku ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan sebelum akhirnya memohon ampun padaku."
Ia meraih lenganku, tidak dengan kasar, namun dengan cengkeraman yang sangat kuat hingga aku tak bisa lepas.
"Makan malam dibatalkan. Karena kau sangat suka menantang, mari kita lihat apakah keberanianmu ini juga berlaku saat kita berada di balik pintu kamar."
Erlangga menarikku masuk ke dalam apartemen, mengabaikan Bi Sumi yang mengintip cemas dari balik dapur. Malam yang kukira akan menjadi malam penyerahan diri yang pasrah, kini berubah menjadi medan perang antara ego dan harga diri.
Pintu kamar tertutup dengan bunyi berdebam yang berat, mengunci kami dalam keheningan yang menyesakkan. Kamar ini terlalu luas, terlalu dingin, dan terlalu mewah untuk seseorang yang baru saja kehilangan dunianya.
Erlangga melepaskan cengkeramannya di lenganku, lalu berjalan perlahan menuju meja kecil tempat botol whisky berada. Ia menuangkan cairan emas itu ke dalam gelas, membelakangiku.
"Lepas jubah mandimu," perintahnya datar, tanpa menoleh.
Aku berdiri mematung di tengah ruangan. "Aku bukan tontonan, Erlangga."
Ia berbalik, menyesap minumannya sedikit, lalu menatapku dari ujung kaki hingga kepala. "Aku sudah membelimu dengan harga mahal, aku ingin hak ku. Kenapa? Tiba-tiba nyalimu menciut setelah bicara besar di balkon tadi?"
Aku mengepalkan tangan hingga kuku-kukuku memutih. Rasa takut itu ada, sangat nyata, tapi rasa muakku jauh lebih besar. Dengan tangan gemetar yang kusembunyikan, aku melepas tali jubah mandi itu. Jubah itu jatuh ke lantai, menyisakan aku yang hanya mengenakan pakaian dalam tipis di bawah sorot lampu kamar yang terang.
Erlangga meletakkan gelasnya. Ia berjalan mendekat, mengitari tubuhku seolah-olah aku adalah sebuah karya seni di galeri—atau mungkin, lebih tepatnya, hewan ternak di pelelangan.
"Ada bekas luka di bahumu," ucapnya saat berdiri di belakangku. Jarinya yang dingin menyentuh bekas luka lama akibat pecahan botol saat aku melindungi Ayah dulu. "Dan memar di pinggangmu. Hidupmu benar-benar berantakan, Shilla."
"Hidupku memang berantakan, tapi setidaknya aku tidak perlu membeli orang untuk merasa berkuasa," balasku pedas.
Erlangga tertawa rendah, suara tawanya terdengar berbahaya. Ia kini berdiri tepat di depanku, sangat dekat hingga aku bisa mencium aroma alkohol dan tembakau dari napasnya. "Kau pikir aku membelimu karena aku butuh kekuasaan? Aku punya segalanya, Shilla. Aku membelimu karena aku ingin melihat... berapa lama api di matamu itu akan tetap menyala sebelum aku memadamkannya."
Tiba-tiba, ia merengkuh pinggangku dan menarikku hingga tubuh kami menempel sempurna. Aku tersentak, mencoba mendorong dadanya, namun ia seperti batu karang—tak bergeming.
"Jangan sentuh aku seolah kau mencintaiku," bisikku parau, menahan tangis yang mulai mendesak.
"Cinta?" Erlangga mendekatkan wajahnya, hidung kami hampir bersentuhan. "Jangan naif. Tidak ada cinta di ruangan ini. Hanya ada transaksi. Dan malam ini, aku ingin melihat seberapa berani 'gadis jalanan' ini saat dia benar-benar terpojok."
Ia tidak menciumku. Ia justru menatapku dengan tatapan intimidasi yang seolah sedang menelanjangi jiwaku, mencari titik terlemahku.
"Menangislah, Shilla. Mohon padaku agar aku berhenti," tantangnya dengan suara serak.
Aku menelan ludah, menatapnya balik dengan sorot mata paling tajam yang bisa kuberikan. "Aku sudah kehabisan air mata untuk pria sepertimu. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tapi jangan harap kau akan mendengar satu pun desahan atau rintihan dariku."
Erlangga tertegun sejenak. Ada kilat kekaguman yang terlintas sangat cepat di matanya sebelum kembali tertutup oleh keangkuhan. Ia tiba-tiba mengangkatku dan menghempaskanku ke atas ranjang yang empuk.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,