Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Awal dari Tekad Baru
Angin sore berembus pelan, membawa bau darah yang menusuk. Langkah-langkah Yanzhi terdengar pelan, berat, saat ia keluar dari aula utama. Matanya menyapu halaman yang kini menjadi ladang kematian.
Tubuh-tubuh itu… mereka semua dulunya tersenyum padanya, menyapanya setiap pagi, memanggil namanya saat latihan. Sekarang, mereka hanya diam… dingin… tak bernyawa.
Yanzhi menelan ludah, lalu mulai bergerak.
Ia mengangkat satu demi satu tubuh korban, menyeret dengan hati-hati, meletakkan mereka berjajar di bawah pohon besar di sisi pelataran. Beberapa masih mengenakan jubah latihan, yang lain bahkan belum sempat menggenggam senjata. Mereka tak pernah siap.
Tangannya gemetar, tapi tak berhenti.
"Maaf… aku terlambat…"
"Kalau aku di sini lebih cepat… mungkin…"
Suara lirih itu hanya untuk dirinya sendiri. Tapi beban dari setiap kata seperti menambah berat tubuhnya yang sudah nyaris runtuh.
Ia menggali tanah dengan sekop kecil yang biasa digunakan untuk merawat taman obat. Tidak ada alat lain. Tidak ada orang lain.
Setiap gundukan tanah yang terbentuk, adalah satu kenangan yang terkubur bersamanya.
Dan ketika ia mengubur anak-anak kecil dari klan mereka, yang sering berlari di halaman, tertawa tanpa beban, ia tak kuasa menahan air mata lagi. Tangisnya pecah, mengguncang dada, mengalir bersama keringat dan debu.
"Maafkan aku… maaf…"
Ia menyebut nama mereka satu per satu, suaranya berat dan penuh penyesalan.
"Yu Lan… Yu Fei… dan kecil Jun… maafkan aku…"
Langit mulai menggelap saat ia menaburkan tanah terakhir. Tangannya kotor, bajunya berlumuran darah dan tanah. Tapi ia berdiri di tengah pusara sederhana itu sendirian.
Suara roh itu muncul lagi. Kali ini lebih pelan, nyaris seperti bisikan.
"Tak semua orang bisa berdiri setelah menyaksikan apa yang kau lihat hari ini…"
Yanzhi tidak menjawab.
Ia menatap langit senja. Matanya merah. Tapi di balik luka dan air mata, mulai tumbuh sesuatu yang baru.
Bukan dendam. Bukan amarah.
Tapi… tekad.
Beberapa hari telah berlalu sejak ia mengubur klannya.
Yanzhi tak tahu lagi harus ke mana. Desa-desa sekitar terlalu kecil, dan ia… terlalu lemah untuk menghadapi musuh yang bahkan tak ia kenali.
Tapi satu hal yang ia tahu: ia tidak bisa diam.
Sesuatu dalam dirinya mengatakan, tidak menuntut bahwa ia harus jadi lebih kuat.
Dan di tengah kebingungannya, ia mendengar kabar: salah satu sekte besar di wilayah utara, Sekte Tianhan, sedang membuka ujian masuk untuk murid baru.
"Ini kesempatan," bisik suara di dalam dirinya. "Kau butuh tempat untuk tumbuh. Dan di sana… kau bisa mulai belajar."
Yanzhi tak berpikir lama. Ia mempersiapkan bekal seadanya, dan meninggalkan reruntuhan bangunan yang dulu ia sebut 'rumah'.
Yanzhi berdiri di gerbang klan, menatap halaman yang dulu sering ia lewati dengan keluhan di hati.
"Tempat ini selalu mengekangku... selalu menyulitkanku..."
"Selalu saja menyuruhku ulang teknik, selalu membandingkanku dengan murid lain… selalu—"
Suara itu patah di tenggorokan. Tak ada lagi siapa pun yang bisa menyuruh, membandingkan, atau meledek. Tak ada lagi yang bisa dia buktikan.
Tak ada lagi suara bising kakak seperguruan yang suka mengganggunya. Tak ada lagi tatapan tajam tetua yang selalu mempermasalahkan teknik latihannya. Tak ada siapa-siapa.
Ia gemetar. "Bahkan… aku belum sempat bilang terima kasih…"
Suara dalam pikirannya terdengar mantap, tapi langkahnya tak langsung bergerak.
Ia melirik ke aula latihan, tempat ia dulu dimarahi karena gagal menguasai teknik dasar. Lalu ke paviliun kecil di sudut halaman, tempat ia dan beberapa adik seperguruan pernah tertawa, meski sering diakhiri debat.
"...Tapi tetap saja, ini rumahku."
Tangannya mengepal di sisi jubahnya. Ia tidak akan menoleh ke belakang lagi, begitu pikirnya. Tapi hatinya diam-diam mencatat tiap detail terakhir yang ia lihat.
Karena entah kenapa… perasaan aneh mulai tumbuh. Seolah, ini adalah perpisahan terakhir.
......................
Perjalanannya tidak mudah. Beberapa malam ia tidur di hutan, kadang harus menghindari binatang buas, kadang diserang bandit. Tapi setiap kali ia nyaris menyerah, suara itu, roh yang hidup di dalam dirinya membimbingnya.
"Sedikit lagi. Kau belum boleh jatuh sekarang."
Namun ada malam-malam tertentu…
Malam yang lebih sunyi dari biasanya.
Malam ketika bau darah dan hawa pembunuh terasa lebih dekat dari embusan angin.
Dan malam itu, ketika langkahnya mulai goyah, saat ia pikir bisa beristirahat sebentar di bawah rindangnya pohon tua, bahaya justru datang tanpa suara.
Hutan sunyi malam itu berubah jadi neraka kecil saat sekelompok bandit mengintai dari balik pepohonan. Yanzhi yang kelelahan nyaris tak sadar ketika satu anak panah melesat ke arahnya.
Tapi sebelum panah itu menancap, tubuhnya bergerak sendiri, cepat, presisi. Dalam sekejap, ia sudah berada di balik pohon, lolos dari bahaya. Nafasnya terengah, tapi pikirannya dipenuhi satu suara yang familiar.
"Kalau kau terus ceroboh seperti ini, kau akan mati sebelum sempat menginjakkan kaki di gerbang sekte."
Yanzhi menggertakkan giginya. "Jadi kau mau bantu aku sekarang?"
"Aku hanya muak melihatmu jatuh seperti semut lumpuh."
Tiba-tiba, matanya memerah. Napasnya berubah berat. Api merah pekat menjalar dari ujung jarinya, merambat ke udara seperti hidup.
"Sekarang minggir."
Tubuh Yanzhi bergerak sendiri. Langkahnya ringan, tapi mematikan. Api menyelimuti tangannya saat ia menerjang keluar dari balik pohon. Bandit pertama tak sempat berteriak sebelum api membakar tubuhnya cepat dan sunyi.
Yang lain panik. Tiga orang menyerbu bersamaan, tapi Yanzhi melompat ke udara, lalu mendarat sambil menghantam tanah dengan telapak tangan. Ledakan api meletus di sekitarnya, membentuk gelombang panas yang menumbangkan mereka.
"Kau lihat? Bahkan binatang liar lebih pintar dari mereka."
"Bisa tidak sekali saja kau tidak sok hebat?"
Yanzhi mendesah dalam pikirannya, tapi ia tahu kendali tubuhnya belum kembali.
Satu bandit mencoba kabur. Tapi api itu seolah punya nyawa sendiri, melesat seperti ular merah dan melilit tubuh si pelarian. Jeritannya menggema di hutan.
"Lemah, lambat, bodoh. Kalau begini, kita tak akan pernah sampai ke sekte."
"Cukup!" Yanzhi berteriak dalam batin. Tubuhnya gemetar. Dengan sisa tekad, ia menarik paksa kesadarannya kembali. Api mereda perlahan. Tubuhnya jatuh berlutut, napas terengah, peluh dan asap mengepul dari kulitnya.
Bandit terakhir lari terbirit-birit ke dalam gelap.
"Jangan seenaknya ambil alih tubuhku," balas Yanzhi tajam. "Tubuh ini milikku, bukan milikmu."
"Tubuh lemah seperti ini? Jangan membuatku tertawa."
Yanzhi mengepalkan tangan. "Kalau memang kau hebat, kenapa tidak keluar saja sendiri dan lawan mereka dengan tubuhmu sendiri?"
"Tch. Kalau bisa, aku sudah melakukannya dari dulu, bodoh."
Keheningan kembali mengisi malam. Tapi di balik perdebatan itu, satu hal jelas, mereka belum menyerah. Dan keduanya, walau saling senggol, diam-diam saling menjaga.
...****************...