NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

**BAB 14: KETIKA TUBUH MENYERAH**

#

Alara bangun dengan kepala yang terasa seperti dipukul palu. Seluruh tubuhnya panas—panas yang membakar dari dalam. Tenggorokannya kering seperti amplas. Penglihatan kabur.

Ia mencoba duduk, tapi ruangan berputar. Perutnya mual, dadanya sesak.

*Demam.*

Tapi bukan demam biasa. Ini demam yang membuat seluruh tubuh gemetar, membuat napas terasa berat, membuat ia bahkan tidak sanggup mengangkat kepala dari bantal.

Jam di meja nakas menunjukkan pukul 7 pagi. Hari Rabu. Seharusnya ia ke kantor.

Alara meraih ponselnya dengan tangan gemetar. Mengetik pesan untuk atasannya dengan susah payah—jemarinya tidak stabil, layar ponsel terasa sangat jauh.

**Alara:** *Pak, saya sakit. Izin tidak masuk hari ini.*

Kirim.

Lalu ponsel jatuh dari tangannya. Terlalu berat untuk dipegang.

Alara menutup mata lagi, tubuhnya menggigil walau selimut sudah menutupinya. Dingin dan panas bergantian menyerang. Kepalanya berdenyut nyeri.

Ia mendengar suara pintu rumah tertutup dari lantai bawah—Nathan berangkat kerja. Seperti biasa, tanpa mengetuk pintu kamarnya, tanpa bertanya kabar.

*Tidak apa-apa. Aku biasa sendirian.*

Tapi kali ini... kali ini tubuhnya benar-benar tidak sanggup.

---

**JAM 10 PAGI**

Bi Sari datang untuk bersih-bersih seperti biasa. Ia mengetuk pintu kamar Alara beberapa kali—tidak ada jawaban.

"Nona Alara?" panggilnya sambil membuka pintu perlahan.

Yang ia lihat membuat jantungnya berhenti sedetik.

Alara terbaring di tempat tidur dengan wajah pucat pasi, bibir kering pecah-pecah, keringat membasahi seluruh tubuh tapi tubuhnya menggigil hebat. Napasnya pendek-pendek, tidak teratur.

"Nona!" Bi Sari berlari mendekat, menyentuh dahi Alara—panas sekali. "Ya ampun, Nona panas tinggi! Kenapa nggak bilang-bilang?!"

Alara membuka mata sedikit—berat sekali. "Bi... aku... aku baik-baik aja..."

"Baik apa?! Nona panas tinggi begini!" Bi Sari panik mengambil termometer dari kotak P3K. Memasukkannya ke mulut Alara.

Beep.

39.8°C.

"Ya Tuhan..." Bi Sari gemetar. "Nona tunggu sebentar, Bi ambil obat dan kompres—"

"Nggak usah..." Alara berusaha duduk tapi gagal. Tubuhnya terlalu lemah. "Aku... aku cuma butuh tidur..."

"Nona harus minum obat! Dan makan dulu—"

"Aku nggak bisa makan, Bi. Mual..." Suara Alara hampir tidak terdengar.

Bi Sari menggigit bibir, bingung harus bagaimana. "Bi hubungi Tuan Nathan ya—"

"Jangan." Alara menggenggam tangan Bi Sari lemah. "Kumohon... jangan ganggu dia. Dia sibuk. Aku... aku nggak mau jadi beban."

"Tapi Nona—"

"Kumohon, Bi."

Bi Sari menatap Alara dengan mata berkaca-kaca. Gadis ini... gadis ini terlalu baik untuk perlakuan yang ia terima.

"Baik," bisik Bi Sari akhirnya. "Tapi Nona harus minum obat dan makan walau sedikit. Oke?"

Alara mengangguk lemah.

Bi Sari turun ke dapur, membuat bubur sederhana dan teh hangat. Membawanya ke atas bersama obat penurun panas.

Tapi Alara hanya sanggup makan tiga sendok sebelum perutnya mual lagi. Obat diminum dengan susah payah—hampir muntah tapi ditahan.

"Nona istirahat ya. Bi di bawah kalau Nona butuh apa-apa," kata Bi Sari sambil menyelimuti Alara.

Alara hanya menutup mata—terlalu lelah untuk menjawab.

---

**JAM 2 SIANG, KANTOR ERLANGGA CORP**

Rian berjalan ke pantry untuk mengambil kopi. Di sana, ia bertemu Kiara yang sedang membuat teh.

"Oh, Rian," sapa Kiara dengan senyum ramah. "Alara nggak masuk hari ini ya? Aku lihat mejanya kosong."

"Iya, dia sakit katanya. Izin lewat chat ke Pak Hendra pagi tadi."

Kiara mengernyit—ekspresi khawatir yang sempurna. "Sakit? Serius? Dia... dia parah nggak?"

"Kurang tahu juga. Dia cuma bilang sakit, nggak jelasin apa."

Kiara terdiam sebentar, jemarinya mengetuk-ketuk cangkir tehnya—seolah berpikir. "Nathan tahu nggak ya? Maksudku... suaminya kan harusnya tahu kalau dia sakit."

Rian mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin tahu."

Tapi Kiara tahu—ia sangat tahu—bahwa Nathan kemungkinan besar tidak tahu. Karena Kiara tahu persis bagaimana dinginnya hubungan mereka. Ia sudah mengamati cukup lama.

"Aku... aku khawatir," kata Kiara pelan, nada bicaranya penuh perhatian. "Alara itu... dia strong di luar tapi rapuh di dalam. Takutnya dia sakit sendirian di rumah..."

"Mungkin ada yang jaga. Pembantu atau siapa gitu."

"Tapi tetap... dia butuh orang terdekat kan? Suaminya..." Kiara berhenti, menatap Rian dengan tatapan penuh perhitungan yang terselubung. "Aku rasa Nathan harus tahu. Tapi... aku nggak punya nomornya. Dan kalau aku tiba-tiba hubungi, nanti aneh."

Rian mengangguk mengerti. "Iya juga sih..."

Kiara tersenyum tipis—senyum yang terlihat tulus. "Tapi aku punya ide. Aku mau jenguk Alara sepulang kerja. Sekalian kasih tahu Nathan kalau dia nggak tahu. Lagian dulu aku sama Nathan... yah, kenal cukup dekat. Jadi nggak terlalu awkward."

"Oh, bagus deh kalau gitu! Alara pasti senang ada yang jenguk."

*Belum tentu*, batin Kiara. Tapi ia tetap tersenyum manis.

"Iya, semoga aja dia cepat sembuh."

---

**JAM 5 SORE, MANSION**

Alara terbangun dengan kepala masih berdenyut. Demamnya tidak turun—bahkan mungkin naik. Seluruh tubuh sakit, seperti dipukuli. Bibir kering sampai berdarah sedikit di sudut.

Ia mencoba meraih botol air di meja nakas—tapi tangannya gemetar terlalu hebat. Botol jatuh, air tumpah ke lantai.

"Sial..." bisik Alara lemah. Ia ingin menangis tapi bahkan air mata terasa berat untuk keluar.

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi dari bawah.

Alara mendengar Bi Sari membuka pintu. Suara percakapan—suara wanita yang familiar.

"Halo, Bi. Saya Kiara, teman Nona Alara dari kantor. Saya dengar Alara sakit, jadi saya mau jenguk."

Jantung Alara—yang sudah lemah—berdegup cemas.

*Kiara. Kenapa dia datang ke sini?*

"Oh, silakan masuk. Nona Alara di kamar atas," jawab Bi Sari.

Suara langkah kaki naik tangga. Semakin dekat. Berhenti di depan pintu kamar Alara.

Ketukan pelan.

"Alara? Aku Kiara. Boleh masuk?"

Alara ingin bilang tidak. Ingin berteriak "pergi!". Tapi suaranya tidak keluar. Tenggorokan terlalu sakit.

Pintu terbuka perlahan.

Kiara masuk dengan membawa buah-buahan dalam keranjang cantik dan senyum penuh perhatian di wajahnya. Tapi begitu melihat Alara—wajah pucat, bibir pecah, tubuh gemetar—ekspresinya berubah jadi khawatir sungguhan.

"Ya ampun, Alara..." Kiara mendekat, meletakkan keranjang di meja. "Kamu... kamu kenapa sampai separah ini?"

Alara tidak menjawab. Hanya menatap Kiara dengan mata sayu—mata yang penuh kecurigaan walau tubuh terlalu lemah untuk melawan.

Kiara duduk di tepi tempat tidur, tangannya terangkat seolah ingin menyentuh dahi Alara tapi berhenti. "Kamu demam tinggi... Nathan tahu nggak?"

Alara menggeleng lemah.

"Kenapa nggak bilang ke dia?" Nada Kiara terdengar prihatin—tapi ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang... perhitungan.

"Dia... sibuk..." Suara Alara parau, serak.

Kiara menghela napas—napas yang terdengar penuh simpati. "Alara... kamu ini... kamu terlalu baik. Kamu sakit separah ini tapi masih mikirin dia sibuk atau nggak? Dia suamimu. Dia harusnya di sini."

"Ini... bukan pernikahan sungguhan. Aku... nggak berhak..." Alara menutup mata—terlalu capek untuk bicara.

Kiara menatap Alara lama. Di benaknya, roda berputar. Ini kesempatan. Kesempatan emas.

"Alara," kata Kiara lembut, "aku tahu kita... kita pernah punya masalah. Aku tahu kamu marah sama aku. Dan aku mengerti. Tapi aku tetap peduli sama kamu. Sebagai... teman, walau kamu nggak anggap aku teman lagi."

Alara membuka mata sedikit—menatap Kiara dengan pandangan lelah.

"Aku mau hubungi Nathan. Kasih tahu dia kamu sakit. Dia harus tahu."

"Jangan..." bisik Alara. "Kumohon... jangan..."

"Alara, kamu butuh dia—"

"Aku nggak butuh!" Alara berusaha bersuara lebih keras tapi yang keluar hanya bisikan serak. "Aku... aku nggak mau dia datang karena kasihan. Aku nggak mau... jadi beban..."

Air mata mulai mengalir—air mata yang panas di pipi yang dingin.

Kiara menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Lalu ia tersenyum tipis—senyum yang samar, hampir tidak terlihat.

"Oke. Aku nggak akan paksa," kata Kiara. "Tapi kalau kamu makin parah dan butuh sesuatu, hubungi aku ya. Aku tinggalin nomorku di Bi Sari."

Alara tidak menjawab. Terlalu lelah.

Kiara berdiri, membenarkan selimut Alara dengan gerakan lembut—gerakan yang terlihat peduli tapi terasa... dingin.

"Cepat sembuh, Alara," bisiknya. Lalu berbalik pergi.

---

**JAM 7 MALAM, KANTOR NATHAN**

Nathan masih di ruang kerjanya—meeting marathon sejak pagi. Ia sedang mereview dokumen ketika ponselnya bergetar.

Pesan dari nomor yang sudah lama tidak menghubungi—tapi nomor yang tidak akan pernah ia hapus.

**Kiara:** *Nathan, aku perlu bicara. Penting. Tentang Alara.*

Jantung Nathan berdegup lebih cepat. Ada yang salah. Ia bisa merasakannya.

Ia menelepon Kiara langsung.

"Halo?" Suara Kiara di seberang—suara yang dulu sangat ia rindukan, sekarang hanya... familiar.

"Ada apa dengan Alara?" tanya Nathan langsung.

"Dia sakit, Nathan. Sakit cukup parah. Aku tadi jenguk dia di rumahmu—demam tinggi, nggak bisa makan, lemah banget. Tapi dia bilang... dia bilang kamu nggak tahu."

Nathan membeku. Degup jantungnya berhenti sedetik.

"Apa?" Suaranya keluar lebih tajam dari yang dimaksud.

"Dia nggak mau aku kasih tahu kamu. Dia bilang... kamu sibuk. Dia nggak mau jadi beban." Kiara berhenti sebentar. "Nathan... dia bahkan nangis waktu aku bilang mau hubungi kamu. Dia... dia kayak takut kamu marah kalau tahu dia sakit."

Sesuatu di dada Nathan remuk. Ia berdiri, mengambil jas dan kunci mobil dengan gerakan tergesa.

"Aku pulang sekarang," katanya cepat.

"Nathan, tunggu—" Kiara mencoba bicara lagi, tapi Nathan sudah menutup telepon.

Ia berlari keluar kantor, tidak peduli sekretarisnya memanggil tentang meeting besok pagi. Tidak peduli dokumen yang belum selesai.

Yang ada di pikiran hanya satu—Alara sakit. Dan ia tidak tahu.

Lagi.

Ia gagal lagi.

---

**JAM 7.45 MALAM, MANSION**

Nathan masuk dengan napas terengah-engah—ia mengebut sepanjang jalan. Bi Sari terlonjak kaget melihat Tuan Nathan pulang secepat ini dan dengan wajah... panik.

"Nona Alara di kamar," kata Bi Sari cepat, seolah tahu apa yang Nathan tanyakan.

Nathan naik tangga dua anak tangga sekaligus. Jantungnya berdebar—bukan karena lelah, tapi karena cemas yang tidak bisa dijelaskan.

Ia berhenti di depan pintu kamar Alara. Tangannya terangkat—lalu ragu.

*Apa yang akan kau katakan? Apa yang akan kau lakukan?*

Tapi ia tidak punya waktu untuk ragu.

Ia membuka pintu perlahan.

Dan apa yang ia lihat membuat dadanya sesak.

Alara terbaring di tempat tidur—kurus, pucat, bibir pecah-pecah, wajah basah oleh keringat dan... air mata. Tubuhnya menggigil walau selimut menutupinya. Napasnya pendek, terdengar berat.

Nathan melangkah masuk—langkahnya goyah. Ia mendekat ke tempat tidur, berlutut di sampingnya.

"Alara..." bisiknya.

Alara membuka mata perlahan—berat sekali. Penglihatannya kabur. Tapi ia mengenali suara itu.

"Nathan...?" Suaranya hampir tidak terdengar.

"Iya. Aku di sini." Nathan menyentuh dahi Alara—panas sekali. Tangannya gemetar. "Kenapa kau nggak bilang? Kenapa kau... kenapa kau diam aja?"

Alara tersenyum tipis—senyum yang paling menyedihkan. "Kamu... sibuk..."

"SIAL DENGAN SIBUK!" Nathan hampir berteriak—tapi suaranya bergetar. "Kau istriku! Walau kontrak, walau apa pun—kau tetap tanggung jawabku! Kenapa kau nggak bilang?!"

Air mata Alara jatuh. "Aku... aku nggak mau jadi beban..."

Kata-kata itu menohok Nathan seperti pisau.

Ia menatap wanita di hadapannya—wanita yang ia abaikan, yang ia sakiti, yang ia buat merasa tidak berharga—sekarang terbaring lemah, masih memikirkan apakah ia jadi beban atau tidak.

Dan Nathan... Nathan menyadari betapa brengseknya ia.

"Kau bukan beban," bisik Nathan, suaranya serak. "Jangan pernah... jangan pernah pikir begitu."

Alara menutup mata—terlalu lelah. Tubuhnya menggigil lagi.

Nathan menarik selimut lebih tinggi, tangannya—untuk pertama kalinya—menyentuh rambut Alara dengan lembut. Mengusapnya pelan.

"Aku di sini," bisiknya—lebih untuk dirinya sendiri. "Aku nggak akan kemana-mana."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Nathan Erlangga tidak meninggalkan Alara sendirian.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 15]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!