Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Pagi kembali datang di rumah Tristan. Udara masih segar, burung-burung berkicau di pepohonan sekitar, dan aroma kopi hitam baru saja memenuhi ruang makan.
Tiwi masuk dengan langkah ringan seperti biasa, menenteng totebag besar berisi bahan makanan. Rambutnya dikuncir ekor kuda, wajahnya tanpa make-up tapi tetap segar. Ia langsung bersiul kecil sambil menaruh barang-barang di dapur.
“Selamat pagi, Dokter Dingin! Hari ini menunya spesial, nasi kuning ala syukuran. Kita harus rayain sesuatu.” ujar Tiwi
Tristan, yang masih duduk membaca laporan di meja makan, mengangkat alis. “Rayakan apa?”
Tiwi menyeringai lebar. “Rayakan hidup, lah. Atau, kalau kamu mau lebih jujur, rayakan ada satu orang nyebelin yang akhirnya tersingkir dari orbit rumah sakit.”
Tristan menatapnya tajam. “Tiwi.”
“Apa?” Tiwi pura-pura polos, sibuk mengeluarkan bumbu dari tas. “Aku kan cuma bilang fakta.”
Tristan menutup berkasnya, lalu berdiri. “Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu.”
Tiwi membeku sebentar, lalu menoleh dengan wajah serius. “Maksudmu? Jangan bilang kamu curiga aku ini alien penyamar yang mau invasi bumi.”
Tristan menatapnya datar. “Bukan bercanda. Aku serius.”
Tiwi menghela napas, menatapnya balik. “Dok, kalau aku betulan tahu siapa yang bikin Arina jatuh, kira-kira aku bakal cerita? Nggak lah. Aku ini gadis sederhana, tugasnya masak, bikin hidupmu lebih rame, bukan main politik rumah sakit.”
Senyumnya polos. Terlalu polos sampai Tristan sendiri tidak bisa menebak apakah ia benar-benar tidak tahu atau sedang memainkan peran.
----
Siang di Rumah Sakit
Sementara Tristan tenggelam dengan pekerjaannya, rumah sakit masih riuh dengan gosip. Perawat-perawat berbisik di lorong, dokter-dokter muda membicarakan skandal Arina, dan pasien pun ikut-ikutan penasaran.
“Katanya dr. Arina itu simpanan pejabat, loh.”
“Masa sih? Aku denger dia juga selingkuh sama dr. Bima.”
“Pantas aja kemarin ada keributan di lobi, rame banget.”
Tristan berjalan melewati mereka dengan wajah tanpa ekspresi, tapi telinganya tetap menangkap setiap bisikan. Semua ini membuatnya semakin curiga pada Tiwi.
Bagaimana bisa bukti-bukti itu tiba-tiba muncul semua sekaligus? Bahkan penyerangan Tiwi yang dulu sempat tidak jelas pelakunya, sekarang ikut terbongkar.
“Aneh…” pikir Tristan.
Sore di Rumah Tristan
Begitu sampai rumah, Tristan langsung disambut suara musik dangdut remix dari dapur. Ia sudah bisa menebak siapa dalangnya.
“Tiwi!” panggilnya.
“Ya, Dok!” sahut Tiwi riang sambil muncul dengan spatula di tangan. “Kamu pulang pas banget. Ayam goreng mentega baru aja matang.”
Tristan menatapnya lama. “Kau tidak pernah terlihat khawatir, ya? Padahal Arina bisa saja menyerang balik.”
Tiwi terkekeh. “Kalau dia masih bisa berdiri aja udah syukur, Dok. Mana sempat mikirin aku?”
Tristan menatapnya lebih lama lagi, tapi Tiwi malah balik menggodanya. “Kenapa sih kamu liatin aku kayak aku ini tersangka kriminal? Tenang aja, aku nggak bakal racunin masakanmu. Kalau pun aku mau, aku udah racunin sejak pertama kali bikin sup buntut kemarin.”
Tristan menghela napas, memilih duduk. “Kau benar-benar gadis aneh.”
“Aku kan limited edition,” jawab Tiwi cepat.
---
Setelah pulang ke rumahnya, Tiwi duduk bersila di depan laptop. Lampu kamar redup, hanya layar biru terang yang menyinari wajahnya.
Ia membuka folder rahasia lain, isinya lebih banyak lagi data tentang Arina dan jejaring gelapnya. Namun kali ini, Tiwi tidak buru-buru membocorkannya.
“Sudah cukup. Kalau aku bongkar semua sekaligus, nggak seru. Harus bertahap, biar kayak drama Korea, bikin penonton penasaran, rating tinggi.”
Ia menyandarkan tubuh, lalu tertawa kecil. “Lagipula, aku nggak mau Tristan tahu aku yang main di belakang layar. Biarlah dia kira aku cuma cewek cerewet yang jago masak.”
Namun, jauh di hatinya, Tiwi tahu Tristan sudah mulai curiga.
Keesokan Harinya
Tiwi kembali datang pagi-pagi, kali ini membawa kue lapis legit. Begitu masuk, ia langsung nyelonong ke ruang makan.
“Dok, aku bawain kue. Cocok buat temen kopi hitammu yang pahit itu.”
Tristan menatapnya, kali ini lebih lembut. “Kau selalu terlihat ceria. Tidak ada yang bisa membuatmu jatuh, ya?”
Tiwi terkekeh. “Jatuh mah sering, Dok. Cuma aku jago bangkit lagi. Hidup itu kayak lari estafet, kalau jatuh ya bangun, terus lari lagi. Kalau nggak, kalah sebelum finish.”
Tristan menatapnya dalam, lalu tiba-tiba berkata, “Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Tiwi.”
Tiwi terdiam sebentar, lalu senyumnya melebar. “Halah, jangan-jangan kamu naksir aku beneran.”
Tristan menghela napas, menutup wajah dengan tangan. “Lupakan.”
Namun Tiwi tahu, itu bukan sekadar basa-basi. Ia bisa merasakan Tristan mulai membuka hati.
Sementara Itu Arina dalam Kekacauan
Arina duduk di ruangannya yang kini kosong. Bekas luka di wajahnya belum sembuh, reputasinya hancur, pekerjaannya hilang. Telepon dari pejabat dan dr. Bima berhenti sejak skandal pecah.
Ia memandang cermin, menatap bayangan dirinya sendiri. “Aku nggak akan biarin ini berakhir begitu saja. Aku akan cari siapa dalangnya.”
Namun, tanpa Arina sadari, Tiwi sudah jauh satu langkah di depan.
Siang: Tristan dan Tiwi Jalan Bareng
Hari itu, untuk pertama kalinya, Tristan mengajak Tiwi keluar setelah ia selesai operasi.
“Ayo makan di luar,” katanya singkat.
Tiwi langsung melonjak. “Astaga! Dokter Dingin ngajak kencan? Aku harus pake dress, heels, sama lipstik merah, nggak?”
Tristan menatapnya dingin. “Hanya makan siang. Jangan lebay.”
Tapi diam-diam, hatinya berdebar juga.
Mereka makan di sebuah restoran kecil. Tiwi lah yang banyak bicara, berceloteh tentang makanan, tentang pasien yang pernah ia lihat saat mengantar Tristan, bahkan tentang kucing liar yang sering nongkrong di dekat rumah.
Tristan hanya mendengarkan, sesekali menanggapi singkat. Namun, di balik tatapannya yang dingin, ia merasa nyaman.
“Jangan-jangan, aku mulai terbiasa dengan kehadirannya,” pikirnya.
---
Malam itu, Tiwi membuka file terakhir yang ia simpan. Sebuah video rekaman Arina berbicara dengan salah satu calo obat ilegal.
“Aku bisa bantu distribusi, asal jatahnya jelas. Jangan sampai ketahuan pihak rumah sakit.” ujar Arina dalam video itu
Tiwi menatap layar sambil mengetuk meja. “Nah, ini paku terakhir di peti matimu, Nona Dokter Sombong.”
Ia mengunggah video itu secara anonim ke forum dokter, lalu menutup laptopnya.
“Besok pagi, semua orang bakal tahu wajah aslimu. Dan aku? Aku tetap jadi ART lugu yang hobinya masak.”
Keesokan Harinya
Kabar besar pecah lagi. Video Arina dengan calo obat ilegal menyebar luas. Rumah sakit langsung mengumumkan pemecatan permanen, bahkan polisi turun tangan untuk menyelidiki.
Arina berteriak histeris saat polisi datang menjemputnya. “Aku dijebak! Aku dijebak!”
Namun, tak ada yang peduli lagi.
Di Rumah Tristan
Tristan pulang dengan wajah lelah. Ia melihat Tiwi lagi-lagi duduk santai di sofa, kali ini makan keripik sambil menonton drama.
“Dok, kamu kelihatan capek banget. Sini, aku buatin teh hangat.”
Tristan menatapnya lama, lalu bertanya pelan, “Kalau suatu hari aku tahu kau punya sisi gelap, aku harus apa?”
Tiwi menoleh, tersenyum misterius. “Terima aja, Dok. Semua orang punya sisi gelap. Bedanya, ada yang dipakai buat nyakitin, ada yang dipakai buat bertahan. Aku? Aku pilih bertahan.”
Tristan terdiam. Ia merasa kata-kata itu bukan sekadar candaan. Namun, seperti biasa, Tiwi menutupinya dengan tawa.
“Udah, jangan serius-serius amat. Nanti keriput. Nih, makan keripik aja.”
Ia menyodorkan satu bungkus ke Tristan.
Dan malam itu, Tristan akhirnya tertawa kecil sambil menerima keripik itu.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu: ada rahasia besar yang disimpan Tiwi.
Rahasia yang suatu hari mungkin akan ia ketahui… atau mungkin lebih baik tidak pernah.
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥