Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3. HANCUR
Keheningan setelah pintu itu tertutup terasa begitu mencekik. Lucia masih duduk terpaku, matanya menatap kosong ke arah pintu seakan menunggu Samuel kembali masuk dan mengatakan semua yang terjadi hanyalah lelucon kejam yang disebabkan kelelahan atau kesalahpahaman. Namun menit demi menit berlalu, dan suara langkah kaki Samuel kian menjauh, meninggalkan kehancuran yang tak bisa dipulihkan.
Air mata Lucia mengalir deras, membasahi gaun satin berwarna gading yang dikenakannya malam itu. Kedua tangannya yang gemetar berusaha menahan tubuhnya agar tidak roboh, namun dadanya terasa sesak. Rasa sakit itu menekan begitu kuat, membuatnya hampir sulit bernapas.
"Tidak mungkin ... ini tidak mungkin," gumam Lucia berulang kali, seperti seseorang yang memaksa dirinya percaya pada kebohongan agar tidak tenggelam dalam lautan keputusasaan.
Namun kenyataan sudah berdiri telanjang di hadapannya: Samuel tidak pernah mencintainya.
Ingatan tentang senyum Samuel kembali menyeruak, namun kali ini terasa seperti racun.
Bagaimana mungkin kau tidak menyadari semua tanda? Bagaimana mungkin kau membiarkan dirinya begitu buta oleh cinta? rutuk Lucia pada dirinya sendiri.
Lucia teringat pada momen ketika Samuel menyentuh wajahnya dengan lembut di balkon rumah mereka, berkata, "Aku beruntung memilikimu. Kau adalah hadiah yang tak ternilai."
Kata-kata itu kini terdengar seperti ejekan.
Apakah semua pelukan, semua kecupan lembut di kening, semua janji yang dibisikkan di tengah malam hanyalah topeng untuk menutupi niat busuknya?
Lucia menunduk, suaranya pecah di antara tangisnya. "Kenapa kau melakukan ini padaku, Sam?!"
Dan jawabannya sudah jelas, terngiang begitu tajam dari ucapan Samuel: Ya. Aku tidak pernah mencintaimu.
Tangis Lucia menggema di dalam apartemen, penuh rasa sakit dan kehancuran.
Lucia bangkit perlahan dari sofa seakan berusaha meraih kenyataan dalam tangisnya, langkahnya terhuyung, tubuhnya terasa rapuh. Ia berjalan ke meja samping di mana terdapat bingkai foto pernikahan mereka. Di foto itu, Samuel menggenggam tangan Lucia dengan senyum hangat, sementara Lucia tersenyum penuh cinta.
Tangannya bergetar saat menyentuh bingkai itu, lalu tanpa sadar menjatuhkannya ke lantai. Suara kaca pecah terdengar nyaring, memantul di seluruh ruangan. Lucia menutup mulutnya, tubuhnya semakin bergetar.
Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Apa salahku hingga dia pantas dipermainkan dengan begitu kejam?
Air mata kembali turun. Ia terduduk di lantai, meraih pecahan kaca yang memantulkan wajahnya sendiri. Wajah yang basah air mata, penuh keputusasaan, bukan lagi Lucia yang penuh percaya diri seperti dulu.
"Kenapa, Tuhan? Kenapa harus selalu aku?" suaranya pecah, hampir seperti erangan seorang anak kecil yang kehilangan arah.
Namun semakin ia tenggelam dalam kepedihan, semakin jelas kata-kata Samuel terngiang.
Samuel berkata bahwa ayahnya meninggal bukan karena sakit, melainkan karena ulah Thomas. Samuel menuduh Thomas menghancurkan hidup ayahnya, membuat ibunya depresi dan meninggal, meninggalkan Samuel seorang diri di usia belia.
Lucia menggenggam kepalanya, mencoba menolak semua itu.
"Aku tidak tahu apa pun, Sam ... aku tidak tahu. Kenapa kau membalaskan dendammu kepadaku?" tangis Lucia.
Lucia kembali teringat masa kecilnya. Ia selalu hidup bergelimang kemewahan: pesta ulang tahun megah, gaun mahal, vila di berbagai negara. Namun ada satu bayangan yang kini kembali menghantui, pernah suatu kali ia mendengar ibunya bertengkar dengan ayahnya.
"Aku tidak suka caramu menjatuhkan perusahaan itu, Thomas. Mereka punya keluarga," ucap Astrid, ibu Lucia.
"Aku tidak peduli. Dunia ini milik yang kuat. Jika aku tidak menghancurkannya, mereka akan menghancurkan kita," kata Thomas.
Waktu itu, Lucia yang masih berusia dua belas tahun tidak mengerti. Ia hanya berlari ke kamarnya sambil menutup telinga. Tapi sekarang, percakapan itu terdengar sangat jelas, seolah baru terjadi kemarin.
Dan kata-kata Samuel tentang ayah Lucia menjadi semakin masuk akal. Tapi apa salah Lucia yang tidak tahu apa-apa namun harus mendaparkan semua mimpi buruk ini?
"Kau bahkan tidak tahu apa yang aku alami. Kau tidak tahu, Sam. Aku bukan anak kesayangan ... aku hanya boneka ayahku. Dan kau menjadikanku bonekamu juga. Kenapa kalian semua memperlakukanku seperti ini? Apa salahku sebenarnya?" ucap Lucia dalam tangisnya. Hatinya benar-benar hancur.
Malam itu, Lucia jatuh terduduk di lantai kamar, tubuhnya lemah, air mata tak kunjung berhenti. AC yang hidup membuat Lucia tenggelam semakin dalam ke dingin yanh menusuk kulitnya, namun rasa sakit di dalam hati jauh lebih mencekik.
Ia menatap foto yang tergeletak di lantai lagi dan lagi, berharap kalau semua ini hanya mimpi buruk dan Lucia akan segera terbangun.
"Selamat tinggal, Lucia," suara Samuel kembali bergema di telinganya, menghantui seperti bisikan iblis.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lucia merasa benar-benar sendirian. Terlebih dengan rasa sakit melebihi ketika ayahnya memukul Lucia dengan tongkat golf dulu.
Jam dinding berdentang pelan, namun bagi Lucia, setiap dentangnya terdengar seperti palu yang menghantam jiwanya. Waktu berjalan, tapi ia tetap terjebak di titik yang sama: detik ketika Samuel mengucapkan selamat tinggal dengan dingin.
Ruang rumah itu, yang dulu penuh tawa dan kebersamaan, kini berubah menjadi saksi bisu pengkhianatan. Sofa yang dulu sering mereka duduki bersama kini terasa asing, dingin, seakan menolak menyentuh tubuhnya. Meja makan yang biasanya dipenuhi hidangan hangat kini kosong, seperti menegaskan kehampaan yang melingkupinya.
Lucia meraih selimut tipis dan memeluknya erat, seakan benda itu bisa menggantikan kehangatan Samuel. Namun selimut hanyalah kain; tidak mampu memberi ketenangan pada hati yang porak-poranda.
Lucia teringat pada malam-malam ketika Samuel menemaninya terjaga, mengusap rambutnya, berjanji akan selalu ada. Janji itu kini terdengar seperti candaan sinis. Setiap kenangan yang dulu ia anggap indah kini menjelma duri yang menusuknya tanpa ampun.
"Kenapa kau tega, Sam?" bisiknya di tengah tangis yang sudah kering, air mata tak lagi mengalir, hanya meninggalkan perih di kelopak mata.
Ia menatap jari manisnya, cincin pernikahan masih melingkar di sana. Cahaya berlian memantul redup, seolah ikut mengejeknya. Dengan tangan gemetar, Lucia mencoba melepas cincin itu, tapi entah mengapa jari-jarinya terasa berat. Seakan cincin itu menempel bukan hanya di kulit, tetapi juga di hatinya.
"Kenapa?" suaranya lirih, nyaris hancur. Masih tidak percaya dengan yang terjadi.
Semua ucapan Samuel terus berputar dalam pikirannya.
"Aku tidak pernah mencintaimu."
"Ayahmu membunuh ayahku."
"Jika ingin menyalahkan seseorang, salahkan ayahmu sendiri."
Kata-kata itu menjadi racun yang merembes perlahan, melumpuhkan sisa rasa percaya diri yang selama ini Lucia miliki. Lucia mulai bertanya-tanya: apakah semua orang memandangnya sebagai bayangan Thomas Barnett? Apakah ia hanya akan mewarisi dosa, bukan kebaikan?
Lucia memejamkan mata, tapi setiap kali ia mencoba tidur, wajah Samuel yang penuh kebencian muncul, menghantui. Tatapan tajam itu membuatnya menggigil ketakutan.
Untuk pertama kalinya, ia takut pada pria yang dulu menjadi sandaran hatinya. Ia takut pada pria sekarang.
Kenapa kau terlalu kejam padaku, Tuhan. Kenapa aku terus dihukum seperti ini? batin Lucia.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih