Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Alya masih tak sadarkan diri di tepian kolam. Wajahnya pucat dan bibirnya yang biasa terlihat merah segar, kini agak membiru.
“Bagaimana ini? Tidak ada cara lain,” batin Albiruni
Albiruni menatap dengan rasa panik, lututnya gemetar. Ia tak berpikir panjang, hanya bertindak.
“Maafkan aku, Alya. Ini demi menyelamatkan kamu," bisik Albiruni.
Tangan Albiruni yang hangat menahan dagu Alya dengan lembut, lalu ia menempelkan bibirnya di bibir wanita itu. Udara hangat dari paru-parunya mengalir pelan ke dalam paru-paru Alya. Satu kali ... dua kali ... tiga kali ...
Tiba-tiba Alya tersentak, dari mulutnya keluar air, dan ia terbatuk hebat. Napasnya tersengal.
Vero dan Ali yang tadinya masih di tengah kolam segera berenang ke tepi.
“Bunda ...! Bunda ...!” Vero berteriak dengan air mata menetes di wajahnya. Ali pun ikut memegangi tangan Alya yang gemetar.
Albiruni menahan napas lega. “Syukurlah,” bisiknya dengan suara parau, antara kelelahan dan rasa syukur yang nyaris membuatnya roboh.
Tubuh Alya masih lemas, matanya setengah terbuka. “A-Axel ... di mana Axel?” tanya Alya dengan suaranya serak dan hampir tak terdengar.
“Axel selamat, sudah Oma bawa ke dalam,” jawab Albiruni cepat.
Alya mengangguk lemah. “Terima kasih, Mas Biru,” kata Alya pelan sebelum mata kembali menutup karena tubuhnya kehilangan tenaga.
Tanpa pikir panjang, Albiruni mengangkatnya. Tubuh Alya ringan di pelukannya, tetapi setiap sentuhan kulit yang basah itu justru membuat jantungnya berdentum keras.
Dia membawa Alya masuk ke dalam rumah. Langkahnya tergesa, tapi hati-hati, seolah takut membangunkan sesuatu yang rapuh di pelukannya.
Beberapa menit kemudian, Alya berbaring di ranjang kamar tamu, berselimutkan kain hangat. Napasnya sudah mulai teratur, walau wajahnya masih tampak pucat.
Albiruni duduk di kursi samping ranjang, kepala tertunduk, mata menatap telapak tangannya sendiri. Tangannya masih gemetar. Lalu, pria itu menyentuh bibirnya perlahan.
Masih terasa lembut, hangat, dan manis.
Padahal itu bukanlah ciuman. Hanya napas bantuan. Namun sensasi itu, entah kenapa terasa membakar seluruh dadanya.
“Aku makin gila dibuat olehnya,” gumam Albiruni lirih, memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan wajah Alya yang terus menghantui pikirannya.
Albiruni menengadahkan kepala, menatap langit-langit kqmar yang remang. Jantungnya berdetak cepat. Ia tahu, apa yang ia rasakan salah, tetapi perasaan tidak bisa diperintah.
Sejak pertama kali melihat Alya, Albiruni tahu, wanita itu bukan sekadar cantik. Ia tangguh, lembut, dan hangat dalam cara yang membuat siapa pun ingin melindunginya. Kini, setelah insiden di kolam tadi, perasaan itu meledak tanpa bisa dibendung.
Rasa cinta yang selama ini Albiruni pendam, bahkan selalu berusaha untuk dihapus, karena Alya merupakan istri Vandra. Sekarang perasaan itu malah semakin mengembang.
Albiruni menggenggam tangan sendiri kuat-kuat.
“Tidak, Biru … kamu tidak boleh seperti ini,” katanya kepada diri sendiri.
Namun, kata-kata itu hanya menggema kosong. Karena di dalam hatinya, sebuah suara lain berbisik jujur dan tak bisa dibantah.
‘Tapi aku sudah jatuh cinta sejak lama.’
Albiruni menunduk, menatap wajah Alya yang terlelap. Rambutnya terurai di bantal, kulitnya yang lembut tampak bercahaya di bawah lampu ruang tamu. Dalam diam, hatinya bergetar hebat.
Albiruni mengingat masa lalu, saat dulu Alya menerima permintaan Bu Belinda untuk menjadi ibu susu Ali. Wanita itu memperlakukan Ali sama baiknya dengan Vero.
Beberapa waktu lalu, Albiruni pernah memberanikan diri menyatakan cinta, memohon agar Alya memberinya kesempatan untuk menjadi pasangan hidup dan membesarkan anak-anak bersama.
Namun, wanita itu menolak dengan halus. Ia hanya berkata ingin fokus membesarkan anak-anak, ingin sembuh dari luka masa lalunya bersama Vandra.
Albiruni menghormati itu. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga jarak. Akan tetapi nyatanya, jarak itu kini terasa mustahil.
“Lalu sekarang datang Philip,” ucap Albiruni lirih, menatap jendela. Bayangan pria bule yang selalu datang dengan senyum lembut itu membuat dadanya panas.
“Apa Alya menolak aku karena dia suka sama Philip, ya?” pikir papanya Ali itu getir.
Albiruni menggigit bibir.
“Tidak… tidak… tidak!” desisnya, menundukkan kepala sambil mengacak rambutnya sendiri. “Dia bilang ingin fokus pada anak-anak. Luka yang ditinggalkan Vandra juga belum sembuh.”
Namun, semakin dia meyakinkan diri malah semakin kuat pula rasa sakit di dadanya.
Antara logika dan hati, keduanya kini bertarung hebat. Lalu, untuk pertama kalinya Albiruni tak tahu mana yang akan menang.
***
Malam di hotel itu terasa panjang. Lampu-lampu kota Medan menembus tirai tipis kamar tempat Erika berdiri terpaku, menatap bayangan dirinya di cermin besar.
Rok kerjanya sudah diganti dengan gaun tidur berwarna hitam sederhana yang disediakan oleh pihak hotel. Wajah Erika kini terlihat berbeda. Matanya tidak lagi lembut seperti dulu. Ada sesuatu yang tajam, berbahaya, dan penuh perhitungan di sana.
Telepon genggamnya bergetar. Nama Vandra muncul di layar. Erika menatapnya lama, jari-jarinya nyaris menyentuh tombol hijau, namun diurungkan. Ia menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel itu di meja tanpa menjawab.
Suara ketukan pintu membuat tubuhnya menegang. Seketika, segala keraguan dan kenangan tentang suaminya menguap. Ia tahu siapa yang datang.
Pak Rudi masuk dengan senyum lebar, membawa dua gelas wine di tangannya. Aroma alkohol bercampur parfum maskulin langsung memenuhi udara kamar.
“Untuk malam yang menyenangkan,” ucap Pak Rudi sambil menyerahkan segelas kepada Erika.
Erika menerima gelas itu dengan tangan sedikit gemetar. Dalam benaknya, suara hati kecilnya berteriak menolak, menuduh, mencaci. Tetapi suara lain, yang lebih kuat berbisik pelan, “Kau butuh uang. Kau ingin keluar dari kesulitan. Dunia tidak berpihak pada orang baik, Erika.”
“Malam yang panjang,” balas Erika akhirnya dengan senyum yang ia latih.
Pak Rudi menatapnya lekat-lekat. “Kau tahu, sejak pertama kali aku melihatmu, aku sudah tahu kau berbeda dari yang lain. Cantik, cerdas, dan berani.”
Erika hanya tersenyum, memainkan rambutnya perlahan. Dalam senyum itu, ada keangkuhan yang baru tumbuh. Ia tahu dirinya sedang diuji, tapi ia juga sadar kekuatan yang kini ia miliki. Kemampuannya untuk membuat pria seperti Pak Rudi tunduk pada pesonanya.
Waktu berjalan lambat malam itu. Dua manusia larut dalam kubangan dosa zina. Erika berhasil membuat Pak Rudi puas malam ini.
Ketika semua usai, Erika duduk di tepi ranjang, menatap sebuah cek yang tergeletak di atas meja. Bayangan tumpukan lembaran seratus ribuan itu tampak begitu menggiurkan, tapi di balik kilauannya, hati Erika seperti tertusuk. Ia merasa kotor, tapi juga ada rasa senang.
Erika mengusap wajahnya pelan, menatap dirinya sendiri di cermin.
“Ini cuma awal,” bisik wanita itu lirih. “Aku akan dapat lebih dari ini. Aku tidak dilahirkan untuk menjadi orang miskin.”
Mata Erika berkilat, bukan karena air mata, melainkan karena tekad. Tekad yang perlahan menelan sisi lembut dirinya yang dulu.
Di kejauhan, ponselnya kembali bergetar.
Kali ini pesan dari Vandra masuk:
‘Yang, malam ini aku ada kerjaan walau untuk sementara. Tapi, aku masih berusaha cari kerja yang layak. Doain ya, Sayang.’
Erika menatap pesan itu lama, lalu mengetik balasan singkat:
‘Iya, Mas. Semangat, ya.’
Setelah menekan tombol kirim, ia menatap layar kosong itu, tersenyum getir.
“Maaf, Mas. Duniaku sudah tak seperti dulu.”
albiru,,lanjut mas lanjutin aja nafas buatanmu 😂