NovelToon NovelToon
BAYANG MASA LALU KELUARGA

BAYANG MASA LALU KELUARGA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: biancacaca

Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PART 10

### **Beberapa Jam Setelah Aetherlock Runtuh**

Malam tidak sunyi.

Ia hanya kehabisan kata.

Tiga bersaudara berdiri di garis air, di tempat di mana laut mencium daratan tanpa pernah benar-benar bertemu. Puing Aetherlock masih jatuh perlahan di belakang mereka seperti salju besi.

Tak ada senyum kemenangan.

Tak ada selebrasi.

Karena kemenangan bagi keluarga Arselion bukan soal *menang*…

tapi tentang **masih berdiri.**

Draven duduk agak jauh, membuang cup mie kosongnya ke kantong, bukan karena ia peduli kebersihan, tapi karena ia terlalu malas melihat sampah berserakan.

Haku menghilang di balik asap, tapi kehadirannya masih menggantung, seperti janji yang belum ditagih.

 

### **Keretakan Pertama**

Najla adalah yang pertama menyadarinya.

Awalnya hanya denyut kecil di ujung jarinya—getaran halus yang tidak sakit, tapi *asing*. Seperti ada sesuatu di balik kulit yang mengetuk dari dalam.

Dia menyembunyikannya.

Karena Najla tahu…

Di keluarga mereka, **kekhawatiran lebih berat dari luka.**

Tapi Kaelan memperhatikan.

Bukan dari tangan Najla.

Melainkan dari cara realitas di sekelilingnya *gampang menyerah* setiap dia lewat—angin mengalah, cahaya menyingkir, kemungkinan membungkuk.

“Lu mulai ngerasa dunia terlalu lunak sama lo, ya?” katanya pelan.

Najla mengangkat bahu, pura-pura biasa.

“Kayaknya emang dunia suka sama gue.”

Tapi Kaelan tidak tertawa.

Karena dia hidup cukup lama untuk tahu:

**kalau semesta mulai nurut sama seseorang… biasanya dia lagi ditagih harga.**

 

### **Arlen juga berubah, tapi lebih rapi**

Kalau Kaelan retak seperti tanah gempa,

Najla seperti pintu yang hampir terbuka,

maka Arlen berbeda.

Dia… *memadat.*

Auranya makin berat, langkahnya makin sunyi, emosinya bukan hilang, tapi turun ke tempat yang lebih dalam. Seperti magma yang memutuskan diam bukan berarti padam.

Saat dia menoleh pada adik-adiknya, matanya tidak menyala.

Mereka **menggelap.**

Bukan karena marah.

Tapi karena dia mulai paham: **ada perang yang tidak menyisakan pilihan untuk siapa pun yang dia sayang.**

Dan itu lebih menakutkan dari amarah.

 

### **Draven bicara, meski tidak diminta**

“Council gak cuma bikin senjata,” katanya sambil menyandarkan kepala ke reruntuhan baja, “mereka bikin pintu.”

Najla menoleh.

“Pintu ke mana?”

Draven menutup mata.

“Ke *sesuatu* yang dulu mereka pikir bisa dikendalikan. Lalu mereka belajar, sebagian hal gak bisa disuruh. Cuma bisa dilepas.”

Angin lewat.

Kaelan menyimpulkan duluan, suaranya rendah:

“Najla pintunya.”

Tidak ada bantahan.

Tidak ada kejut.

Karena di lubuk hati, mereka sudah tahu sejak lama…

Najla bukan yang *paling berbahaya saat memegang senjata*,

dia paling berbahaya saat **realitas sendiri mengaku kalah padanya.**

Kaelan mendongak ke malam.

“Lu pikir kenapa Council gak bunuh orang tua kita?” katanya.

Najla menahan napas.

“Karena Ayah sama Ibu bukan sandera,” Kaelan lanjut.

“Mereka… segel.”

Draven membuka mata.

“Gerbang Ascendant gak dikunci oleh mesin. Itu dikunci oleh 2 manusia yang menolak mati.”

Arlen bertanya untuk pertama kalinya sejak ledakan:

“Kalau segelnya dibuka…”

Tidak perlu dilanjutkan.

Najla merasakan jawabannya menjalar di punggungnya.

Kalau Ayah dan Ibu dilepaskan, berarti gerbang terbuka.

Jika gerbang terbuka, dunia tidak akan jadi milik manusia lagi.

Maka dulu…

mereka **tidak dikubur**,

mereka **ditahan agar pintu tetap tertutup**.

Bukan sebagai hukuman.

Tapi sebagai jarak aman antara dunia… dan sesuatu yang lain.

Kaelan berdiri, mengibaskan pasir dari celananya.

“Lu semua layak tau soal Haku.”

Arlen tidak menyela. Najla tidak berkedip.

“Dulu,” Kaelan mulai, “sebelum kita pake nama Arselion sebagai beban dan kebanggaan…”

“…kita berempat disebut **Anak Tungku**.”

Najla:

“Empat?”

Kaelan mengangguk.

“Gue. Arlen. Haku. Dan satu lagi—Anak pertama yang gak pernah diceritain.”

Draven menyeringai kecil, seolah sudah menunggu bagian ini.

“Haku bukan musuh dari awal,” Kaelan melanjutkan.

“Dia saudara seperjuangan kita sebelum Council nyeret dia dan bilang keluarga itu kelemahan.”

Hening jatuh.

“Waktu itu gue gagal narik dia keluar.”

Kaelan menatap cakrawala.

“Sekarang dia datang nagih.”

Bukan dendam.

Bukan benci.

Haku hanya mewakili satu pertanyaan:

**Kalau dunia memaksa memilih antara keluarga dan tujuan… kau akan membakar yang mana?**

 

### **Najla Berdiri**

Perlahan. Tenang.

Tapi pasir di bawah kakinya retak tipis, padahal angin tidak kencang, dia tidak menghentak.

Dia cuma berdiri.

“Kalau pintu itu gue,” katanya, suaranya ringan, tapi menggores,

“berarti gue juga yang bisa nutup lagi.”

Kaelan menatap adiknya—gak bangga, gak takut.

Hanya sedih setipis kertas.

“Pintu selalu bisa nutup sendiri,” katanya.

“Masalahnya… apa yang harus lu korbankan biar pintu itu mau nutup?”

Najla tidak menjawab.

Karena dia tahu:

**pertanyaan itu bukan soal apakah dia sanggup…**

tapi *apakah kakaknya sanggup lihat dia melakukannya.*

 

### **Malam itu selesai tanpa keputusan**

Tidak ada janji.

Tidak ada sumpah.

Hanya arah baru yang dibangun tanpa disepakati:

Selamatkan orang tua → berarti buka pintu.

Tutup pintu → berarti kehilangan mereka.

Lawan Haku → berarti lawan versi mereka sendiri.

Lindungi Najla → berarti melawan takdir itu sendiri.

Tidak ada jalan yang benar.

Hanya jalan yang **dipilih untuk ditanggung bersama.**

Angin terakhir lewat membawa garam laut dan sisa besi.

Kaelan berbicara tanpa menoleh:

“Kalau nanti kita harus bakar dunia biar keluarga tetap hidup…”

Najla menyambung:

“…kita pastiin itu dunia yang pantas dibakar.”

Arlen, paling akhir, paling pelan, paling mutlak:

“Tidak ada Arselion yang berjalan sendirian.”

Hujan turun tanpa petir malam itu.

Tidak menderu, tidak dramatis—hanya deras, konsisten, seperti dunia yang sedang mencuci dosa-dosa yang belum selesai.

kaelan berdiri di pintu gudang bawah tanah, menatap ke dalam ruangan tempat Arlen duduk sendirian.

Lampu neon di atasnya berkedip, membuat wajah Arlen terlihat seperti patung yang retak: dingin, diam, tapi menyimpan ribuan patahan emosi.

Ia sedang membersihkan pedang lipat hitamnya.

Gerakannya halus, otomatis, seperti ia melakukan itu lebih sering daripada bernapas.

kaelan melangkah masuk.

“Lo kepikiran Najla.”

Tidak bertanya. Pernyataan.

Arlen tidak menoleh.

“Tugas selesai. Itu doang yang penting.”

“Kalo itu yang penting, lo nggak bakal duduk di sini jam 3 pagi sambil ngelamun kayak veteran perang.”

Akhirnya mata Arlen naik.

Datar, tapi di dalamnya… bergemuruh.

“Gue bukan ngelamun.”

“Lo takut.”

Sunyi.

Kata itu jatuh seperti palu yang dipukul keras di besi panas.

Arlen berdiri pelan, pedangnya menutup dengan *klik* yang tajam.

“Takut? Gue udah bunuh rasa itu dari lama.”

kaelan tersenyum kecil, pahit.

“Bohong. Yang mati dari lo itu bukan rasa takut… tapi kemampuan lo buat nunjukin.”

Kalimat itu menghantam lebih kuat dari peluru.

Arlen memalingkan wajah, tapi tidak bicara.

kaelan mendekat, suaranya turun, berat dan jujur.

“Kita bukan lahir dari keluarga yang normal, Len. Kita diciptakan buat jadi senjata. Tapi Najla… dia bukan besi seperti kita.”

Kalimat menggantung.

Arlen menggenggam meja di sampingnya, pelan tapi kuat. Kayu itu retak sedikit.

“Justru karena itu dia harus dijauhkan dari kita.”

“Lo pikir ngejauh itu cara terbaik buat jagain dia?”

Tatapan Arlen tajam, membara.

“Gue pernah gagal jagain seseorang. Satu aja udah bikin gue hampir rubuh. Jangan suruh gue gagal buat kedua kalinya.”

kaelan terdiam.

Mereka berdua tahu…

ini bukan sekadar bicara soal Najla.

Ini bicara tentang hantu masa lalu yang masih tidur di belakang kelopak mata Arlen.

 

### **Sementara itu, di lantai atas**

Najla tidak tidur.

Ia berdiri di lorong, memegang jaket hitam Arlen yang belum sempat ia kembalikan. Jaket itu dingin, masih beraroma hujan dan mesiu.

Di balik pintu basah gudang bawah, ia mendengar semuanya.

Setiap kata.

Setiap retakan suara.

Setiap kepingan luka yang Arlen sembunyikan.

Dan untuk pertama kali…

Najla sadar.

Abangnya bukan tidak peduli.

Abangnya hanya **tidak tahu cara mencintai tanpa merasa bersalah**.

 

### **Keesokan paginya**

Matahari baru naik ketika Arlen keluar dari gudang. Rambutnya sedikit basah oleh embun, wajahnya kembali dingin seperti biasanya.

Ia berhenti saat melihat Najla duduk di tangga, masih pakai hoodie kebesaran, memeluk lutut.

“Kenapa di sini?” tanya Arlen.

Najla mengangkat kepala.

Mata mereka bertemu.

Lama.

Lalu Najla bangkit, berjalan ke arahnya, dan tanpa bicara—

Ia menyerahkan jaket hitam itu.

Arlen tidak langsung mengambil.

“Lo nggak perlu denger itu semua,” katanya rendah.

Najla tersenyum kecil. Bukan senyum bahagia. Tapi senyum mengerti.

“Justru karena aku denger, aku bisa bilang ini…”

Ia menatap Arlen, tidak goyah, tidak ragu.

**“Kakak nggak gagal. Kakak cuma kelelahan jadi kuat sendirian.”**

Angin pagi lewat, membawa sisa hujan semalam.

Dan untuk pertama kali dalam bertahun-tahun…

Arlen tidak punya jawaban.

 

1
아미 😼💜
semangat update nya thor
Freyaaaa
🤩🤩🤩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!