Apa yang akan kalian lakukan saat tiba-tiba kalian masuk kedalam novel favorit kalian???
itu lah yang di alami Anya uang harus berjuang hidup di dalam novel sebagai ibu Tiri Jahat tapi ingin berubah jadi ibu tiri baik bak bidadari.
akan kah anya dapat merubah jalan hidup nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Titik Balik Kecil
Malam itu, dingin dan sunyi menyelimuti mansion. Angin berdesir melalui jendela-jendela tinggi, menciptakan suasana yang mencekam. Anya, yang tertidur pulas di kamarnya setelah seharian mengurus produksi teh herbalnya, tiba-tiba terbangun. Bukan karena suara, melainkan karena naluri.
Dalam keheningan, ia mendengar isak tangis yang sangat pelan dari sayap kamar anak-anak.
Rian.
Tanpa berpikir panjang, Anya melompat dari tempat tidur. Rasa takut yang biasa melanda (takut kembali ke nasib tragis) kali ini digantikan oleh kekhawatiran yang tulus. Rian pasti sudah sangat ketakutan sampai berani menangis.
Ia buru-buru menyambar lilin dan berlari ke kamar Rian.
Pintu kamar Rian tidak terkunci. Saat Anya masuk, ia melihat anak kecil itu menggigil hebat di bawah selimut tebal, wajahnya merah padam.
“Rian? Ada apa?” tanya Anya, suaranya panik.
Rian, yang hanya bisa merengek, menatap Elara dengan mata berkaca-kaca karena demam. Wajahnya yang biasa pucat kini terlihat mengerikan.
Anya menyentuh dahi Rian. Suhu badannya sangat tinggi.
Pengetahuan modern Anya segera mengambil alih. Demam tinggi pada anak kecil bisa sangat berbahaya. Ia harus segera menurunkan suhu tubuhnya.
Ia berteriak memanggil pelayan yang berjaga. “Cepat! Siapkan air hangat dan handuk. Bawa ke sini segera! Panggilkan tabib!”
Teriakannya yang penuh otoritas, namun bukan kemarahan, segera membangunkan seluruh sayap mansion, termasuk kamar Duke Alaric.
Duke Alaric, yang terkejut oleh kegaduhan itu, buru-buru keluar dari kamarnya dengan jubah tidur. Ia langsung menuju kamar Rian dan melihat pemandangan yang tak terduga: Elara sedang duduk di tepi ranjang, memijat lembut dahi Rian, sambil memberikan perintah yang jelas dan cepat kepada pelayan yang baru tiba.
Duke Alaric mendekat, matanya dipenuhi kecurigaan. "Apa yang kau lakukan, Elara? Ini pasti salah satu trikmu! Kau ingin terlihat pahlawan?"
Anya tidak menoleh. Ia sepenuhnya fokus pada Rian.
“Alaric, diam,” katanya tajam, sebuah perintah yang belum pernah ia berikan padanya. “Dia demam tinggi. Tabib masih di jalan. Kita harus menurunkan suhunya sekarang. Aku butuh mangkuk air hangat, bukan air dingin. Air dingin akan membuatnya menggigil lebih parah.”
Duke Alaric tertegun. Biasanya, Elara yang asli akan berteriak histeris, menyalahkan pelayan, atau bahkan mengabaikan anak itu. Kali ini, wanita itu terlihat kompeten dan serius, seolah-olah dia adalah seorang perawat.
Pelayan Marie tiba dengan baskom air dingin.
“Air hangat!” potong Anya. “Cepat ganti! Tambahkan beberapa tetes minyak peppermint jika ada di dapur! Itu akan membantu mendinginkannya.”
Anya kemudian berbalik sebentar ke Duke Alaric, ekspresinya tegas. “Duke, kau bisa percaya padaku, atau kau bisa berdiri di sana dan mengawasiku. Tapi aku tidak akan membiarkan anakmu menderita karena kecurigaanmu.”
Duke Alaric terdiam. Ia tidak bisa menyangkal urgensi situasi ini. Ia mundur selangkah, memilih untuk mengawasi dari sudut ruangan.
Malam Penantian yang Panjang
Anya mulai bekerja. Ketika air hangat tiba, ia dengan cekatan mengelap tubuh Rian yang panas dengan handuk hangat, fokus pada titik-titik nadi. Ia mengingat pelajaran pertolongan pertamanya dari kehidupannya yang lalu.
Ketika tabib datang, ia sudah menemukan beberapa daun feverfew dari kebun pribadinya (yang ia rawat untuk bisnisnya) dan meminta Gretchen untuk merebusnya menjadi teh penurun demam alami.
Tabib istana, yang tua dan lambat, terkejut melihat Elara begitu sigap.
“Nyonya Duke, ini… ini tindakan yang sangat cepat. Anda sudah melakukan yang terbaik. Teh herbal ini juga akan sangat membantu,” kata tabib itu, setelah memeriksa Rian.
Anya hanya mengangguk, lalu berbisik pada tabib untuk memberikan resep penenang yang ringan untuk membantu Rian tidur.
Selama sisa malam itu, Anya tidak meninggalkan sisi ranjang Rian. Ia berganti-ganti handuk kompres, memastikan Rian tetap terhidrasi dengan teh herbal hangat, dan menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur yang samar-samar ia ingat dari masa kecilnya.
Duke Alaric tetap di kamar itu. Ia duduk di kursi berlengan, mengawasi setiap gerakan Elara. Sepanjang malam itu, ia melihat Elara yang baru. Tidak ada keluhan, tidak ada tuntutan, tidak ada cermin untuk memeriksa penampilannya. Hanya ada perhatian yang terfokus dan tanpa pamrih.
Setiap kali Elara perlu sesuatu, dia tidak berteriak. Dia berbisik pada Marie atau Gretchen, memastikan tidak membangunkan Rian.
Menjelang subuh, demam Rian mulai turun. Napasnya menjadi lebih teratur, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia tertidur lelap, bukan karena rasa takut, melainkan karena kelelahan dan kehangatan yang menenangkan.
Pengakuan yang Tak Terucap
Anya, yang tubuhnya terasa sakit dan punggungnya pegal karena begadang, akhirnya berdiri, merasa lega. Ia mengambil mangkuk berisi air, siap membawanya keluar, ketika Duke Alaric berbicara.
Suaranya serak, mungkin karena begadang, atau mungkin karena emosi.
“Kau tidak perlu melakukan semua itu,” ujar Duke Alaric.
Anya berhenti, punggungnya menghadap Duke. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Tapi aku ingin. Dia anak yang baik, Alaric. Dia hanya sakit.”
Duke Alaric bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekat dan berdiri di belakang Elara. Ia tidak menyentuhnya, tetapi jarak di antara mereka terasa sedikit berkurang.
“Kenapa kau berubah, Elara?” tanyanya, suaranya kini dipenuhi kebingungan, bukan amarah. “Kau tidak bisa berakting selama semalam suntuk hanya untuk rencana jahat. Aku melihatmu. Kau benar-benar peduli.”
Anya membalikkan badan, matanya lelah tetapi tulus.
“Karena aku lelah menjadi penjahat, Alaric,” katanya, tidak lagi berbohong atau berakting. “Aku lelah membenci diriku sendiri dan membuat anak-anakmu takut. Apakah itu sudah cukup bagimu? Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan mengapa aku bangun tiga hari lalu dan memutuskan aku harus menjadi orang yang lebih baik. Tapi aku melakukannya.”
Dia mengulurkan tangannya yang kotor ke Duke Alaric.
“Percayalah sedikit padaku. Beri aku kesempatan untuk menebus dosa. Aku tidak meminta apa pun darimu. Biarkan aku mencari kedamaian dalam merawat anak-anakmu.”
Duke Alaric menatap tangannya yang kotor dan lelah, lalu ke wajah Elara yang tanpa riasan. Ia melihat sekilas kejujuran di sana, kejujuran yang tidak pernah ada pada Elara yang dulu.
Duke Alaric tidak meraih tangannya. Tetapi ia melakukan sesuatu yang lebih signifikan.
“Terima kasih, Elara,” katanya, suaranya sangat rendah. “Kau menyelamatkan Rian dari demam tinggi. Aku akan membiarkanmu tetap di sini selama anak-anak pulih. Tapi, aku masih mengawasimu. Jangan kecewakan aku.”
Ucapan Duke Alaric adalah pengakuan pertama. Pengakuan bahwa dia tidak lagi melihat Elara sebagai monster murni.
Anya hanya mengangguk, mengambil mangkuknya, dan meninggalkan kamar. Ia tidak peduli dengan rasa sakitnya; ia telah memenangkan satu pertempuran kecil melawan takdir. Ia telah menunjukkan bahwa, di bawah fasad Elara, ada kemanusiaan.
Di pagi hari, Rian terbangun, merasa jauh lebih baik. Ia melihat Siera dan Ayahnya di sampingnya. Namun, ia juga melihat di meja sampingnya, botol minyak lavender yang sama dari kemarin, dan sebuah catatan tulisan tangan yang rapi: Minumlah teh hangat, Nak. Dan jangan khawatir tentang mawar itu.
Tindakan kebaikan tanpa pamrih Elara telah menghasilkan keretakan pertama di dinding pertahanan keluarga Duke Alaric.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca📖 💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️