Elise, seorang gadis keturunan bangsawan kaya, hidupnya terikat pada aturan keluarga. Untuk mendapatkan harta warisan, ia diwajibkan menikah dan segera melahirkan keturunan. Namun Elise menolak. Baginya, pernikahan hanyalah belenggu, dan ia ingin memiliki seorang anak tanpa harus menyerahkan diri pada suami yang dipaksakan.
Keputusan nekat membawanya ke luar negeri, ke sebuah laboratorium ternama yang menawarkan program bayi tabung. Ia pikir segalanya akan berjalan sesuai rencana—hingga sebuah kesalahan fatal terjadi. Benih yang dimasukkan ke rahimnya ternyata bukan milik donor anonim, melainkan milik Diego Frederick, mafia paling berkuasa dan kejam di Italia.
Ketika Diego mengetahui benihnya dicuri dan kini tengah berkembang dalam tubuh seorang wanita misterius, murka pun meledak. Baginya, tak ada yang boleh menyentuh atau memiliki warisannya.
Sementara Elise berusaha melarikan diri, Diego justru bersumpah akan menemukan wanita itu, dengan segala cara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Elise mondar-mandir di dalam kamar. Ia gelisah dan terus menatap wajahnya di cermin.
Tompel penyamarannya lenyap. Stok tempelan yang biasa ia gunakan pun habis.
Panik, Elise menepuk pipinya pelan, berharap wajahnya tampak berbeda tanpa harus menimbulkan curiga.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuat jantungnya hampir melompat dari tempatnya.
“Nona, aku masuk!” ucap Diego terdengar dari luar.
Belum sempat Elise menjawab, gagang pintu sudah berputar. Cepat-cepat ia meraih handuk mandi dan menutup sebagian wajahnya.
“Silakan masuk, Tuan,” ucapnya terbata.
Begitu pintu terbuka, Diego berhenti di ambang pintu. Tatapannya langsung tertuju pada Elise yang berdiri hanya dengan handuk melilit tubuh dan satu lagi menutupi sebagian wajahnya.
Matanya sempat membulat, tapi segera berubah datar kembali.
“Kenapa kau belum berganti pakaian?” tanyanya sambil menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
Elise menelan ludah, lalu tersenyum canggung di balik handuk.
“Saya... ketiduran di bathtub, Tuan. Terlalu nyaman berendam, jadi tidak sadar waktu,” jawab Elise.
Diego menyilangkan tangan di dada. “Ketiduran? Di air?” alisnya terangkat. “Luar biasa.”
Elise hanya nyengir kikuk.
Tapi perhatian Diego lalu tertuju pada handuk yang menutupi wajah Elise.
“Kenapa menutupi wajahmu seperti itu?” tanyanya curiga.
“Oh, ini?” Elise menunjuk handuk di wajahnya, buru-buru mencari alasan. “Saya... flu. Terlalu lama berendam membuat hidung saya tersumbat.”
“Flu?” Diego mengulang dengan nada heran. “Kau tidak biasa berendam?”
Elise menggeleng. “Tidak, Tuan. Di rumah saya dulu tidak ada bathtub.”
Diego berdecak pelan. “Astaga. Norak sekali kau ini. Masa tidak punya bathtub?”
Elise mencebik, tapi tak berani membalas. Dalam hati ia mendengus. Tentu saja tidak punya.
Dulu, setiap hari ia dan Alex hanya mandi dengan air dingin dari ember. Tapi ia biarkan saja komentar pedas pria ini lewat begitu saja.
Diego mendekat. Refleks Elise mundur selangkah, memeluk handuk di tubuhnya erat-erat.
“Jangan terlalu dekat, nanti anda tertular flu,” katanya gugup.
Tapi Diego tidak berhenti. Ia mengambil handuk kering lain dari atas meja dan berkata datar, “Duduk!”
Elise menatapnya bingung. “Tuan?”
“Kubilang duduk. Rambutmu masih basah. Kalau kau benar-benar flu, itu bisa bertambah parah.”
Mau tidak mau, Elise menuruti. Ia duduk di tepi ranjang, dan Diego ikut duduk di sebelahnya.
Pria itu mulai mengeringkan rambut Elise dengan perlahan. Setiap sentuhannya membuat Elise kaku seperti patung.
“Kalau sedang flu, seharusnya kau tidak keramas,” gumam Diego tanpa menatapnya.
Elise hanya mengangguk kecil. Jantungnya berdebar hebat. Ini pertama kalinya ia berada sedekat ini dengan pria. Terlebih dengan pria seperti Diego.
Setelah beberapa saat, Diego berhenti. Ia menatap wajah Elise yang masih tertutup sebagian handuk itu.
“Nama,” ucapnya tiba-tiba.
Elise mengerjap, tidak paham. “Maaf, Tuan?”
“Namamu,” ulang Diego. “Selama ini aku bingung harus memanggilmu apa. Aku bahkan belum tahu siapa kau sebenarnya.”
Elise menunduk. “Nama saya Elise, Tuan.”
Diego terdiam. Pandangannya mengeras sesaat. Nama itu terasa familiar di ingatannya.
Elise adalah mama wanita yang disebut-sebut membawa kabur benihnya.
Senyum tipis terlukis di bibirnya. “Elise, ya?” gumamnya pelan.
Namun, logikanya menolak.
“Tidak mungkin! Elise yang mengandung benihku adalah wanita cantik dengan wajah sempurna. Bukan perempuan polos dengan gaya bicara canggung dan penampilan aneh seperti ini.” batin Diego.
Suasana mendadak sunyi. Elise bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Ia ingin segera bangkit dan menjaga jarak, tapi tubuhnya seperti tak mau bergerak.
Saat akhirnya ia berdiri, kaki Elise terpeleset oleh ujung karpet. Ia terhuyung dan jatuh tepat ke arah Diego.
“Aw!” serunya spontan.
Diego yang refleks menahan tubuh Elise ikut terjatuh ke atas ranjang. Posisi mereka membuat mata mereka saling bertemu. Pandangan mereka terkunci dan waktu seolah berhenti.
Elise bisa merasakan hembusan napas Diego yang menerpa matanya.
Di sisi lain, Diego mendapati dirinya tidak mampu mengalihkan pandangan. Di balik handuk yang menutupi wajah Elise, ada sorot mata yang entah kenapa terasa lembut dan menenangkan.
Tangan Diego perlahan terangkat, hendak menyingkirkan handuk itu. Namun sebelum sempat menyentuhnya—
Tok! Tok! Tok!
“Diego! Buka pintunya!” suara nyaring Jenifer terdengar dari luar kamar.
“Sial!” umpat Diego.
Elise buru-buru bangkit dengan wajah memerah menahan malu. Ia menunduk dan pura-pura merapikan handuknya.
Sementara Diego berdiri sambil menekan pangkal hidungnya dengan jengkel.
“Perempuan itu... selalu datang di waktu yang tidak tepat.”
Tok! Tok!
“Diego! Aku tahu kau di dalam! Kenapa kau kunci pintunya, hah?” teriak Jenifer lagi.
Diego menatap Elise. “Jangan bicara apapun,” ucapnya singkat, kemudian berjalan ke arah pintu.
Sebelum Diego sempat membuka pintu, Elise berkata, “Tuan, terima kasih sudah mengeringkan rambut saya.”
Diego menoleh. Sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya. Bukan senyum ramah, tapi cukup untuk membuat Elise membeku di tempat.
“Lain kali, jangan sampai aku menemukanmu ketiduran di air lagi. Aku tidak ingin menjelaskan pada Alex kenapa ibunya mati konyol di bathtub,” ujarnya datar.
Elise menyandarkan tubuh ke dinding dan menatap bayangan dirinya di cermin.
“Nyaris saja. Mulai sekarang, aku harus lebih berhati-hati,” bisiknya pelan sambil bernafas lega.
Dan di balik pintu yang kini tertutup separuh, suara pertengkaran antara Diego dan Jenifer mulai terdengar.
lanjut thor💪💪semngt
Kamu akan diratukan oleh seorang mafia kejam kerana telah melahirkan benihnya yg premium langsung penerusnya..