Ribuan tahun sebelum other storyline dimulai, ada satu pria yang terlalu ganteng untuk dunia ini- secara harfiah.
Rian Andromeda, pria dengan wajah bintang iklan skincare, percaya bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya- kecuali dirinya di cermin.
Sayangnya, hidupnya yang penuh pujian diri sendiri harus berakhir tragis di usia 25 tahun... setelah wajahnya dihantam truk saat sedang selfie di zebra cross.
Tapi kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari absurditas. Bukannya masuk neraka karena dosa narsis, atau surga karena wajahnya yang seperti malaikat, Rian malah terbangun di tempat aneh bernama "Infinity Room"—semacam ruang yang terhubung dengan multiverse.
Dengan modal Six Eyes (yang katanya dari anime favoritnya, Jujutsu Kaisen), Rian diberi tawaran gila: menjelajah dunia-dunia lain sebagai karakter overpowered yang... ya, tetap narsis.
Bersiaplah untuk kisah isekai yang tidak biasa- penuh kekuatan, cewek-cewek, dan monolog dalam cermin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trishaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Rian
Dengan jari-jari cepat, Luis mulai mengatur sistem radiation therapy. Sambil terkekeh, Luis berkata dengan nada menantang, “Adiós, parasit sialan!”
"Enyahlah untuk selamanya," sahut Rian, berdiri tak jauh sambil menggendong Ashley. Matanya tertuju pada Leon yang kini terbaring di ranjang.
Luis kembali tertawa kecil, nada suaranya sinis, “Go to Hell, you disgusting parasite!”
Dengan satu tarikan napas, ia menekan tombol utama. Mesin bergemuruh. Prosedur dimulai.
Sinar intens menyorot tubuh Leon, mengikuti jalur parasit yang tertanam dalam tubuhnya. Seketika itu pula tubuh Leon menegang. Otot-ototnya menolak. Rahangnya mengeras, dan tubuhnya melengkung menahan rasa sakit luar biasa.
Sama seperti Ashley sebelumnya, prosedur ini membakar Plaga langsung ke akarnya, dan seiring itu, rasa sakit menjalar ke seluruh sistem sarafnya.
***
"Hng..." Mata Ashley berkedut pelan. Tangannya terangkat lemah, menyentuh pelipisnya. "Ugh..."
Kelopak mata Ashley terbuka perlahan. Pandangannya masih kabur, bayangan siluet dan cahaya lampu laboratorium terasa menyilaukan. Tapi dalam beberapa detik, segalanya mulai jelas. Sosok pertama yang terlihat adalah seseorang yang ia kenal.
Rian Andromeda.
Dan lebih dari itu, Ashley menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam posisi digendong.
Bukan sembarang cara, tapi digendong seperti seorang putri oleh pria narsis yang tak pernah berhenti memuji dirinya sendiri.
Rian menyadari mata Ashley telah terbuka dan tersenyum tipis.
“Selamat datang kembali di dunia yang kejam tapi penuh kejutan, My Princess,” ucap Rian dengan nada dramatis. “Tidurmu nyenyak, bukan? Jelas saja... siapa yang nggak mimpi indah saat dipeluk laki-laki tampan ini?”
Pipi Ashley langsung memerah. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang mendadak tak terkendali.
“U-um… Rian…” ucap Ashley dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Bisa… bisa turunin aku sekarang?”
Rian mengangkat alis, seolah mempertimbangkan permintaan itu dengan sangat serius. Tapi akhirnya ia tersenyum kecil, lalu menunduk sedikit.
“Kalau itu permintaan langsung dari si manis yang baru sembuh, tentu saja,” ujar Rian lembut, nada suaranya masih mengandung kesan menggoda.
Dengan gerakan hati-hati dan penuh gaya, Rian menurunkan Ashley perlahan hingga kedua kakinya menyentuh lantai dingin laboratorium.
Ashley berdiri tegak, meski sedikit limbung, tapi ia segera menyeimbangkan diri.
“Terima kasih…” gumamnya pelan, masih menahan malu, tapi juga tak bisa menyembunyikan senyum kecil di wajahnya.
Rian hanya menyeringai, matanya setengah terpejam dengan gaya puas. “Tidak perlu berterimakasih. Laki-laki tampan ini selalu siap memeluk si manis ini, kapanpun."
Di sisi ruangan, Luis berdiri bersandar santai pada dinding, tangan kanan memegang sebatang rokok yang belum habis. Matanya menyipit sedikit, menatap interaksi antara Rian dan Ashley dengan ekspresi menghibur.
Terkekeh pelan, Luis berkata, “Hah… kau ini, Amigo. Aku tidak tahu mana yang lebih berbahaya, parasit Plaga atau gombalanmu.”
Luis mengangkat rokok ke bibir, mengisap perlahan di antara jari telunjuk dan tengahnya.
Asap tipis keluar dari sela bibirnya saat Luis menghembuskan dengan gaya tenang khasnya, sebelum menambahkan dengan nada geli: “Kalau kau terus seperti itu, jangan salahkan aku, jika si Princess nanti terkena serangan jantung."
Sementara itu, Leon duduk di tepi ranjang pasien. Tangan kanannya melilit lengan kirinya yang terluka, bekas duel brutal dengan Krauser masih terasa membekas. Meski wajahnya agak lelah, sorot matanya tetap awas.
Matanya melirik ke arah Rian, yang seperti biasa sedang melontarkan rayuan tanpa rasa bersalah pada Ashley yang baru siuman.
Dengan nada datar namun tajam, Leon berujar, "Haruskah aku menambahkan ini ke dalam laporan misi untuk ayahnya? Bahwa putrinya tampaknya tertarik pada salah satu agen... yang cukup narsis?"
Dari balik lensa hitam kacamatanya, Rian menatap Leon dan Luis bergantian, lalu mengangkat bahu seolah itu bukan hal besar.
Dengan nada santai dan suara tenang khasnya, Rian menjawab, "Jika Princess ini sampai terkena serangan jantung karena pesona laki-laki tampan ini, well... setidaknya dia bisa menutup mata dengan senyum."
Rian lalu melirik Leon, masih dengan nada santai namun menggoda, "Dan soal Ayahnya Ashley… jangan dulu dikasih tahu."
"Lebih baik laki-laki tampan ini datang sendiri," Rian menatap Ashley disisinya, tersenyum tipis dan berkata, "Memperkenalkan diri secara resmi… sambil bawa sekotak martabak manis. Lebih sopan, bukan?"
Luis dan Leon secara bersamaan memiringkan kepala sedikit, ekspresi mereka campuran bingung dan tidak yakin apakah mereka harus tertawa atau menghela napas panjang. Mereka juga tidak paham maksud perkataan tentang martabak manis.
Sejenak hening, sebelum akhirnya Luis mengangkat alis, mengisap rokoknya pelan, dan bergumam, "Martabak manis...? Apakah itu sejenis senjata anti bio-weapon terbaru?"
Leon menghela napas, lalu mengusap wajahnya dengan satu tangan. "Aku mulai curiga, kamu bukan agen khusus... tapi pelawak yang tersesat."
Rian hanya menyeringai santai, seolah semua berjalan sesuai rencana. "Well, tertawa itu juga penyembuh, kawan."
Sementara itu, Ashley yang masih berada di sisi Rian, menghela napas pendek, wajahnya memerah karena malu, namun bibirnya menahan senyum kecil yang sulit ditutupi, hingga akhirnya tawa pecah.
Rian melirik ke arah Ashley sejenak, tatapannya berubah serius. Kemudian, ia mengalihkan pandangan ke Luis dan Leon secara bergantian.
“Baiklah... back to business,” ucapnya dengan nada datar namun tegas. “Aku punya rencana. Kalian tertarik untuk mendengar?”
Luis menyelipkan rokok ke ujung bibirnya, Leon hanya mengangguk ringan, dan Ashley menatap Rian dengan rasa ingin tahu. Ketiganya memperlihatkan perhatian penuh.
“Rencana ini masih berdasarkan rencana awal,” lanjut Rian sambil menyesuaikan kacamata hitamnya, “tapi ada sedikit revisi.”
Rian menarik napas pelan, lalu berkata dengan suara mantap, “Aku akan menghadapi Saddler... sendirian. Sementara itu, kalian pergi dari sini. Leon, prioritas misi utamamu adalah keselamatan Ashley, bukan?”
Pandangan Rian lalu beralih ke Luis. Suaranya tetap tegas namun mengandung ketulusan.
“Luis, sesuai kesepakatan awal kita... Meski situasinya agak berbeda dari yang kita bayangkan. Dengar, kau ikut bersama Leon dan Ashley. Jagalah mereka.”
“Amigo, melawan Saddler sendirian?” suara Luis terdengar cemas, matanya menyipit. “Bukankah itu... tindakan gila?”
Leon menyusul dengan nada tegas. “Aku setuju. Meski kau agen spesial, Rian... melawannya sendiri jelas gegabah. Kau tahu artinya itu, kan?”
Rian hanya tersenyum tipis, tenang seperti biasa. “Tentu aku tahu. Tapi memang itu prioritas misiku mengeliminasi Saddler. Dan kalian... bukankah kalian sudah lupa sekuat apa aku sebenarnya?”
Sebetulnya, ucapan Rian soal prioritas utama misinya hanyalah setengah kebenaran, kalimat diplomatis yang dilontarkan agar Leon dan Luis tidak menentangnya.
Kebenaran yang ia simpan sendiri jauh lebih sederhana dan jujur: Rian ingin tahu sejauh mana batas kemampuannya saat ini.
Bukan karena ia maniak bertarung. Tapi Saddler… Saddler adalah lawan yang menarik, jauh lebih menantang daripada Pesanta. Mutasi dominan Plaga dalam tubuh Saddler menjadi tolok ukur yang sempurna untuk menguji kekuatan dan akalnya.
“Jika aku tak bisa mengalahkannya sekarang,” pikir Rian dalam hati, “maka aku tak layak menghadapi musuh-musuh yang lebih gila di masa depan.”
Rian sadar, semakin jauh dirinya melangkah, semakin tidak wajar pula musuh yang akan dihadapi. Tubuh yang regeneratif, kekuatan biologis abnormal, makhluk yang menolak logika manusia. Saddler hanyalah awal.
Meski Rian menyebut ini sebagai ‘pengujian batas,’ bukan berarti ia akan bertarung dengan santai. Justru sebaliknya, Rian tidak berniat untuk lengah sedikit pun.
Dalam pertarungan nanti, Rian akan bertarung seperti hendak mati. Karena satu kelengahan saja, dan Saddler akan benar-benar memastikan ia tak pernah bangkit lagi.
"Kalau bisa, dalam pertarungan nanti wajahku adalah pioritas utama!" gumam Rian dengan nada sangat pelan, tapi serius.
Namun karena pernyataan Rian, keheningan sejenak melingkupi ruangan. Luis dan Leon tak berkata apa-apa, tapi raut wajah mereka jelas teringat kembali.
Mereka masih ingat, bagaimana kemampuan fisik Rian saat bertarung, bagaimana dia berkali-kali mengambil keputusan cepat dan akurat.
Sementara itu, Ashley melangkah pelan mendekat, menyentuh pundak Rian dengan ragu. Mulutnya terbuka, ingin mengatakan sesuatu...
Namun sebelum Ashley bisa bicara, Rian melepaskan trench coat hitamnya, mantel panjang yang biasa ia kenakan, lengkap dengan sebuah walkie talkie di saku kiri dan memakaikannya ke tubuh Ashley.
Karena perbedaan ukuran, mantel itu jelas terlalu besar bagi Ashley. Lengan baju menggantung, bahu terlalu longgar. Tapi Rian tetap membetulkannya perlahan, memastikan alat komunikasinya terpasang tepat.
“Jangan hilangkan itu,” ucap Rian pelan. “Suatu saat nanti, aku akan mengambilnya kembali. Intinya aku akan menemuimu."
Ashley menggigit bibir bawahnya, tak menjawab... namun ekspresinya berkata lebih dari cukup.
"Laki-laki tampan ini cukup peka," ujar Rian dengan nada santai, "Tahu kalau si manis ini sedang khawatir. Tapi tenang saja... daya hidup laki-laki tampan ini sekeras kecoa, tentunya yang versi tampan, bukan jijik."
btw si Rian bisa domain ny gojo juga kah?