Radella Hafsah dan Delan Pratama memutuskan mengakhiri pernikahan mereka tepat pada satu tahun pernikahan mereka. Pernikahan dari perjodohan kedua orangtua mereka yang tidak bisa ditolak, tapi saat dijalani tidak ada kecocokan sama sekali pada mereka berdua. Alasan yang lain adalah, karena mereka juga memiliki kekasih hati masing-masing.
Namun, saat berpisah keduanya seakan saling mencari kembali seakan mulai terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Lantas, bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah terus berjalan berbeda arah atau malah saling berjalan mendekat dan akhirnya kembali bersama lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AiMila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat Panggilan
Sesuai janji Delan, pria itu sekarang tengah bergerak menuju rumah Radella pagi sekali. Apalagi, tahu keadaan sudah mendung sedari dia membuka mata. Semalam dia berjanji untuk mengantarkan Radella mengambil motornya. Tanpa mengabari Radella, Delan melesat begitu saja sekitar pukul tujuh, sebelum dia berangkat bekerja.
Pria itu juga melewatkan sarapan bersama keluarganya, begitu keluar dari kamar dia sudah rapi dan langsung berpamitan kepada keluarganya. Mengemudi dengan santai, karena jalanan juga masih lumayan lenggang. Sekitar dua puluh menit, dia sampai di rumah Radella.
Memarkirkan mobilnya, lalu turun dan berjalan menuju pintu rumah yang sering dia singgahi sebelumnya. Belum sempat dia memanggil, sosok wanita yang seumuran mamanya kebetulan keluar dan terkejut mendapati siapa yang berdiri di depan pintu. Matanya berbinar senang, begitu pula Delan yang langsung menyalami tangan wanita itu.
"Radella ada, Bun?" tanyanya tersenyum hangat.
"Ada, ayo masuk. Kebetulan Bunda baru selesai masak, kita sarapan bareng. Sudah lama sekali, Kamu tidak sarapan bareng kami!"
Tanpa menunggu balasan Delan, bunda Suci langsung membawa menantunya menuju ruang makan. Di sana sudah ada suami dan dua anak perempuannya, begitu suara bunda Suci terdengar, semuanya menoleh dan terkejut ada sosok lain berdiri di samping bunda Suci. Hanya seperkian detik, ayah dan adik Radella langsung tersadar dan menyambut hangat kedatangan Delan.
Pria itu tidak langsung duduk, menyalami tangan Fatoni seperti tadi menyalami Suci, lalu menyapa singkat Rasyafa yang sudah memasang wajah ceria. Terakhir, dia duduk di kursi samping Radella yang kebetulan kosong. Kursi yang sering dia pakai saat menginap di rumah tersebut saat mereka masih bersama.
"Delan, apa kabar Kamu? Jarang sekali main ke sini sekarang!" Fatoni membuka suara, ini seperti takdir mengirim Delan setelah pagi tadi dibicarakan bersama Radella.
"Baik, Yah. Maaf, Yah, Delan akhir-akhir ini sibuk. Ayah tahu sendiri gimana kantor papa sekarang," jawab Delan sembari tersenyum hangat.
Mereka terlibat percakapan soal pekerjaan, membuat tiga perempuan lainnya merasa jengkel. Terutama, Rasyafa yang sudah ingin sekali menyantap hidangan di meja. Gadis muda itu memberikan isyarat kepada Radella agar menginterupsi dua laki-laki itu segera mengakhiri perbincangannya.
Namun, Radella hanya bergeming karena dia malah merasa kikuk dengan kedatangan Delan yang tiba-tiba. Dia lupa dengan janji Delan semalam, dan sekarang otaknya tengah mengingat tujuan pria itu ke rumahnya. Akan tetapi, bukan itu yang penting, tapi jantungnya yang terus berdetak tidak karuan sejak kehadiran Delan.
Mereka belum sempat bertukar sapa, hanya saling memandang sejenak dengan tersenyum tipis. Selanjutnya, suara sang ayah terdengar dan akhirnya mereka terlibat percakapan yang tidak nyaman didengar karena sama sekali tidak paham apa yang mereka bahas. Radella yang tetap bergeming, membuat Rasyafa mendengus kesal menatap ke arahnya.
"Yah, ayolah. Rasyafa sudah lapar, kenapa Ayah sama bang Delan malah berbicara hal yang membosankan di sini," keluh Rasyafa tidak sabaran.
Dua pria itu menoleh, sang ayah yang menatapnya sedikit tajam karena merasa terganggu. Sedangkan, Delan meminta maaf merasa bersalah tapi dengan cepat dibela oleh Fatoni. Tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap makanannya, sesekali Fatoni tetap mengajak Delan berbicara melanjutkan topik yang terhenti karena interupsi Rasyafa.
Fatoni tidak menyinggung perihal rumah tangga mereka sama sekali, padahal dirinya baru saja mempertanyakan kepada anak sulungnya. Fatoni seakan memberikan waktu agar Delan yang berujar langsung. Bagaimana keadaan rumah tangga mereka, termasuk perpisahan mereka. Namun, sampai selesai, Delan juga tidak membuka suara soal rumah tangganya bersama Radella di hadapan keluarga Radella.
***
"Aku tidak ingat motorku tidak di rumah," ujar Radella membuka percakapan.
Mereka kini berada di mobil Delan, menuju ruko semalam di mana mereka menitipkan motor perempuan itu. Delan juga mengingatkan Radella untuk membawa jas hujan, melihat cuaca sekarang yang sudah mendung sejak pagi. Setelah sarapan mereka selesai, Radella bertanya keperluan Delan dan baru teringat soal motor.
"Iya, karena biasanya di garasi," balas Delan sambil tertawa kecil mendengar lelucon recehannya sendiri.
Radella menoleh, sudut bibirnya berkedut menahan tawa tapi tidak berhasil. Perempuan itu juga ikut tertawa, Delan dan lelucon garingnya tidak pernah berubah, pun dirinya juga yang ikut tertawa meski tidak merasa lucu. Dia tertawa karena melihat reaksi Delan setelah melempar candaan receh tersebut, terlihat malu meski ditutupi dengan tawa pria itu.
"Bakatmu yang itu perlu dilatih lagi," sahut Radella di sela-sela tawanya.
Delan menoleh sebentar, dari dulu Radella selalu meledek dirinya soal leluconnya walau perempuan itu tertawa. Meski begitu, dia malah ikut tersenyum melihat bagaimana Radella tertawa. "Lebih baik seperti itu, kalau aku terlalu lucu nanti para komedian akan terganti denganku," sahutnya malah semakin membuat tawa Radella menguat.
***
"Apa ini yang terbaik?"
Mata Radella menatap nanar sebuah surat undangan yang baru saja dia keluarkan dari amplopnya. Dia baru saja pulang dari belajar di butik tantenya, lalu disambut dengan sebuah surat yang diberikan oleh adiknya. Radella ingat betul, tatapan Rasyafa saat memberikan surat tadi.
Tatapan kekecewaan yang tidak bisa ditutupi, gadis muda itu bahkan tidak mengeluarkan satu kata pun dan langsung melengos pergi saat dirinya menerima. Dirinya bertanya, apa kedua orangtuanya juga tahu surat tersebut. Lantas bergeser, apakah Delan juga menerima ataukah pria itu malah sudah mengetahui lebih dulu.
"Padahal, pagi tadi Kami tertawa senang berdua, apa secepat ini," lirih Radella mengingat kejadian di mobil Delan pagi tadi.
Mereka tertawa lepas, bercerita random yang mengalir begitu saja hingga ke tempat ruko di mana motor Radella berada. Lalu, mereka berpisah menuju tempat masing-masing setelah mengucap perpisahan dengan senyuman manis. Sekarang, surat undangan dari pengadilan sudah sampai di tangannya.
"Ini tidak lucu sama sekali." Radella meletakkan surat tersebut asal di atas mejanya, lalu merebahkan tubuh sambil memeluk guling dengan menutup wajahnya, Radella menangis.
Dia menangis untuk rasa sesak yang semakin menguasai perasaannya. Sejauh dan sekuat dia menyangkal perasaannya, ada bagian terkecilnya yang berbisik kalau dia menyukai Delan. Rasa itu sudah terlambat untuk diakui, mereka sudah sampai di penghujung cerita. Setelah itu, mereka akan kembali sibuk dengan dunia masing-masing.
Tidak ada lagi cerita Delan dan Radella bersama, kisah keseharian mereka yang terkadang konyol dan kekanakan. Tidak ada lagi cerita bermain hujan berdua, cerita kehebatan dalam membuat mie instan dan cerita yang sudah menjadi kenangan lainnya. Buku tentang mereka telah usia, tutup dan berakhir menjadi kenangan manis tapi menyakitkan bagi Radella.
Hanya tinggal beberapa hari lagi, status istri Delan akan berakhir. Lewat panggilan pertama dari pengadilan, mereka mulai berjalan berpisah. Berjalan saling menjauh dan mungkin tidak akan lagi bertemu untuk terlibat sesuatu. Kembali menjadi dua orang asing dengan kenangan yang tercipta begitu banyak.
Sesuai permintaan Delan, Radella juga tidak akan menghadiri sidang agar pelaksanaannya bisa lebih mudah selesai. Keinginan Delan yang begitu terburu-buru ingin berpisah, membuat Radella tahu kalau pria itu tidak memiliki rasa yang sama. Kebersamaan mereka selama satu tahun, mungkin tidak berarti bagi Delan.
Hanya kebersamaan dua orang yang kebetulan dituntut tinggal bersama, melakukan kebiasaan sehari-hari seperti orang pada umumnya. Sedangkan, Radella harus mengalami rasa sakit karena perasaannya sendiri. Padahal, sebelumnya dia yakin kalau mereka tidak akan terlibat perasaan jauh, tapi nyatanya Radella harus mengakui kalah dan terbawa perasaan bersama Delan.