Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Sudah dua bulan sejak kejadian malam itu, hubungan Bianca dan Marvin menjadi lebih dekat, Bianca tidak pernah menyangka kejadian itu mampu membuat Marvin lebih cepat terbuka kepadanya di setiap sesi yang mereka lakukan. Marvin semakin terbuka tentang masalah dan dirinya, kedekatan yang bukan hanya terjadi di dalam tapi juga di luar ruang konsultasi.
Bianca sendiri tidak pernah membayangkan kalau kehadiran Marvin dalam hidupnya bisa menjadi kunci yang mampu membuka celah pada pintu yang pernah ia tutup sangat rapat, dan sudah beberapa tahun tidak pernah secuil pun ia biarkan terbuka.
Jika bagi Bianca marvin seperti sebuah kunci, bagi Marvin kehadiran Bianca mampu membuat pria itu lebih menguasai dirinya, Bianca mampu menjadi penenang baginya seperti obat rutin yang harus dikonsumsi.
Tidak hanya bagi Marvin, kemunculan dan kehadiran Bianca juga menjadi makna tersendiri bagi seorang Saka. Bertemu kembali dengan Bianca, wanita yang ia sukai membuatnya kembali berharap untuk bisa memiliki wanita dengan wajah yang menenangkan itu. Tanpa disadari oleh Marvin dan Saka, kedua pria itu memiliki ketertarikan yang sama pada satu wanita.
“Mba Bianca, Pak Marvin menunggu anda di lobi.” Informasi itu Bianca dapatkan dari Jean ketika Bianca keluar dan hendak mengunci ruangannya. Ia memang baru saja menyelesaikan sesi dengan Marvin sebagai klien terakhirnya hari ini. Kejadian malam itu membuat Marvin tidak lagi tertutup padanya dan sedikit memudahkan Bianca untuk meyakinkan Marvin bahwa pria itu luar biasa.
Meski hubungan keduanya semakin dekat, Marvin tidak pernah absen dalam menghadiri sesi yang sudah dijadwalkan untuknya, justru itu bisa menjadi alasan untuk bertemu dengan Bianca.
“terima kasih informasinya, Jean. Aku duluan ya.” Pamit Bianca setelah mengucapkan terima kasih kepada asistennya itu. Tidak bisa dipungkiri hubungannya dengan Marvin bukan hanya membuat sesi konsultasinya berjalan lebih mudah tapi di luar itupun dirinya, Marvin dan Saka jadi lebih sering bertemu. Sesuatu yang Bianca tahu tidak bisa terus ia lanjutkan dengan Marvin yang masih menjadi kliennya.
Langkah Bianca terhenti ketika ia mendapati pria yang menunggunya sedang duduk di sofa yang disediakan di lobi gedung conseling center itu.
“Kak Marvin.” Marvin mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk membaca majalah yang disediakan, tersenyum mendapati wanita yang sudah mencuri hatinya berdiri disana, di dekatnya. “kenapa kakak nunggu aku? Pasti lama ya?” tanya Bianca setelah melihat senyum merekah di wajah Marvin, senyum yang mulai sering Bianca lihat dan mampu menghangatkan hatinya.
“Engga apa-apa, Ca. Pulang bareng?” Bianca terdiam sejenak mendengar tawaran Marvin, meski ragu tapi akhirnya ia mengangguk, lagipula hari ini ia memang tidak membawa mobil.
Keduanya berjalan berdampingan menuju basement, dimana Marvin memarkirkan mobilnya. Bianca segera masuk kedalam mobil begitupula dengan Marvin yang langsung menempatkan diri di kursi kemudi. Tanpa keduanya sadari, ada sepasang mata yang memerhatikan mereka.
“Mau makan malam dulu?” tanya Marvin setelah mobil melaju dan meninggalkan gedung conceling center itu, Bianca menoleh sejenak, sekali lagi meski ragu untuk menerima tawaran Marvin tapi wanita itu tetap mengangguk. “Mau makan apa?” tanya Marvin setelah mendapat anggukkan Bianca.
“Kalau kak Marvin gak keberatan, ada tempat makan bakso pinggir jalan yang menurutku enak.” Saran Bianca, ia memang lebih suka makan di pinggir jalan seperti ketika kuliah daripada masuk ke restoran.
“boleh, tentu saja.” Bianca mengirimkan sebuah titik lokasi ke ponsel Marvin melalui pesan singkat, untuk memudahkan pria itu menemukan tempat yang ia maksud, Marvin memelankan laju mobilnya dan mulai membuka titik lokasi yang Bianca kirimkan.
Marvin kembali fokus pada jalanan di depannya, melajukan mobilnya sambil sesekali mengikuti arahan dari maps yang sudah ia buka di ponselnya.
*
“kak Marvin mau pesan apa?” tanya Bianca ketika keduanya sudah berdiri di samping gerobak baso yang Bianca maksud.
“samain aja kayak kamu, aku suka semua jenis baso.”
“Mang, 2 porsi baso spesial.” Setelah mendengar jawaban Marvin, Bianca segera memesan menu seperti yang biasa ia pesan, kemudian mengajak Marvin untuk duduk di salah satu meja panjang di dalam kios yang tidak terlalu besar itu.
“kamu sering makan disini, Ca?” tanya Marvin ketika keduanya sudah duduk menunggu pesanan mereka datang.
“waktu kuliah lumayan sering, Kak.” Jawab Bianca apa adanya, seorang pelayan menghampiri mereka menanyakan minuman yang akan mereka pesan, Bianca memilih es jeruk tanpa gula sedangkan Marvin hanya memesan air mineral.
“itu gantungan apa, Ca? Aku selalu melihatnya meski kamu menggunakan tas yang berbeda.” Mata Marvin fokus dengan gantungan yang selalu Bianca bawa, meski Marvin sudah mengetahui asal gantungan itu tapi ia penasaran mengapa Bianca selalu membawa gantungan itu tidak jauh dari dirinya, mendengar pertanyaan Marvin, Bianca meraba gantungan yang tergantung ditasnya, mengusapnya pelan.
Bianca menerawang sesaat, ingatannya kembali membawa dirinya ketika ia melihat foto yang ada di ruang kerja Marvin, sebuah foto keluarga dengan seorang anak perempuan yang sedang menggenggam gantungan yang sama persis dengan yang selalu ia bawa di tasnya.
“gantungan ini bukan milikku, Kak. Tapi gantungan ini sangat berarti buatku.” Marvin tersenyum tipis mendengar jawaban Bianca, senyum yang bahkan tidak akan disadari oleh lawan bicaranya.
“apa gantungan itu memiliki arti khusus?” tanya Marvin penasaran, ia ingin mengetahui seberapa penting gantungan itu bagi Bianca, seberapa penting pertemuan tidak sengaja mereka belasan tahun lalu.
Bianca mengangguk mantap, tapi sebelum ia bisa menceritakan arti gantungan itu, pesanan mereka sudah datang. Melihat semangkuk baso komplit dengan mie kuning, bihun, sayur, baso telur, dan beberapa baso halus berhasil membangunkan semua naga di perut Bianca.
“Karena orang yang memberikan gantungan ini, aku memiliki semangat baru untuk diriku dan mulai tertarik dengan psikologi, Kak.” Bianca memulai ceritanya sambil menuangkan sambal dan penyedap tambahan yang disiapkan di meja.
“Oh ya?” tanya Marvin semakin penasaran sambil pria itu menyuapkan baso ke dalam mulutnya.
“tidak secara langsung membuat aku ingin mengenal dunia psikologi sih.” Bianca menggantungkan kalimatnya, namun segera melanjutkan, “dulu ada seorang anak laki-laki yang menolongku ketika aku di ejek dan didorong oleh temanku sampai jatuh di sekolah.” Bianca melanjutkan ceritanya sambil sesekali mencicipi kuah baso yang baru saja ia bumbui. “ia mengatakan kepada temanku bahwa aku adiknya dan tidak ada yang boleh menggangguku.” Lanjut Bianca sambil mengenang kejadian itu.
Marvin memerhatikan Bianca dengan serius sambil tetap menikmati baso di mangkuknya, “kata-katanya membuatku berani dan tidak membiarkan siapapun mengejekku, sebelum anak itu pergi ia meninggalkan gantungan ini, sayang saat itu aku tidak berkenalan dan melihatnya. Sampai hari ini aku berharap bisa dipertemukan dengannya untuk sekedar mengucapkan terima kasih, karena apa yang dilakukan anak itu membuat aku berpikir aku tidak sendirian.”
‘Andai kamu tahu bahwa orang yang sedang makan bersamamu ini adalah manusia yang sama dengan anak laki-laki yang memberikan gantungan itu,.batin Marvin tepat setelah mendengar penuturan Bianca.
“kenapa kamu merasa begitu?” tanya Marvin semakin penasaran, ia memang belum pernah mendengar apapun tentang Bianca, mungkin ini bisa menjadi kesempatan untuknya mengenal wanita itu.
sambil menyuapkan sepotong baso ke dalam mulutnya Bianca berpikir sejenak jawaban apa yang akan ia berikan kepada Marvin, “hmm karena hanya anak itu yang mengatakan aku harus berani dan melawan kalau di bully.” Tutur Bianca polos.
“bukankah memang begitu seharusnya?” sahut Marvin mengingat perkataan yang ia lontarkan kepada Bianca kecil sebelum beranjak pergi.
“entahlah, aku sangat sulit memiliki teman ketika sekolah dulu ditambah mamaku selalu mengatakan untuk bersabar dan jangan sampai membuat masalah. Papaku suka kesempurnaan dan aku harus selalu sempurna di matanya. Tidak boleh melakukan kesalahan apalagi membuat masalah.” Bianca tersentak mendengar kalimat yang tanpa sadar ia ucapkan, ia tidak berencana untuk membawa Bram dan Vivi dalam ceritanya, Bianca menunduk menyembunyikan airmata yang nyaris lolos membasahi pipinya, dengan cepat ia menyeka sudut matanya.
Marvin sedikit terbawa suasana, ia tidak menyangka kalau dirinya memiliki arti yang cukup dalam bagi Bianca kecil, meski yang ia lakukan menurutnya tidaklah besar. Melihat perubahan raut wajah dan suasana hati Bianca mendorong Marvin menggenggam tangan wanita itu, “kamu engga apa-apa?”
Bianca mengangkat wajahnya, menatap dalam ke arah pria dihadapannya, suara itu, suara yang sangat mirip dan terdengar sangat familiar , yang seperti tersimpan diingatan Bianca tapi tidak berhasil ia temukan pemiliknya. ‘apa Marvin adalah anak itu?’ batin Bianca sambil kembali mengingat suara pria itu, foto keluarga dengan anak perempuan memegang gantungan yang sama, inisial pada gantungan yang mengarah pada nama lengkap Marvin, membuat Bianca semakin curiga kalau Marvinlah anak itu.
“ya, aku tidak apa-apa, Kak.” Bianca menggeleng, sebagai jawaban untuk Marvin dan sebagai cara untuk menepis asumsi yang ada dipikirannya. Bianca kembali menyantap basonya karena melihat mangkuk Marvin hampir habis.
Malam ini Marvin menyadari bahwa seorang Psikolog profesional seperti Bianca yang selalu terlihat sempurna tanpa cacat dan masalah juga memiliki kenangan yang tidak mengenakkan dan mungkin memengaruhi hidupnya, Bianca hanya pintar membungkusnya dengan ketenangan dan profesionalitas.
Keheningan menyelimuti sisa malam keduanya, masing-masing mulai sibuk dengan pikiran mereka. Marvin yang seolah mendapat hembusan angin surga dan berada di atas awan karena mengetahui dirinya memiliki ruang tersendiri di hati Bianca sesekali merekahkan senyum tipis sambil memerhatikan wanita yang sedang menyantap basonya itu, sedangkan Bianca masih sibuk mencocokkan segala kemungkinan kalau pria di hadapannya adalah orang yang sama dengan anak yang menolongnya belasan tahun lalu.