Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Hujan Di Pemakaman
Langit Temanggung menangis pagi itu. Rintik hujan turun perlahan membasahi tanah merah pemakaman desa. Di bawah payung hitam yang sudah tampak usang, Arjuna berdiri terpaku. Matanya sembab, menatap kosong pada gundukan tanah basah di hadapannya. Nisan sederhana dari kayu menancap di sana, bertuliskan nama yang begitu ia sayangi: "Mbah Darmi Wicaksono."
"Sabar ya, Jun..." Pak Karso, tetangga sebelah yang selama ini sering membantunya, menepuk pundak Arjuna pelan. "Mbah Darmi sudah tenang di sana."
Arjuna hanya mengangguk lemah. Tenggorokannya tercekat, bahkan untuk mengucapkan terima kasih pun ia tak sanggup. Tanpa Pak Karso dan warga desa, ia tak tahu bagaimana bisa mengurus pemakaman neneknya. Mereka mengumpulkan uang, membantu menggali kubur, bahkan Yu Minah yang biasanya galak soal hutang, rela memberikan kain kafan terbaiknya.
"Nak Arjuna..." Bu Tini, istri Pak Lurah, mendekat dengan payung hijau lusuh. "Ayo pulang dulu. Hujannya makin deras. Nanti kamu sakit."
Arjuna menggeleng pelan. "Sebentar lagi, Bu... Arjuna masih mau di sini..."
Para pelayat mulai bubar satu persatu. Beberapa ibu-ibu berbisik-bisik sambil mengusap air mata, merasa iba dengan nasib Arjuna. Delapan belas tahun, yatim piatu, dan sekarang sebatang kara. Apa yang akan terjadi pada anak sebaik dia?
"Jun..." Yu Minah, yang terakhir bertahan, menyodorkan bungkusan plastik. "Ini ada sedikit bekal. Dimakan ya? Dari tadi Yu lihat kamu belum makan apa-apa."
Air mata Arjuna kembali menetes, bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Kebaikan para tetangga justru membuat dadanya semakin sesak. Mereka yang hidupnya pas-pasan masih mau berbagi, sementara ia... ia bahkan tak bisa membalas kebaikan mereka.
"Maaf..." suaranya bergetar. "Hutang di warung Yu Minah... Arjuna janji akan—"
"Ssst!" Yu Minah memotong dengan suara serak. "Jangan bahas itu sekarang. Yang penting kamu jaga diri baik-baik. Mbah Darmi pasti sedih lihat kamu begini."
Setelah semua orang pergi, Arjuna masih berdiri di sana. Payung hitam di tangannya gemetar. Cincin perak pemberian kakeknya terasa dingin di jari manisnya - satu-satunya peninggalan keluarga yang tersisa.
"Mbah..." bisiknya lirih pada pusara basah itu. "Apa yang harus Arjuna lakukan sekarang? Arjuna takut, Mbah... Arjuna sendirian..."
Angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan basah. Untuk sesaat, Arjuna seperti mendengar suara neneknya, lembut seperti dulu: "Kamu tidak sendirian, Jun..."
Sore itu, ketika Arjuna akhirnya melangkah pulang, langit masih menangis. Tapi hujan tak lagi terasa dingin di kulitnya. Ada kehangatan aneh yang mengalir dari cincin di jarinya, seolah membisikkan janji bahwa semua akan baik-baik saja.
Yang tidak ia sadari, batu biru di cincin itu mulai berpendar samar, memancarkan cahaya misterius yang akan mengubah takdirnya selamanya...
Langkah gontai Arjuna memasuki rumah bambu yang kini terasa begitu sunyi. Tak ada lagi suara batuk lemah neneknya, tak ada lagi sapaan hangat yang biasa menyambutnya. Hanya suara tetesan air dari atap yang bocor, berirama dengan isakan yang tak bisa ia tahan.
Tubuhnya yang basah kuyup terduduk di dipan tua. Matanya tertuju pada cincin perak di telapak tangannya. Di bawah cahaya senja yang temaram, ukiran-ukiran kuno di permukaannya seolah bergerak, menari dalam kilau batu birunya yang misterius.
"Apa maksud Mbah dengan kakek akan menjelaskan?" gumamnya lirih, teringat kata-kata terakhir neneknya.
Perlahan, Arjuna menyusupkan cincin itu ke jari manisnya. Pas. Seolah memang dibuat khusus untuknya. Namun tiba-tiba, sensasi aneh menjalar dari cincin itu. Hangat... lalu panas... kemudian seluruh ruangan seolah berputar.
"Apa ini... kenapa..."
Pandangannya mengabur. Kepalanya terasa berat. Arjuna mencoba berpegangan pada tepian dipan, tapi tubuhnya sudah tak sanggup melawan. Dalam hitungan detik, kesadarannya menghilang sepenuhnya.
.....
"Cucuku..."
Suara itu begitu dalam, penuh wibawa namun terasa familiar. Arjuna membuka mata, mendapati dirinya berdiri di ruang putih tanpa batas. Di hadapannya, seorang lelaki tua dengan surjan Jawa dan blangkon tersenyum hangat. Wajahnya teduh, mengingatkan Arjuna pada foto lusuh yang tersimpan di almari neneknya.
"E-eyang?" suaranya bergetar.
"Ya, Arjuna. Ini Eyang." Sosok itu mendekat, "Maaf, baru bisa menemuimu sekarang."
"Tapi... bagaimana... Eyang sudah..."
"Meninggal? Ya. Tapi ada yang harus Eyang sampaikan padamu." Tatapan mata tuanya melembut, "Tentang cincin itu."
Arjuna menunduk, menatap cincin perak di jarinya yang kini bercahaya redup.
"Cincin ini," lanjut sang kakek, "adalah warisan suci leluhur kita. Turun-temurun dijaga oleh keluarga Wicaksono sejak zaman Majapahit."
"Apa... kegunaannya, Yang?"
Eyang Prabu menggeleng pelan, "Eyang tidak bisa memberitahumu sekarang. Ada waktunya nanti kau akan mengerti sendiri. Yang perlu kau ingat hanya satu: Jagalah cincin ini, seperti kau menjaga hatimu."
"Maksud Eyang?"
"Berbuat baiklah selalu, Arjuna. Tetaplah rendah hati. Gunakan cincin ini untuk kebaikan, bukan kesombongan. Kekuatan sejati bukan pada benda, tapi pada hati yang tulus."
"Tapi Yang, Arjuna masih tidak mengerti... Arjuna harus bagaimana sekarang? Arjuna... sendirian..."
Eyang Prabu mengulurkan tangan, menyentuh bahu cucunya dengan kelembutan seorang kakek. "Kau tidak sendirian, Nak. Kami selalu menjagamu. Percayalah pada takdirmu. Dan ingat pesanku: Jangan pernah lepaskan cincin itu, apapun yang terjadi."
"Yang... tunggu..."
Tapi sosok sang kakek mulai memudar. Ruang putih di sekelilingnya berputar semakin cepat. Arjuna mencoba menggapai, tapi semuanya telah berubah gelap.
.....
"Jun! Arjuna! Bangun, Nak!"
Suara Pak Karso dan guncangan di bahunya membuat Arjuna tersentak bangun. Ia mendapati dirinya terbaring di lantai kayu yang dingin. Di luar, langit sudah gelap sepenuhnya.
"Ya Allah, Jun! Kamu tidak apa-apa? Badan kamu panas sekali!"
Arjuna mencoba duduk, kepalanya masih terasa berat. Cincin di jarinya kini tampak normal, seolah tak pernah bercahaya. Tapi ia tahu, mimpi itu nyata. Pesan kakeknya masih terngiang jelas:
"Jagalah cincin ini, seperti kau menjaga hatimu..."
"Nak Jun, ayo makan dulu." Pak Karso meletakkan rantang berisi nasi dan lauk di meja kayu yang sudah miring. "Tadi Yu Minah masak lebih. Ganti baju dulu sana, nanti masuk angin."
Arjuna menurut, mengambil kaus lusuh dan sarung dari lemari. Setelah berganti pakaian, ia duduk di depan Pak Karso yang sudah membuka rantang makanan.
"Makanlah yang banyak," Pak Karso menyodorkan piring. "Biar ada tenaga. Dari kemarin kamu belum makan."
Aroma tempe goreng dan sayur lodeh menguar, mengingatkan Arjuna pada masakan neneknya. Air matanya nyaris jatuh lagi, tapi ia menahannya. Perlahan, ia mulai menyuap.
"Jun," Pak Karso memecah keheningan. "Bapak boleh tanya?"
Arjuna mengangguk pelan.
"Setelah ini... kamu mau bagaimana? Sudah ada rencana?"
Arjuna meletakkan sendoknya. Matanya menatap cincin perak di jarinya sejenak sebelum menjawab. "Arjuna mau kerja, Pak. Sekalian... kalau bisa... kuliah."
"Di sini?"
"Sepertinya... di kota, Pak. Di sini kan tidak ada universitas." Arjuna menghela nafas. "Arjuna sudah pikir baik-baik. Kalau di sini, paling cuma bisa jadi buruh tani. Arjuna... Arjuna pengen jadi orang yang berguna, Pak. Biar bisa bantu orang lain, seperti Mbah dulu."
Pak Karso mengangguk paham. "Jakarta?"
"Iya, Pak. Kata teman-teman, di sana banyak kampus yang buka jalur beasiswa. Sambil kuliah, Arjuna bisa kerja part time."
"Sudah ada tempat tinggal di sana?"
"Belum, Pak..." Arjuna tertunduk. "Tapi kata Bambang, sepupunya ada yang punya kos-kosan murah di Bekasi."
Pak Karso terdiam sejenak, lalu merogoh saku kemejanya. "Ini..." ia menyodorkan sebuah amplop, "dari warga RT sini. Hasil patungan. Tidak seberapa, tapi lumayan buat ongkos sama makan beberapa hari di Jakarta."
"Pak... ini..." Arjuna tergagap, "Arjuna tidak bisa terima. Bapak sama warga sudah terlalu baik. Arjuna sudah banyak merepotkan..."
"Sudah, terima saja. Anggap ini wasiat terakhir Mbah Darmi. Beliau selalu bilang, kamu harus sekolah tinggi. Jangan sia-siakan kepintaranmu."
Air mata Arjuna akhirnya tumpah. Ia menunduk dalam-dalam, tak mampu berkata-kata. Cincin di jarinya terasa hangat, seolah memberi kekuatan.
"Kapan mau berangkat?"
"Besok pagi, Pak. Kereta pertama."