carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Setelah pembicaraan panjang, akhirnya Bu Fitri keluar dari ruangan kepala sekolah dan menemui Dinda.
“Gimana jadinya? Lu keluar dari sekolah atau masih punya kesempatan buat ngajar di sini?” tanya Dinda penasaran.
“Kata kepala sekolah, gua nggak boleh keluar. Gua harus tetap mengajar di sini sebagai guru BK dan juga guru,” jawab Fitri.
“Selamat ya! Gua udah tahu, orang baik kayak lu tuh nggak bakal dikeluarin. Soalnya gua ngerasa lu tuh orang yang paling terdebes, tahu, di sekolah ini.”
“Apaan sih, lu ada-ada aja,” jawab Fitri sambil tersenyum.
Guru-guru lain menghampiri Bu Fitri dengan tatapan sedih dan bingung harus bersikap seperti apa. Namun Bu Fitri tetap tersenyum kepada mereka karena merasa para guru itu tidak bersalah.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu, kenapa kok mukanya pada sedih begitu? Sedih karena saya nggak keluar, atau karena Bu Ana yang keluar?” ujar Fitri sambil bercanda.
“Enggak kok, Bu Fitri. Kami merasa sudah banyak salah sama Ibu. Seharusnya kami nggak melakukan hal seperti itu. Sekali lagi, kami minta maaf ya, Bu,” kata salah satu guru.
Mereka lalu memberi kejutan kecil untuk Bu Fitri. Fitri sama sekali tidak menyangka dirinya disambut dengan hangat seperti itu.
Ternyata, sambutan itu merupakan hasil campur tangan kepala sekolah dan juga yayasan yang dibantu oleh para guru. Dinda yang sudah tahu sebelumnya sengaja tidak memberitahu Fitri karena itu adalah kejutan.
“Lah, kok lu nggak bilang ke gua sih, Din? Kalau tahu ada acara begini, gua pasti pakai baju yang bagus,” ujar Fitri sambil tertawa kecil.
“Ya mau gimana, orang dadakan. Kalau dikasih tahu, nanti lu dandan cantik-cantik dan malah nggak masuk sekolah,” jawab Dinda menggoda.
Fitri hanya mengerutkan dahinya, lalu tersenyum kepada Dinda. Tanpa sadar, ia mendekap Dinda dengan erat.
“Makasih ya, Din, udah jadi temen gua dari kecil sampai sekarang.”
“Iya, sama-sama,” jawab Dinda lembut.
Guru-guru lain yang mendengar bahwa Bu Fitri dan Bu Dinda adalah sahabat sejak kecil sangat terkejut. Pantas saja Bu Dinda tidak pernah menjelek-jelekkan Bu Fitri. Ternyata mereka sudah berteman sejak TK.
“Bu Dinda, memangnya temannya Bu Fitri dari kecil ya?” tanya salah satu guru.
“Iya, Pak. Kami temanan dari TK. Dulu rumah kami bersebelahan, jadi tetangga. Dari situlah kami dekat sampai dewasa. Bahkan kami nggak sadar kalau kami masih sahabatan terus, ya kan, Fit?”
“Iya, Pak, benar. Kami memang bersahabat sejak kecil. Kami sekolah di TK yang sama, lalu sempat berpisah waktu kuliah karena jurusan kami beda. Tapi kami tetap sahabatan, nggak pernah ada masalah apa pun,” jelas Fitri.
Para guru yang mendengar itu merasa tersentuh. Persahabatan mereka ternyata sangat kuat.
Guru-guru lain yang dulu tidak mengenal Bu Fitri dan sempat menjauhinya karena perkataan Bu Ana kini merasa bersalah. Mereka bingung bagaimana menebus kesalahan masa lalu itu.
Padahal, bagi Bu Fitri, memaafkan bukan hal sulit. Ia tahu bahwa para guru hanya termakan omongan orang lain.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu, saya terima kasih banyak, ya. Saya nggak pernah nyimpan dendam sama sekali. Saya tahu, Bapak dan Ibu cuma keikut aja sama omongan Bu Ana. Tapi nggak apa-apa kok,” kata Bu Fitri dengan tulus.
Para guru hanya tersenyum mendengar ucapan itu. Entah kenapa, mereka merasa Bu Fitri adalah sosok guru yang sangat baik.
Kepala sekolah pun merasakan hal yang sama. Ia tahu Bu Fitri adalah guru yang tulus dan berdedikasi. Karena itulah, ia tidak mengizinkan Bu Fitri keluar dari sekolah.
Bu Fitri berharap agar para guru lain bisa lebih merangkul siswa-siswa yang sedang mengalami masalah, baik yang ringan maupun berat. Ia ingin sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi semua murid.
Kebaikan Bu Fitri terhadap Carol juga menjadi contoh yang patut dipuji.
Kepala sekolah menghampiri Bu Fitri dengan senyum hangat.
“Bu Fitri, boleh ke ruangan saya sebentar? Ada yang mau saya bicarakan.”
Bu Fitri langsung merasa deg-degan. Entah kenapa, setiap berdekatan dengan kepala sekolah, ia selalu gugup. Ia tidak pernah berharap dekat dengan kepala sekolah, tapi jika memang dipercaya, ia tidak bisa menolak.
Sesampainya di ruangan, kepala sekolah mempersilakan Fitri duduk.
“Ada apa, Bu, panggil saya?” tanya Fitri sopan.
“Duduk dulu aja, Bu Fitri,” jawab kepala sekolah lembut.
Fitri pun duduk dan menurut. Ia merasa mungkin ada hal penting yang ingin disampaikan.
“Jadi begini,” ujar kepala sekolah, “Ibu tahu kan kalau Carol sedang dikucilkan gara-gara Bu Ana kemarin? Nah, sekarang Ibu jadi wali kelasnya Carol ya. Tapi Ibu tetap jadi guru BK juga. Hanya saja, Ibu perlu membagi waktu antara dua peran itu.”
Fitri terdiam. Ia merasa berat. Ia tidak pernah punya pengalaman menjadi wali kelas dan takut tidak bisa memegang kendali dengan baik.
“Tapi, Bu… bukan saya tidak bersyukur. Saya berterima kasih karena diberi kepercayaan. Hanya saja, saya belum punya pengalaman. Apakah anak-anak akan menerima saya menggantikan posisi Bu Ana?”
“Anak-anak pasti setuju, Bu. Kalau pun ada yang belum bisa menerima, mereka pasti punya alasan. Tapi saya yakin mereka akan menyukai Ibu,” jawab kepala sekolah menenangkan.
Fitri merenung sejenak. Ia masih ragu apakah harus menerima tawaran itu atau tidak.
“Tidak apa-apa, Bu Fitri. Pikirkan dulu saja selama satu minggu. Kalau bisa lebih cepat, bagus. Tapi kalau belum bisa memutuskan, saya anggap Bu Fitri tetap guru BK tanpa menjadi wali kelas Carol,” kata kepala sekolah.
“Baik, Bu. Terima kasih sudah memberi saya kesempatan. Saya akan pikirkan dengan baik, dan saya janji tidak akan mengecewakan,” jawab Fitri mantap.
Kepala sekolah tersenyum. Ia tahu Bu Fitri adalah guru yang profesional dan tidak akan bertindak gegabah.
Setelah keluar dari ruangan, Fitri masih memikirkan tawaran itu. Ia bahkan belum sempat menceritakan apa pun kepada Dinda.
Dinda menghampirinya dengan gaya santai seperti biasa.
“Woi, lu kenapa bengong aja? Abis dari ruangan kepala sekolah kayaknya lu diem banget. Ada apa sih? Serem amat,” goda Dinda.
Sebenarnya Fitri tidak mau menceritakan apa pun, tapi ia bingung harus curhat ke siapa selain Dinda. Ia menatap sahabatnya, sementara Dinda tersenyum tanpa tahu apa arti raut cemas di wajah Fitri.
“Kenapa sih, Fit? Kalau ada apa-apa, bilang aja sama gua. Kalau gua bisa bantu, gua bantu. Kalau nggak bisa, ya maaf, gua juga manusia, ada batasnya,” kata Dinda lembut.
“Menurut lu, kalau tiba-tiba disuruh jadi wali kelas karena sifat gua baik, itu harus diterima atau nggak?” tanya Fitri ragu.
“Lu disuruh jadi wali kelas siapa? Hebat sih! Kalau menurut gua, ambil aja tawaran itu. Kesempatan nggak selalu datang dua kali, Fit. Mungkin itu rezeki lu,” jawab Dinda tanpa sedikit pun rasa iri.
Fitri tersenyum tipis mendengar ucapan sahabatnya itu. Dalam hati, ia merasa beruntung memiliki teman sebaik Dinda.