NovelToon NovelToon
ACADEMY ANIMERS

ACADEMY ANIMERS

Status: tamat
Genre:Akademi Sihir / Fantasi Isekai / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi / Tamat
Popularitas:203
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

👑 Academy Animers, sekolah elit untuk pelajar berkekuatan unik dan bermasalah mental, dijaga Kristal Kehidupan di Crown City. Dipimpin Royal Indra Aragoto, akademi berubah jadi arena Battle Royale brutal karena ambisi dan penyimpangan mental. Indra dan idealis (Akihisa, Miku, Evelia) berjuang mengembalikan misi akademi. Di lima kota inti, di bawah Araya Yamada, ketamakan dan penyalahgunaan kekuatan Kristal merusak moral. Obsesi kekuatan mendorong mereka menuju kehancuran tak terhindarkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

After Day

Di Akademi Sakura, kelas teori bertarung yang diajar oleh Royal Indra Aragoto seringkali menjadi area uji kesabaran. Pagi itu, Indra melangkah masuk ke ruang kelas pria. Ruangan itu tampak sunyi, sebuah ketenangan yang terasa palsu.

Tepat saat Indra melewati ambang pintu, sebuah penghapus papan tulis terbang cepat ke arahnya. Penghapus itu, yang diperkuat dengan sedikit energi angin, seharusnya mampu mengenai sasaran.

Namun, Indra hanya menghela napas. Tanpa menggerakkan kepala, ia mengaktifkan perisai es kecil di samping telinganya. Ctek! Penghapus itu membentur es dan jatuh tak berdaya ke lantai.

"Selamat pagi," sapa Indra dengan suara datar, matanya menyapu seluruh ruangan. Aura es yang dipancarkannya seketika meredakan sisa-sisa bisik-bisik di kelas.

Seorang murid di barisan belakang tertawa keras. "Wah, gagal lagi! Perisai Es Guardian itu terlalu cepat, Pangeran!"

Indra mengabaikan komentar itu dan berjalan ke podium. "Ambil kembali penghapus itu," katanya pelan, menunjuk ke lantai. "Dan duduk. Hari ini kita membahas tentang Strategi Konsentrasi saat menghadapi ancaman Iblis bersayap yang lolos dari perimeter."

Seorang murid di barisan depan, yang dikenal sangat vokal, langsung menyela. "Tuan, bukankah teori itu membosankan? Lebih baik kita langsung praktek di Battle Arena! Nina-sensei lebih seru!"

Indra menatap murid itu dengan tatapan dingin. "Jika kau tidak menguasai teori, praktekmu hanya akan menjadi upaya bunuh diri yang bodoh. Nina-sensei mengajarkan eksekusi, aku mengajarkan mengapa kau harus mengeksekusinya."

Murid lain mendengus. "Tapi Sensei, kekuatanmu luar biasa. Kenapa kami tidak diajari langsung jurus-jurus seperti Dread Chase milikmu itu?"

"Kekuatan Guardian tidak bisa diajarkan, ia bangkit dari takdir," jawab Indra, nadanya sedikit meninggi. "Yang bisa kuajarkan adalah pengendalian elemen dan tenaga yang ada pada dirimu. Sekarang, buka buku kalian halaman tiga puluh tujuh. Siapa pun yang melempar benda lain lagi, akan kupastikan kalian berlatih di luar shelter pertahanan selama satu jam." Ancaman Indra, meskipun tenang, selalu efektif. Kelas itu pun terpaksa membuka buku mereka.

Melanjutkan sesi yang tegang itu, Indra berdiri menyandar ke podium, matanya memantau setiap gerakan. Ia tahu kebosanan adalah musuh terburuknya di kelas ini.

Seorang murid, mengangkat tangannya. "Sensei, tapi apa gunanya kita belajar teori elemen jika kita hanya bisa mengendalikan satu elemen? Kami melihat di berita, yang hebat itu adalah mereka yang menguasai banyak elemen."

"Itu adalah kesalahan fatal dalam pemikiran," balas Indra, suaranya tenang namun mengandung ketegasan mutlak. "Menguasai sepuluh elemen secara dangkal tidak lebih baik daripada menguasai satu elemen secara sempurna. Fokus. Pahami kelemahan dan keunggulan elemenmu. Itu adalah inti dari strategi."

Murid lain di belakang berbisik, tetapi bisikannya cukup keras terdengar, "Dia kan cuma punya satu elemen, makanya bilang begitu."

Indra menyipitkan mata, aura dingin Guardian itu kembali menusuk. "Siapa yang berbisik? Berdiri."

Murid yang berbisik itu, seorang pemuda yang biasanya suka mencari masalah, segera berdiri dengan wajah sedikit pucat.

"Ambil jaketmu. Aku ingin kau melakukan simulasi pertarungan melawan drone level tiga di Arena. Sekarang juga," perintah Indra. "Dan kau akan menggunakan elemen tunggal yang kau kuasai. Tanpa strategi, tanpa pengendalian emosi, hanya kekuatan murni. Mari kita lihat hasilnya."

Wajah pemuda itu langsung berubah pucat pasi. Drone level tiga di Arena dikenal sangat agresif. "Tapi, Sensei... itu terlalu berbahaya! Level tiga..."

"Tugasmu adalah membuktikan bahwa teori dan pengendalian itu tidak penting," potong Indra dengan dingin. "Pergi. Dan sisanya, lanjutkan membaca. Bab ini akan keluar dalam ujian praktek lusa." Pemuda itu, dengan langkah lunglai, segera keluar ruangan, sementara kelas yang tadinya rusuh kini terdiam dalam ketegangan. Mereka tahu, ketika Indra marah, ia tidak main-main.

.

.

.

.

.

.

.

.

Langkah pemuda yang dipaksa Indra untuk menghadapi drone level tiga itu terasa berat saat ia memasuki Battle Arena. Di sana, Nina Yamada, yang mengenakan pakaian latihannya, berdiri mengawasi sesi latihan yang sedang berlangsung. Ia melihat kedatangan Indra dan muridnya itu dengan ekspresi lelah.

Nina, dengan senyum tipis yang menyimpan lelah, menghela napas saat Indra menunjuk ke konsol aktivasi drone. "Sudah kuduga. Ini sudah kesekian kalinya Indra membawa muridnya ke sini dengan alasan 'praktek akibat gagal teori'," gumam Nina, sambil menyilangkan tangannya.

Indra, yang kini bersikap formal sebagai pembimbing, mengangguk. "Dia perlu bukti fisik bahwa pemikiran sembarangan akan berujung bencana, Nina. Dia meremehkan strategi."

"Tentu saja," balas Nina, memandang murid yang kini tampak gentar. "Aku akan memprogramkan drone-nya. Pastikan kau mengawasi tenaganya, Indra. Dia masih mentah." Nina kemudian berjalan ke konsol, jemarinya lincah memprogram simulasi serangan.

Murid itu menelan ludah. "Nina-sensei, apakah drone Level Tiga benar-benar perlu? Bisakah kita mulai dari Level Satu saja?" pintanya, suaranya bergetar.

Nina menoleh, ekspresinya tegas. "Di medan perang, kau tidak bisa memilih level demon yang akan menyerangmu. Kau hanya punya satu pilihan: bertarung atau mati. Level Tiga adalah Level minimum untuk demon yang lolos dari outer perimeter."

Setelah drone Level Tiga — sebuah robot terbang berbentuk seperti siluet iblis — diaktifkan, murid itu langsung menyerang dengan elemen tunggalnya, tanpa memikirkan pola serangan balik drone. Hanya dalam beberapa detik, murid itu terpojok, dan drone itu melepaskan serangan balik yang cepat.

Tepat saat drone akan melancarkan serangan kritis yang bisa mencederainya, Indra maju selangkah, dan dengan kecepatan Guardian, ia menembakkan satu pancaran es yang terfokus, membekukan drone Level Tiga itu di udara.

"Ini yang terjadi ketika kau hanya mengandalkan kekuatan murni tanpa strategi dan kontrol emosi. Kau akan menjadi korban pertama," kata Indra dengan suara datar, menarik kembali muridnya yang kini tersungkur dan bernapas terengah-engah. "Kembali ke kelasku. Kau punya pekerjaan rumah tambahan: tulis sepuluh strategi yang bisa kau gunakan melawan drone Level Tiga ini."

Nina hanya bisa menghela napas panjang saat Indra melangkah pergi, diikuti oleh murid yang kini berjalan lemas, memegang buku tebal dengan wajah menyesal. Nina hanya menggelengkan kepalanya, senyum kecil terukir di bibirnya.

"Itu sudah yang kelima kalinya minggu ini," gumam Nina pelan. "Dia seharusnya menjadi guru teori, bukan instruktur lapangan dadakan."

Tepat saat itu, Kizana yang baru saja menyelesaikan sesi latihan kendo dengan beberapa murid lain, mendekatinya. Wajahnya yang setia tampak penasaran.

"Nina-chan, apa yang terjadi?" tanya Kizana, sambil menyeka keringat di pelipisnya. "Kenapa Pangeran Indra terlihat sangat marah tadi? Dan kenapa murid itu sampai tersungkur?"

Nina menyandarkan bahunya ke dinding arena, menatap kepergian Indra. "Hanya urusan biasa, Kizana. Murid itu meremehkan teori dan berpikir dia bisa mengandalkan kekuatan murni."

"Oh, lagi?" Kizana terkekeh. "Kau tahu, dia benar-benar mirip Raja Railord dalam hal kemarahan, tapi cara mengajarnya benar-benar seperti Ratu Nia Sayaka. Dingin tapi efektif."

"Persis," setuju Nina. "Indra tidak akan membiarkan kebodohan merajalela. Dia tahu, di luar sana, kebodohan berarti kematian. Dia menganggap ini semua sangat serius."

Kizana mengangguk. "Itu bagus. Kami butuh itu. Meskipun dia terkadang terlalu dingin, aku lebih suka cara dia mengajar daripada guru teori sebelumnya. Dia membuat mereka mengerti konsekuensi nyata."

"Ya, dan aku yang harus membersihkan kekacauan di Arena setiap kali dia membawa mereka ke sini," balas Nina, meskipun nadanya tidak benar-benar mengeluh. "Ayo, bantu aku mengatur ulang drone ini. Aku yakin sebentar lagi dia akan membawa murid lain yang 'tidak sopan' ke sini."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Suasana di ruang kelas perempuan, yang diajar oleh Evelia Namida, sangat kontras dengan kelas Indra. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma bunga yang menenangkan, dan cahaya lembut masuk melalui jendela besar. Evelia duduk di tepi meja, dengan senyum ramah yang selalu terukir di wajahnya.

Evelia mengajari muridnya dengan lembut dan asik, membuat suasana kelas terasa nyaman dan terbuka. Hari itu, topiknya adalah Sistem Pertahanan Spiritual Kuno.

"Baiklah, sebelum kita membahas tentang Soul Barrier Kuno, ada yang bisa memberitahu Ibu, mengapa pengendalian diri itu penting dalam sejarah Kitsune?" tanya Evelia, suaranya lembut dan mengundang.

Seorang murid, mengangkat tangannya dengan antusias. "Ibu, karena tanpa pengendalian, kekuatan spiritual kita akan lepas kendali dan justru bisa menghancurkan diri kita sendiri dan orang di sekitar kita, seperti yang terjadi pada beberapa leluhur di masa lalu!"

"Tepat sekali," puji Evelia. "Kekuatan tidak pernah menjadi masalah; pengendalian atas kekuatan itulah yang menentukan segalanya. Itulah mengapa kita harus tenang. Kekuatan spiritual berasal dari ketenangan batin."

Murid lain menyela. "Tapi Ibu, bagaimana jika kita merasa sangat marah atau sedih? Seperti yang terjadi pada Pangeran Indra..."

Evelia mengangguk perlahan, wajahnya menunjukkan sedikit kesedihan. "Itu pertanyaan yang bagus. Kita semua pernah merasakan duka, terutama setelah tragedi yang lalu. Tapi duka dan amarah adalah energi yang tidak stabil. Sejarah mencatat, banyak pejuang kuat yang kalah bukan karena kurangnya kekuatan, tapi karena gagal mengendalikan duka mereka."

"Jadi, cara terbaik untuk menghormati mereka yang pergi adalah dengan menstabilkan energi kita, bukan dengan membiarkan amarah menguasai? Karena amarah akan membuat kita ceroboh, seperti yang selalu dikatakan Nina-sensei?" tanya murid lainnya.

"Tepat sekali, Sayang," jawab Evelia, tersenyum lembut. "Ambillah waktu sejenak. Tutup mata kalian. Rasakan energi spiritual di dada kalian. Itu adalah fondasi kalian. Biarkan energi itu menjadi tenang, selembut bulu Kitsune yang halus." Seluruh kelas memejamkan mata, mengikuti instruksi Evelia. Mereka tahu, pelajaran sejarah dan spiritual dari Evelia adalah kunci untuk menjaga batin mereka tetap utuh di dunia yang kejam ini.

Evelia dan murid-muridnya masih dalam posisi meditasi ringan, menikmati ketenangan yang damai, ketika ketenangan itu tiba-tiba terpecah oleh suara langkah kaki yang sangat teratur dan suara omelan bernada dingin.

Langkah kaki itu semakin mendekat ke lorong di luar kelas mereka. Evelia perlahan membuka matanya, dan senyum lembutnya berubah menjadi geli. Murid-muridnya juga ikut membuka mata.

Dari balik pintu kaca kelas, terlihat Indra berjalan lurus dan kaku, memimpin seorang murid laki-laki yang berjalan di sampingnya dengan wajah sangat menderita. Murid itu memanggul tumpukan buku yang tingginya hampir menutupi wajahnya, dan Indra berjalan di sebelahnya dengan tangan bersedekap, aura esnya tampak memancarkan rasa 'tidak sabar'.

"Lihat! Itu Pangeran Indra!" bisik seorang murid perempuan di kelas Evelia, menahan tawa.

"Psst! Jangan keras-keras!" balas murid di sebelahnya.

Indra dan muridnya itu berjalan melewati lorong di depan kelas. Murid yang membawa buku itu tersandung pelan, membuat tumpukan buku di tangannya bergoyang berbahaya.

"Hati-hati," desis Indra, suaranya terdengar dingin, tetapi ada jeda yang menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar ingin buku-buku itu jatuh. "Jika satu saja buku itu jatuh, kau harus menulis ringkasan sepuluh bab tambahan."

"Ya, Tuan! Saya mengerti, Tuan!" jawab murid itu, suaranya nyaris menangis karena ketakutan.

Evelia harus menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tawa. "Astaga, cara Pangeran Indra mendisiplinkan muridnya selalu... unik," gumam Evelia.

Seorang murid di kelas Evelia bertanya, "Ibu, apakah itu yang dimaksud Nina-sensei dengan 'eksekusi yang efektif'?"

Evelia terkekeh pelan. "Kurang lebih. Itu adalah cara Pangeran Indra mengajarkan pentingnya 'pengendalian beban' dan 'fokus' secara langsung. Sekarang, mari kita lanjutkan meditasi kita sebelum Tuan Pangeran Es itu memutuskan untuk memberi kita tugas tambahan juga." Seluruh kelas terkikik, dan suasana tegang yang dibawa Indra langsung larut oleh gelak tawa.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kelas vokal Miku terasa tidak kalah nyamannya dengan kelas Evelia, meskipun tujuannya berbeda. Ruangan musik kedap suara itu dipenuhi dengan cahaya alami dan instrumen, serta dipenuhi oleh murid laki-laki dan perempuan. Miku, duduk di depan piano putih, tersenyum hangat.

"Baiklah, semuanya," sapa Miku, suaranya jernih dan menenangkan. "Hari ini kita tidak akan langsung menyanyi. Kita akan fokus pada resonansi energi."

Seorang murid laki-laki mengangkat tangan. "Sensei, apakah resonansi energi ini sama dengan mengendalikan chi? Kedengarannya terlalu mistis."

Miku tertawa pelan. "Hampir sama, tapi lebih praktis. Saat kalian bertarung, napas kalian akan terengah-engah dan emosi kalian tidak stabil. Vokal bukan hanya tentang nada; ia tentang mengarahkan energi yang terdistribusi secara liar dalam tubuh kalian, ke satu titik fokus."

Seorang murid perempuan menimpali, "Seperti yang dikatakan Pangeran Indra, tentang fokus satu elemen?"

"Tepat sekali! Indra-sensei mengajarkan fokus pada elemen bertarung, Ibu mengajarkan fokus pada elemen diri," jawab Miku. "Coba kalian pejamkan mata. Tarik napas panjang. Rasakan udara mengisi paru-paru kalian, lalu rasakan energi kalian. Sekarang, perlahan, keluarkan suara 'HAAAAA' yang sangat panjang dan stabil."

Seluruh kelas mengikuti instruksi itu. Suara 'HAAAA' mulai terdengar, dari yang bergetar hingga yang stabil. Miku berjalan di antara mereka, mendengarkan setiap nada dan resonansi energi.

Miku mengangguk. "Bagus. Saat kalian bisa mempertahankan satu nada, kalian bisa mempertahankan kendali diri. Saat kalian dihadapkan pada ketakutan atau kemarahan, kalian bisa menggunakan teknik vokal ini untuk menstabilkan detak jantung dan emosi. Ini adalah perisai paling lembut, namun paling penting, yang kalian miliki."

Miku kemudian duduk kembali di depan piano, mulai memainkan melodi yang lembut. "Nah, sekarang kita akan coba dengan nada yang sedikit lebih tinggi. Bayangkan kalian sedang berada di tempat paling damai di Sakura Flurry..." Suasana kelas Miku pun kembali diliputi ketenangan yang dipandu oleh alunan musik dan ajaran tentang pengendalian batin.

Dari koridor Akademi, suara melodi menenangkan dari kelas vokal Miku terdengar samar-samar. Namun, suasana di Perpustakaan terasa jauh lebih tenang. Di sini, di antara rak-rak buku kuno dan modern, Akihisa bersemayam.

Akihisa duduk santai di meja pengawas, tangannya menopang dagu, matanya mengawasi beberapa murid yang serius membaca. Meskipun ia seorang Shape-Shifter yang kuat, di sinilah ia merasa paling nyaman—jauh dari urusan tempur.

Seorang murid laki-laki mendekat, membawa setumpuk buku yang tebal. "Sensei, aku sudah selesai membaca buku tentang Sihir Pengikat Dimensi. Tapi aku tidak mengerti satu bagian tentang cara kerja Kristal Kehidupan."

Akihisa tersenyum malas. "Oh, yang itu? Itu memang bagian yang paling membosankan, Nak. Kristal Kehidupan itu seperti charger baterai raksasa bagi seluruh Kerajaan. Intinya: Jangan pernah biarkan Amon menyentuhnya," jelas Akihisa dengan gaya bicara yang sangat disederhanakan.

Murid perempuan lain yang sedang membaca di dekat situ menyela sambil tertawa. "Sensei selalu bisa membuat topik paling rumit menjadi sangat mudah. Tapi kenapa Sensei tidak mengajar di Battle Arena saja? Bukankah kekuatan Sensei sangat cepat?"

Akihisa menggeleng dramatis. "Astaga, Nak, jangan pernah katakan kata 'pertarungan' di dalam surga kedamaian ini," ujar Akihisa, menyentuh rak buku seolah-olah rak itu adalah benda keramat. "Tubuh ini terlalu berharga untuk dihantam dan dipukul. Aku adalah guru perpustakaan; tugasku adalah melindungi buku, bukan membuat tubuhku lecet."

"Tapi katanya Sensei pernah menghancurkan Shape-Shifter terkuat di masa lalu?" tantang murid yang tadi.

"Itu adalah kesalahan di masa muda, Nak. Sekarang aku lebih suka menghancurkan kebodohan di kepala kalian dengan informasi," balas Akihisa sambil mengedipkan mata, membuat kedua murid itu tertawa. Akihisa memang cukup mudah diajak bercanda oleh para murid, dan mereka tahu, meskipun ia terlihat sangat malas bertarung, di balik sikap santainya, ia adalah sumber pengetahuan yang tak ternilai. Perpustakaan, berkat Akihisa, menjadi tempat yang nyaman dan penuh tawa ringan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di balik dinding baja ruang server utama Akademi Sakura, tersembunyi sebuah ruangan komando rahasia. Di sanalah Nuita Elysion dan Araya Yamada bertemu, jauh dari pandangan para murid dan staf pengajar lain. Layar-layar hologram di ruangan itu memproyeksikan data intelijen dan pola energi Kerajaan.

Nuita, Kepala Akademi, menyandarkan diri pada konsol. "Sudah tiga bulan sejak aktivitas anomali terakhir di outer perimeter."

Araya, yang berdiri di depan peta tiga dimensi Sakura Flurry, menyilangkan tangan. Wajahnya yang dingin tampak serius. "Ya. Keadaan ini mengkhawatirkan, Nuita. Tidak ada pergerakan, tidak ada sinyal residual energy yang signifikan. Ini bukan Amon."

"Tepat," balas Nuita, mengetuk meja konsol. "Amon adalah entitas yang arogan. Setelah janji terakhirnya untuk kembali, ketenangan ini terasa seperti tipuan. Kita sudah meningkatkan sistem deteksi sepuluh kali lipat, dan tetap nihil."

Araya menoleh, matanya memancarkan kecurigaan. "Itu berarti dia telah mengubah strateginya, atau dia menemukan cara yang jauh lebih efektif untuk menyembunyikan dirinya. Atau dia sedang mempersiapkan sesuatu yang skalanya jauh lebih besar daripada serangan pertama."

"Kemungkinan ketiga sangat tinggi," Nuita menghela napas. "Kita sudah memasang Quantum Sensor di setiap titik yang pernah menunjukkan anomali celah dimensi. Kita hanya bisa menunggu. Tapi aku tidak suka menunggu."

"Tidak ada yang suka menunggu, Nuita. Tapi kita harus berpegangan pada rencana," kata Araya. "Pastikan sistem pertahanan Akademi dan kota tidak ada celah. Fokus utama kita sekarang adalah pelatihan generasi baru. Saat Amon kembali, mereka harus siap menghadapi perang sungguhan."

Nuita mengangguk. "Aku tahu. Aku hanya berharap kita punya waktu yang cukup sebelum dia muncul kembali. Kerajaan ini tidak akan bertahan dari serangan kedua dengan biaya yang sama."

.

.

.

.

.

.

.

Di tengah proyeksi data intelijen, Nuita mengalihkan fokusnya dari peta ancaman dan menatap Araya.

"Bagaimana dengan Amanda-sama? Apakah beliau juga merasakan ketenangan yang mengganggu ini?" tanya Nuita, menyebut pemimpin Kerajaan dengan hormat.

Araya menyilangkan tangannya lebih erat. "Ibuku... ia selalu waspada. Dia mengerti permainan ini lebih baik dari siapa pun di sini, selain mungkin kau. Dia adalah saudari kembar dari Ratu Nia Sayaka; dia tahu harga dari kelengahan."

"Aku tahu beliau hebat. Tapi dia memikul beban seluruh Kerajaan sekarang, sendirian," ujar Nuita, sedikit menunjukkan kekhawatiran. "Aku harap, dengan fokusnya pada administrasi dan pemulihan, beliau tidak mengabaikan deep scan yang kita kirimkan. Ada laporan aneh tentang pola energi di Pegunungan Shirayuki yang terus berfluktuasi."

Araya menatap layar yang menampilkan data fluktuasi energi. "Dia tidak akan. Ibuku tahu, Raja Railord dan Ratu Nia Sayaka tidak akan mati sia-sia. Setiap keputusan yang ia ambil didasari oleh janji untuk melindungi Kerajaan ini."

"Aku hanya berharap beliau juga waspada terhadap jebakan psikologis ini," kata Nuita, menggeser data di layar. "Ketenangan adalah racun bagi pertahanan."

"Ketenangan adalah senjata, jika kau tahu cara menggunakannya. Ibuku mengajarkan itu. Dia akan menjaga Kerajaan dengan caranya, dan kita akan menjaga Akademi ini," balas Araya, kembali menatap peta hologram. "Fokus. Kita punya murid-murid untuk disiapkan, dan kita tidak akan mengecewakan yang gugur."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di halaman depan Akademi Sakura, di bawah rimbunnya pohon sakura yang sedang mekar penuh, sebuah pemandangan menarik perhatian banyak murid.

Di antara seragam hitam-putih para murid, menonjol sesosok pria berambut putih bersih, mengenakan pakaian formal serba putih yang sangat rapi. Pria itu berjalan perlahan, pupil oranye miliknya yang memikat tampak memancarkan ketenangan dan daya tarik yang luar biasa.

Saat pria itu berjalan menuju gerbang utama, banyak murid Akademi yang tadinya sibuk beraktivitas, mengalihkan pandangan dan mulai berbisik-bisik.

"Lihat pria itu. Siapa dia? Dia bukan guru baru, kan? Aura dia aneh," bisik seorang murid perempuan kepada temannya.

"Entahlah, tapi dia terlihat seperti bangsawan dari cerita lama. Dan matanya... sangat memikat," balas temannya, wajahnya bersemu merah.

Pria berambut putih itu berhenti sejenak, mengamati gerbang Akademi. Ia tersenyum tipis—senyum yang terasa sangat ramah, tetapi di bawahnya tersimpan makna yang tak terduga.

Seorang murid laki-laki, yang berani, memberanikan diri mendekat. "Permisi, Tuan. Apakah Anda mencari seseorang di Akademi ini?"

Pria itu menoleh perlahan. Suaranya halus dan tenang, seperti musik. "Aku datang untuk melihat sendiri. Akademi yang hebat, tempat di mana para pahlawan baru berkumpul."

"Anda terdengar tahu banyak tentang kami," kata murid itu, merasa sedikit curiga namun juga terpesona.

Pria berambut putih itu tertawa kecil. "Tentu saja. Aku tahu segalanya tentang tempat ini. Aku hanya ingin memastikan, apakah bibit-bibit Guardian dan Kitsune yang baru dibina ini sudah siap untuk panen."

Kalimat terakhirnya itu, meskipun diucapkan dengan nada ramah, mengandung getaran dingin yang membuat murid itu seketika merinding. Pria itu melanjutkan langkahnya, memikat banyak murid Akademi dengan penampilannya, tetapi menyisakan ketidaknyamanan yang mendalam bagi siapa pun yang berbicara dengannya.

.

.

.

.

.

.

Di atap gedung tertinggi Akademi Sakura, tersembunyi dari pandangan, seorang wanita berdiri tegak. Ia mengenakan seragam OSIS yang sama dengan Liini, berpakaian formal serba hitam dan membawa katana bersarung di tangannya. Matanya yang berwarna perak menatap tajam ke arah halaman depan, di mana pria berambut putih itu masih menjadi pusat perhatian.

Wanita itu mengawasi pria tersebut dengan ekspresi tenangnya, meskipun ada sedikit kerutan di dahinya yang menunjukkan kecurigaan. Aura yang aneh, pikirnya. Terlalu tenang, terlalu berlimpah.

Tiba-tiba, suara lembut memecah keheningan di atap itu. "Mengamati lagi, ya?"

Wanita itu tidak terkejut. Ia menoleh sedikit ke samping, di mana seorang gadis dengan seragam OSIS yang sama mendekat.

"Ya," jawabnya. "Ada sesuatu yang salah dengan pria di bawah sana. Dia... terlalu menarik perhatian."

"Itu karena dia tampan, tentu saja," canda temannya. "Dia memikat semua murid perempuan, bahkan beberapa murid laki-laki juga. Dia terlihat seperti model."

Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Bukan itu. Energinya. Terlalu padat, terlalu terkontrol. Dia bukan orang biasa."

"Kau selalu serius, Shiera," balas temannya dengan suara yang lembut dan tenang.

"Aku di sini untuk menjaga keamanan, bukan untuk menikmati pemandangan," jawab Shiera, nama wanita itu.

Temannya mengikuti pandangan Shiera ke halaman. "Mungkin dia adalah guru baru yang dikirim oleh Kerajaan? Kelihatannya dia akan mengajar di sini, Shiera-chan."

Shiera kembali menatap pria itu, ekspresinya semakin dalam. "Kau pikir begitu?"

"Tentu saja! Siapa lagi yang berani masuk gerbang Akademi dengan pakaian seformal itu? Lagipula, kau tahu kan? Liini-san, Ketua OSIS, selalu mencari guru baru untuk mengisi posisi yang kosong di kelas teori sihir. Aku berani menebak jika pria itu akan menjadi guru di sini."

Shiera memejamkan mata sesaat, lalu membukanya lagi. "Baiklah. Jika dia guru, itu berarti dia di bawah yurisdiksi Akademi. Tapi jika dia bukan, tugas kita adalah mencari tahu mengapa dia ada di sini. Tetap awasi dia."

"Siap, Kapten Serius!" canda temannya lagi.

.

.

.

.

Shiera mengangguk pada temannya, yang kemudian beranjak untuk melanjutkan tugas OSIS-nya. Shiera tetap di atap, kini sendirian lagi, membiarkan angin membawa aroma bunga sakura. Ia kembali memandang gerbang Akademi, namun pandangannya kini jauh lebih jauh, ke dalam kompleks gedung.

Shiera bergumam pelan, suaranya hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Pria baru itu memang mencurigakan, tapi ada yang lebih rumit dari sekadar ancaman di gerbang."

Ia memejamkan mata sesaat. Pikirannya melayang pada sosok Royal Indra Aragoto, guru pembimbing kelas laki-laki. Shiera tahu, sebagai murid perempuan, ia tidak pernah memiliki mata pelajaran langsung di kelas Indra-sensei, tetapi ia telah menghabiskan waktu berjam-jam mengamati gaya mengajarnya dari balik koridor dan merekam setiap detail pertarungannya di Battle Arena.

"Dia tidak pernah tahu seberapa sering aku mengawasinya," bisik Shiera. "Ketenangannya, kekuatan esnya yang dingin... ada ketegasan yang mempesona di balik duka itu."

Shiera mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia memiliki obsesi yang kuat terhadap sosok Indra-sensei. Obsesi itu bukan hanya tentang kekaguman sebagai murid, tetapi sesuatu yang jauh lebih pribadi dan terpendam.

Namun, ia adalah seorang pengamat yang rasional. Ia telah melihat bagaimana Indra dan Evelia saling mendukung di tengah bencana dan duka yang mendalam. "Aku telah melihat mereka," lanjut Shiera dalam hati. "Mereka saling melengkapi. Indra membutuhkan cahaya lembut Evelia, dan Evelia membutuhkan fondasi dingin Indra. Mereka adalah pasangan ideal yang tak terbantahkan."

Sebuah rasa perih muncul di dada Shiera. Ia sangat ingin menjadi bagian dari itu, menjadi kekuatan di samping sosok yang ia kagumi. Menjadi sosok yang mampu ia percaya sepenuhnya. Tetapi ia tahu posisinya.

Shiera merahasiakannya—perasaan dan obsesinya yang mendalam. Ia tidak pernah berpikir untuk menyingkirkan Evelia dari sisi Indra. Ia adalah Guardian, dan Evelia adalah Kitsune yang menopangnya. Shiera hanya bisa berdiri dari jauh, mengamati, dan diam-diam memastikan bahwa tidak ada yang mengganggu keseimbangan rapuh di antara mereka.

Shiera menghela napas, memaksa dirinya menarik kembali pikiran dari hal-hal yang bersifat pribadi. Ia harus kembali ke tugasnya: menjaga keamanan Akademi. Ia mengalihkan pandangannya sekali lagi ke halaman depan. Pria berambut putih itu kini berdiri di dekat air mancur, masih menarik perhatian para murid.

Shiera kembali ke fokus utamanya. Ia mengamati pria itu lagi, mengaktifkan kemampuan analisis energi yang dilatihnya. Ia merasakan adanya dua lapisan energi yang berbenturan secara halus dalam aura pria tersebut.

Shiera melepas genggaman pada Katana dan seketika Katananya menghilang lalu bergumam pelan, menganalisis temuan spiritualnya. "Siapa sebenarnya dia?"

"Auranya... bersih, murni, memancarkan kedamaian yang terasa asing di dunia kita," bisik Shiera. "Seperti aura malaikat, jika memang makhluk itu ada."

Namun, di bawah lapisan cahaya yang memikat itu, terdapat sesuatu yang membuat alarm bahaya di hatinya berbunyi nyaring. "Tapi... ada lapisan kegelapan yang sangat dalam, terkontrol, dan tersembunyi. Bukan kegelapan Iblis, tapi sesuatu yang lebih tua, lebih licik."

Ia memfokuskan pandangannya pada pupil oranye pria itu. "Dia menyembunyikan sesuatu. Kunjungan ini bukan sekadar kunjungan. Dia bukan guru. Dia adalah predator."

Shiera menarik napas dalam-dalam, tangannya secara refleks memegang gagang katana-nya. "Aku harus segera melaporkan ini kepada Kepala Akademi. Tapi... apa yang harus aku katakan? Bahwa seorang pria yang terlihat terlalu baik memiliki aura terlalu gelap? Itu tidak cukup."

Ia memutuskan untuk tidak meninggalkan posnya. Ia akan mengamati setiap gerak-gerik pria itu. Tugasnya kini ganda: menjaga gerbang Akademi, dan menguak identitas tamu misterius yang membawa aura malaikat sekaligus kegelapan itu.

1
Dòng sông/suối đen
Susah move on
IND: betul 😭😭
total 1 replies
Kaylin
Bagus banget, sarat makna dan emosi, teruskan thor!
IND: akan ada lanjutannya Shirayuki Sakura judul nya nanti
total 1 replies
Dzakwan Dzakwan
Duh, seru euy! 🥳
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!