NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3. Marius Vecht

Dia berjalan di belakang dengan badan tetap membungkuk, tapi pria itu justru melambatkan langkah, menyejajarkan diri dengannya.

"Marius Vecht … Asisten Residen yang baru," ujarnya dengan mengulurkan tangan.

Pariyem menatap tangan yang terulur itu dengan bingung. Pejabat Belanda berjabat tangan dengan selir Jawa?

"Eh ... Pariyem," jawabnya tanpa berani menyambut uluran tangan itu, dua tangannya mengatup membentuk sembah.

Marius menurunkan tangannya dengan senyum pengertian. "Saya kira rumah ini kosong, hanya ada pelayan. Ternyata Nyonya di sini."

Mereka duduk di pendopo. Pariyem di lantai, Marius di kursi berukir.

"Pantas saat saya diundang untuk acara ... apa namanya... selamatan bayi? Acara setelah tiga puluh enam hari bayi dilahirkan? Anda tidak terlihat di kadipaten," beber Marius sambil menerima gelas teh dari pelayan yang dengan sigap menjamu.

Hati Pariyem mencelos. Berarti mereka sudah menggelar acara selapan untuk putranya. Tanpa dirinya.

"Saya ... saya tidak diundang, Tuan.” Suara Pariyem tetap bergetar meski telah berusaha tegar.

Marius mengerutkan dahi. Mata hijaunya sontak teralihkan pada Pariyem. Antara kasihan, tapi juga penasaran.

"Tapi bukankah Anda ...."

"Saya hanya selir, Tuan. Bukan garwo padmi. Bukan istri sah yang diakui oleh pemerintah kolonial. Hanya dinikahi secara agama."

“Saya tahu,” Marius mengangguk. “Tapi saya melihat istri Tuan Bupati yang lain juga di sana. Bukan istri sah, istri selir juga. Saya kira dia sederajat dengan Anda. Dia putri Kiai Hasan.”

Pariyem sedikit menegakkan leher, tapi tatapan tetap menunduk ke bawah, menatap kosong ke lantai tegel, sorotnya sendu.

“Kami tidak sederajat, Tuan. Dia putri seorang pemuka agama. Selir yang direstui Kanjeng Ibu. Sedangkan saya, saya selir yang tidak diterima Kanjeng Ibu karena hanya anak seorang abdi dalem. Saya selir rendahan, Tuan. Sedangkan putri Kiai Hasan, meskipun bukan ningrat tinggi, tapi beliau dinikahi untuk memperkuat posisi Gusti Bupati, untuk mendapatkan dukungan dari kalangan Islam. Jadi beliau diizinkan tinggal di kadipaten, berbeda dengan saya.”

Marius terdiam sejenak, meski ia tak tahu betul seluk beluk adat di sini, tapi ada iba mendengar penuturan perempuan ini.

"Di negeri saya," ujar Marius perlahan, "setiap ibu berhak melihat anaknya. Tidak peduli status pernikahannya."

Pariyem mendongak, menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Pariyem merasa ... dimengerti.

"Di Jawa tidak begitu, Tuan. Adat adalah adat. Hukum adalah hukum. Bahkan hukum kolonial tak berani mengusik hukum adat."

"Tapi hukum buatan manusia bisa diubah."

Sontak Pariyem mengangkat wajah dengan tatapan berkaca-kaca. Pandangan mereka bertemu, mata hijau yang simpati dan penasaran, dan mata gelap yang terluka.

"Tapi, tidak untuk perempuan seperti saya, Tuan."

Marius meletakkan cangkir tehnya. "Anda pasti sangat merindukannya."

Itu bukan pertanyaan. Pariyem tidak menjawab. Dia hanya menatap lantai pendopo yang mengkilap.

Terdengar suara kereta lain mendekat. Kali ini benar kereta kadipaten. Pariyem mengenali suara kudanya, derak rodanya yang khas.

Soedarsono turun dengan tergesa. Wajahnya langsung berubah saat melihat Marius sudah duduk di pendopo dengan Pariyem di dekatnya.

"Tuan Asisten Residen! Maaf saya terlambat," serunya dalam bahasa Belanda sambil menaiki tangga pendopo.

"Tidak masalah. Nyonya Pariyem sudah menemani saya dengan baik," jawab Marius, juga dalam bahasa Belanda yang tak dimengerti sama sekali oleh Pariyem.

Soedarsono melirik Pariyem dengan pandangan tajam, berkata dalam bahasa Melayu. "Yem, masuk! Kami ada urusan penting."

Pariyem membungkuk patuh, tapi sebelum dia melangkah pergi, Marius berkata dalam bahasa Melayu juga, "Senang berkenalan dengan Anda, Nyonya Pariyem."

Pariyem tak berani menjawab di depan sang suami. Dia mundur sambil berjongkok. Dari balik tirai, Pariyem mengintip dua pria itu berbincang serius.

Sesekali Marius menoleh ke arah tirai, seolah tahu dia ada di sana. Dan anehnya, Pariyem tidak merasa takut. Untuk pertama kalinya sejak kehilangan putranya, ada secercah harapan.

Yang jelas, pria bermata hijau itu telah menanamkan benih sesuatu di hatinya yang kosong. Sesuatu tentang hak seorang ibu.

Pariyem bergegas ke paviliun. Langkahnya tergesa, hati riang. Dia tahu apa yang akan terjadi malam ini.

"Mbok Nah, siapkan air hangat," perintahnya pada pelayan pribadi yang setia melayaninya sejak dia menjadi selir.

Perempuan tua itu mengangguk paham. Tanpa banyak bicara, dia menyiapkan bak mandi dari kayu dengan air hangat yang diberi rempah-rempah wangi. Daun pandan, bunga kenanga, dan melati ditaburkan ke dalam air hingga aromanya menguar memenuhi ruangan.

Pariyem menanggalkan kebaya. Mbok Nah memandikannya dengan telaten. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, digosok dengan batu apung hingga kulitnya bersih mengkilap.

Lulur dari beras dan kunyit dioleskan ke seluruh tubuh, membuat kulitnya cerah, wangi, dan halus. Rambut panjangnya dicuci dengan merang, dibilas dengan air bunga, lalu diberi minyak kelapa hingga berkilau hitam.

"Ndoro pasti rindu," ujar Mbok Nah sambil menyisir rambut Pariyem yang panjang.

Pariyem tidak menjawab. Rindu? Yang dirindukan Soedarsono bukan dirinya. Tapi tubuhnya. Tangannya yang mahir memijat. Tubuhnya yang bisa memberikan kenyamanan. Rahimnya yang subur.

Tak lama, semua persiapan selesai. Kebaya sutera merah muda yang ketat membungkus tubuh, kain batik halus melilit pinggang, sanggul rapi dengan tusuk konde emas berkilau.

Dari arah depan, terdengar suara kereta pergi. Derak roda menjauh, digantikan langkah kaki mendekat. Langkah berat yang khas. Soedarsono.

Mbok Nah mundur dengan teratur, menutup pintu dengan perlahan.

Soedarsono masuk sambil membuka kancing beskap hitamnya. Wajahnya tampak lelah, ada garis-garis baru di dahinya. Jabatan bupati lebih berat dari patih yang sebelumnya dia pegang.

"Ndoro," Pariyem menyambut dengan senyum yang sudah terlatih. Manis tapi tidak berlebihan. Menggoda tapi tetap sopan.

Dia mendekat, membantu melepas beskap dengan sulaman benang emas yang berat itu. Tangannya bergerak hati-hati, sudah hafal setiap kancing, setiap lipatan.

Soedarsono mengusap pipi Pariyem lembut, mengangkat dagunya dengan jari telunjuk. "Kau tambah cantik setelah melahirkan, Yem."

Pariyem tersenyum, kepercayaan dirinya sedikit meningkat.

"Aku rindu pijatanmu," lanjut Soedarsono sambil melepas sabuk keris. "Sebulan terakhir ini sibuk sekali. Pertemuan dengan beberapa pejabat Belanda, upacara adat, meninjau pembangunan jalan. Ke Batavia. Sampai tak sempat menengokmu."

“Tidak apa, Ndoro. Saya senang melihat Ndoro akhirnya resmi menjadi bupati.”

Pariyem membantu melepaskan segala atribut kebesaran sang suami dengan telaten. Kancing emas, peniti emas, jam rantai dari Swiss.

"Banyak yang harus diurus, Yem," keluh Soedarsono sambil duduk di kursi. "Belanda minta laporan ini itu. Rakyat minta keringanan pajak. Para priyayi minta jabatan untuk anak-anaknya. Kepala pusing rasanya."

Pariyem tidak berkomentar. Dia tidak mengerti apa yang dibicarakan tuannya tentang pajak dan jabatan. Dia hanya menjadi pendengar yang baik, mengangguk di saat yang tepat, bergumam pelan tanda mengerti.

(Jangan lupa like, komen dan beri ulasan, ya Teman-Teman. Semakin sedikit komen dan like, saya anggap cerita tidak menarik dan akan cepat tamat.)

1
SENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
SENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
SENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!