Mei Lan, seorang gadis cantik dan berbakat, telah hidup dalam bayang-bayang saudari kembarnya yang selalu menjadi favorit orang tua mereka. Perlakuan pilih kasih ini membuat Mei Lan merasa tidak berharga dan putus asa. Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia mengorbankan dirinya dalam sebuah kecelakaan bus untuk menyelamatkan penumpang lain. Bukannya menuju alam baka, Mei Lan malah terlempar ke zaman kuno dan menjadi putri kesayangan di keluarga tersebut.
Di zaman kuno, Mei Lan menemukan kehidupan baru sebagai putri yang disayang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah gelang peninggalan kakeknya yang memiliki ruang ajaib. Apa yang akan dilakukan Mei Lan? Yuk kita ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba di Kekaisaran Giok Surgawi
Keesokan paginya, setelah sarapan, mereka semua bersiap meninggalkan penginapan sederhana itu. Di halaman penginapan, kereta kuda keluarga sudah menunggu.
Wei dan Dao masing-masing naik kuda di sisi kiri dan kanan, sementara Mei, Nyonya Rong, dan Chen duduk di dalam kereta.
Chen memandang takjub interior kereta yang sederhana namun bersih. “A-Mei, ini tempat duduknya empuk sekali!” katanya sambil menepuk bantal dudukan.
Mei terkekeh kecil. “Kau belum pernah naik kereta, ya?”
Chen menggeleng cepat. “Belum. Dulu Chen cuma jalan kaki atau bawa barang.”
“Sekarang kau tidak perlu lagi melakukan itu,” kata Mei lembut. “Kau bersamaku, jadi istirahatlah.”
Chen menatapnya sebentar, lalu tersenyum polos. “A-Mei baik sekali.”
Kereta pun mulai bergerak perlahan, meninggalkan penginapan sederhana itu. Suara roda kayu beradu dengan jalan berbatu, sementara angin pagi menyapu lembut wajah mereka.
Namun belum lama berjalan, tiba-tiba suara Wei terdengar dari luar. “Berhenti dulu!” serunya sambil menarik tali kudanya.
Kereta langsung melambat, lalu berhenti.
Mei membuka tirai jendela. “Ada apa, Kak Wei?”
Wei menoleh ke arah kereta. “Di depan, warga desa berkumpul. Sepertinya ada sesuatu.”
Dao yang di sisi kanan menambahkan, “Mungkin ada keributan. Kita tunggu dulu.”
Kereta berhenti sejenak, dari jendela, Mei bisa melihat sekilas kerumunan orang yang berdesakan di depan jalan utama. Suara bisik-bisik terdengar.
Tak lama, Wei memberi isyarat agar kereta jalan pelan. Mereka mulai melewati kerumunan itu.
Mei menoleh ke arah luar, dan pandangannya seketika membeku. Rumah besar di tepi jalan rumah milik sepasang suami istri yang kemarin menyiksa Chen kini hancur sebagian. Pintu depannya terbakar gosong, dan di depan halaman, dua tubuh ditutupi kain putih.
Bisik-bisik warga terdengar jelas di antara keramaian.
“Katanya dirampok tengah malam.”
“Benarkah? Tapi anehnya, tidak ada barang yang hilang.”
“Benar. Mereka hanya tewas begitu saja. Seperti diserang sesuatu.”
Mei terpaku, tubuhnya terasa dingin sesaat. Ia menatap Chen yang duduk di sebelahnya. Pemuda itu bersandar di pundaknya, tampak tertidur pulas. Nafasnya teratur, wajahnya damai, bahkan sesekali bergumam kecil dalam tidur.
Mei menatapnya lama. Sebagian dirinya ingin percaya bahwa ini hanya kebetulan, tapi ada sesuatu di dalam hatinya yang bergetar pelan perrasaan tidak yakin yang ia coba redam.
Ia menutup tirai perlahan dan menarik napas dalam. Tidak mungkin! Itu bukan perbuatan Chen. Dia bersama kami semalaman. Ini pasti hanya kebetulan.
Wei dari luar memanggil. “Semuanya baik di dalam?”
Mei tersadar dan menjawab cepat, “Ya, lanjutkan saja, Kak.”
Kereta pun kembali berjalan, meninggalkan kerumunan dan rumah yang hancur di belakang mereka.
Di dalam kereta, suasana kembali tenang. Hanya suara roda yang berputar di jalan berbatu. Chen masih tertidur di pundak Mei, sementara mata Mei menerawang kosong menatap ke depan.
*
*
Perjalanan panjang akhirnya membawa mereka keluar dari pegunungan dan lembah-lembah hijau. Setelah tiga hari penuh debu dan jalan berbatu, kereta kuda keluarga Mei kini melintasi jalan besar menuju ibukota Kekaisaran Giok Surgawi.
Meski di perjalanan, mereka beberapa kali dihadang oleh bandit gunung. Tapi mereka tetap bisa mengatasinya.
Udara pagi terasa segar, dari jendela kereta, Mei membuka tirai dan menatap ke luar dengan mata berbinar.
“Indah sekali,” gumamnya pelan.
Di luar tampak pemandangan yang benar-benar berbeda dari desa kecil yang mereka tinggalkan. Gerbang batu raksasa menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan burung phoenix yang megah.
Jalanan lebar dipenuhi orang pedagang yang menarik gerobak, bangsawan dengan kereta berhias emas, bahkan beberapa pasukan kaisar yang sedang berpatroli.
Chen yang duduk di sebelah Mei menatap ke luar jendela dengan mulut sedikit terbuka. “A-Mei banyak sekali orang,” katanya kagum.
Mei tersenyum kecil. “Itu karena ini ibukota, Chen. Semua orang dari penjuru negeri datang ke sini. Ada yang berdagang, ada juga yang ingin masuk ke akademi kekaisaran.”
Chen mengangguk serius, lalu bertanya polos, “Akademi itu tempat A-Mei belajar jadi kuat?”
Mei menatapnya dan tersenyum lembut. “Iya. Aku akan belajar keras di sana.”
Chen menatapnya dengan mata jernih. “Kalau A-Mei kuat, Chen juga mau kuat. Biar bisa lindungi A-Mei.”
Ucapan itu membuat Mei terdiam sesaat. Ia tersenyum samar, tidak menanggapi, tapi hatinya terasa hangat.
Di luar, Wei yang menunggang kuda memberi isyarat untuk memperlambat laju. Suara penjaga gerbang terdengar lantang. “Semua kereta yang masuk wajib menunjukkan identitas dan membayar pajak kota!”
Kereta pun berhenti tepat di depan gerbang besar.
Wei turun dari kudanya, lalu menyerahkan sekantong koin emas dan sebuah giok identitas keluarga kepada salah satu prajurit. “Keluarga dari selatan, kami datang untuk pendaftaran akademi.”
Prajurit itu menerima dan memeriksa giok identitas dengan teliti. Beberapa penjaga lain mendekat untuk melihat isi kereta.
Salah satu dari mereka, seorang prajurit muda, melangkah ke pintu kereta dan mengetuk pelan. “Maaf, kami hanya perlu memeriksa siapa yang ada di dalam.”
Mei yang ada di dalam kereta menatap Chen sekilas sebelum menjawab, “Silakan.”
Pintu kereta perlahan dibuka. Begitu prajurit itu melihat ke dalam, matanya langsung membesar. Ia tertegun, seolah lupa bernapas.
Cahaya pagi menyorot wajah Mei yang lembut dan cantik. Kulitnya halus, matanya jernih, dan ada aura tenang namun kuat yang memancar darinya.
Prajurit itu mematung beberapa detik terlalu lama.
Tiba-tiba, suara datar namun tajam terdengar di samping Mei. “Jangan lihat A-Mei.”
Nada itu dingin, begitu dingin hingga membuat udara di dalam kereta terasa beku sesaat.
Prajurit itu tersentak dan menunduk cepat, wajahnya memerah. “M–maaf, Nona! Saya tidak bermaksud!” katanya gugup, lalu buru-buru menutup pintu kereta dan kembali ke posnya.
Dari luar, Wei menahan tawa kecil melihat kepanikan prajurit itu, sementara Dao hanya menggeleng pelan. “Chen benar-benar cepat bereaksi,” gumamnya.
Tak lama, para penjaga selesai memeriksa identitas dan memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan. “Anda sekeluarga boleh masuk. Selamat datang di Ibukota Kekaisaran Giok Surgawi.”
Kereta kembali berjalan perlahan melewati gerbang besar itu.
Di dalam, suasana sedikit hening. Mei duduk tegak, tapi dari sudut matanya, ia bisa melihat Chen yang kini bersandar di kursi, wajahnya masih terlihat dingin.
“Chen,” panggil Mei lembut. “Ada apa denganmu?”
Chen menoleh, masih dengan ekspresi tak puas, tapi begitu tatapannya bertemu dengan mata Mei, wajahnya langsung berubah. Dingin yang tadi terpancar, kini hilang digantikan ekspresi masam seperti anak kecil yang sedang ngambek.
“Chen tidak suka,” katanya pelan.
Mei mengangkat alis. “Tidak suka apa?”
“Pria itu.” Chen memalingkan wajah. “Dia menatap A-Mei terlalu lama.”
Mei menatapnya, lalu menahan tawa. “Kau cemburu, ya?” godanya.
Chen langsung menatapnya, matanya membulat. “Iya, Chen cemburu! Chen tidak suka.”
Mei terlihat terdiam sesaat, dia terkejut mendengar ucapan Chen. Tapi dia hanya menanggapi biasa, sama seperti Rong yang hanya terkekeh kecil.
Mei tersenyum lembut, lalu mengusap kepala Chen pelan. “Baiklah, kalau begitu mulai sekarang, kau jaga A-Mei, supaya tidak ada yang berani menatapku lagi, hmm?”
Chen langsung menegakkan tubuhnya, ekspresi muramnya berubah semangat. “Baik! Chen janji!”
Mei tertawa kecil melihat perubahan drastis itu.
ksiham ya knp si mei lan sllu di bully apa slah mei lan.coba