NovelToon NovelToon
Istriku, Bidadari Yang Ku Ingkari

Istriku, Bidadari Yang Ku Ingkari

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Kriminal dan Bidadari / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Playboy
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ricca Rosmalinda26

Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.

Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.

Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Dunia yang Tak Sama

Langit sore menua di atas rumah keluarga Zahra. Udara hangat bercampur aroma kayu cendana dari ruang tamu yang dipenuhi tamu penting. Di sana, meja panjang telah disiapkan. Gelas kaca berembun, piring kecil berisi kudapan tradisional, dan bunga melati segar dalam vas putih membuat suasananya tampak tenang meski hati Alya Nur Zahra berdebar begitu keras.

Ia duduk di sisi ibunya, mengenakan gamis biru muda dan kerudung satin lembut yang membingkai wajahnya. Tatapannya tertunduk, jemarinya saling meremas pelan di pangkuan.

Hari ini… hari di mana ia akhirnya akan bertemu dengan calon suaminya, Arga Maheswara.

Dari kejauhan, suara mesin mobil terdengar berhenti di depan rumah. Alya bisa mendengar suara langkah berat mendekat. Tak lama, pintu ruang tamu dibuka, menampakkan sosok pria tinggi dengan kemeja hitam yang dilipat di siku, mata tajam, dan rahang tegas. Di belakangnya, Damar Maheswara , ayahnya melangkah penuh wibawa.

“Assalamu’alaikum,” ucap Pak Damar sopan.

“Wa’alaikumussalam,” jawab keluarga Zahra serentak.

Pak Zahra berdiri, menyalami sahabat lamanya dengan senyum yang agak canggung namun tulus.

Sementara itu, Arga hanya menundukkan kepala sekilas, formal, tanpa kehangatan. Tatapannya cepat beralih ke arah Alya, yang duduk diam seperti bunga yang baru mekar di pagi buta.

Ia memperhatikannya tanpa berkata apa-apa, tapi tatapan itu… dingin.

Setelah basa-basi panjang di antara orang tua, suasana perlahan berubah.

Pak Zahra mulai membuka pembicaraan utama.

“Kami bersyukur akhirnya bisa mempertemukan mereka. Mungkin, sebelum pembicaraan tanggal, biarkan Alya dan Arga berbicara sebentar, agar saling mengenal.”

Bu Retno tersenyum lembut. “Benar, Nak Alya… temani Arga sebentar di taman belakang, ya?”

Alya menunduk, lalu berdiri. “Baik, Bu.”

Suara lembutnya seperti angin yang menenangkan.

"Panggil mama, ya." Ucap bu Retno pada Alya.

Arga mendengus pelan, tapi menuruti ayahnya yang memberi isyarat halus. Ia melangkah ke taman belakang, tangan diselipkan di saku, ekspresi datar tapi jelas tidak senang.

 

Taman keluarga Zahra sederhana, ada ayunan rotan, kolam ikan kecil, dan aroma daun pandan dari dapur belakang.

Alya duduk di kursi taman, menjaga jarak sopan. Sementara Arga berdiri di depannya, menyandarkan punggung ke tiang gazebo, seperti orang yang sedang menghitung waktu kapan ia bisa pergi.

“Alya...?” suaranya berat, tapi ada nada meremehkan di sana.

“Iya,” jawab Alya pelan. “Saya Alya Nur Zahra.”

“Nur Zahra, apa kata papa kemarin? Cahaya bunga suci gitu, ya?” ia terkekeh singkat. “Cocok banget sama tampangnya yang kayak anak pesantren banget.”

Alya tidak menatapnya langsung. “Alhamdulillah, memang saya dibesarkan di lingkungan pesantren sejak kecil, Mas.”

Nada bicaranya lembut, penuh adab, sama sekali tidak tersinggung, tidak juga menunduk karena takut.

Arga menatapnya dengan heran. “Lo selalu ngomong sehalus itu ke semua orang?”

“Adab berbicara adalah bagian dari iman,” jawabnya datar tapi tenang. “Saya hanya berusaha menjaga itu.”

Arga menyeringai, tapi dingin. “Adab? Dunia ini gak semuanya soal adab, Alya. Kadang orang cuma ngerti kalau kita keras.”

Alya tersenyum tipis. “Saya percaya kelembutan juga bisa menundukkan yang keras, kalau niatnya baik.”

Kalimat itu membuat Arga diam beberapa detik. Ia tidak tahu apakah gadis di depannya terlalu polos atau justru terlalu dalam. Tapi yang jelas, ia tidak terbiasa berbicara dengan orang yang menjawab seperti itu, tanpa emosi, tapi mengena.

“Tahu kan kenapa kita disuruh nikah?” tanya Arga dengan nada kasar.

“Karena keluarga kita ingin menyelamatkan perusahaan,” jawab Alya jujur.

“Dan lo… lo gak keberatan dijadikan alat?”

Pertanyaan itu diucapkan dengan nada sinis.

Namun Alya hanya menatapnya, matanya tenang seperti air yang tidak bergelombang.

“Saya tidak merasa dijadikan alat, Mas. Saya menganggap ini bagian dari takdir Allah. Mungkin inilah jalan yang harus saya tempuh.”

Arga terkekeh keras. “Takdir? Lo percaya banget dengan hal-hal begitu, ya?”

Alya tersenyum lagi. “Kalau tidak percaya pada takdir, kita akan terus marah pada hidup, Mas. Padahal semua yang terjadi pasti ada maksudnya.”

Ada jeda panjang.

Arga memalingkan wajah, seolah kesal tapi sebenarnya… tidak tahu harus berkata apa lagi.

Ia mencoba mengganti topik dengan nada sinis lagi.

“Lo pasti gak suka gue, kan? Gue bukan tipe laki-laki alim, apalagi yang rajin ngaji kayak lo.”

“Saya tidak menilai orang dari tampak luarnya,” jawab Alya lembut.

“Tapi lo pasti tahu gue bukan orang baik.”

“Tidak ada manusia yang sepenuhnya buruk, Mas. Hanya saja, ada yang belum sempat menemukan hidayahnya.”

Kali ini, Arga benar-benar terdiam.

Entah kenapa, kata-kata itu terasa menohok.

Angin sore berhembus pelan, membuat ujung kerudung Alya bergerak ringan. Dalam diam, Arga memperhatikan wajahnya lebih lama dari yang ia sadari, bukan karena tertarik, tapi karena rasa asing yang tumbuh di dada.

Gadis ini… tidak seperti siapa pun yang pernah ia temui.

“Mas Arga,” suara lembut Alya memecah keheningan, “saya tahu Mas mungkin tidak menginginkan perjodohan ini. Saya juga tidak tahu apakah saya bisa menjadi istri yang baik untuk Mas. Tapi saya hanya ingin satu hal, jika memang pernikahan ini jadi, izinkan saya menjalani rumah tangga dengan cara yang Allah ridhoi.”

Arga menatapnya lama.

“Dan kalau gue bilang gue gak bisa jadi suami kayak yang lo mau? Yang shalat lima waktu, yang sopan, yang patuh aturan?”

Alya menunduk sebentar, lalu berkata pelan,

“Kalau itu terjadi, saya akan terus mendoakan Mas. Hidayah bukan datang karena siapa-siapa, tapi karena Allah yang membuka hati.”

Ucapan itu membuat dada Arga terasa sesak, meski ia tidak tahu kenapa.

Ia berdehem, lalu berucap dingin, “Ya sudah. Kalau lo sudah siap hidup dengan orang yang lo gak kenal, silakan. gue gak akan pura-pura jadi laki-laki baik.”

Alya menjawab lembut, “Saya tidak butuh pura-pura, Mas. Saya hanya ingin kejujuran.”

Dan di titik itu, Arga akhirnya benar-benar kehabisan kata.

Semua kalimat sinis yang ingin ia lontarkan seperti kehilangan makna di hadapan ketenangan Alya.

Ia membalikkan badan, meninggalkan taman tanpa pamit.

Alya menatap punggungnya yang menjauh , tinggi, gagah, tapi dingin.

Lalu ia menunduk, menarik napas panjang, dan berbisik dalam hati,

“Ya Allah, kalau memang dia yang Kau pilihkan untukku, maka lembutkan hatinya. Dan kuatkan aku untuk tetap berpegang pada-Mu.”

 

Malam itu, di rumah Alya, orang tua kedua belah pihak akhirnya sepakat: pernikahan akan dilangsungkan 1 bulan lagi.

Alya menunduk hormat, menerima keputusan itu dengan hati yang ikhlas.

Sementara Arga, di dalam mobilnya, menatap kosong ke jalanan Jakarta yang ramai.

Ia memukul setir pelan dan bergumam kasar,

“Gila. Gadis itu terlalu tenang. Kayak gak hidup di dunia yang sama.”

Tapi di ujung pikirannya, ada suara kecil yang tak mau diam, suara yang membuatnya resah.

Bukan karena marah… tapi karena ia mulai bertanya-tanya,

“Kenapa ketenangan itu terasa begitu mengganggu?”

 

💍 To be continued...

1
Rosvita Sari Sari
alya mah ngomong ceramah ngomong ceramah, malah bikin emosi
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Ma Em
Dengan kesabaran Alya dan keteguhan hatinya akhirnya Arga sadar dgn segala tingkah perlakuannya yg selalu kasar pada Alya seorang istri yg sangat baik berhati malaikat
Ma Em
Semoga Alya bisa meluluhkan hati Arga yg keras menjadi lembut dan rumah tangganya sakinah mawadah warohmah serta dipenuhi dgn kebahagiaan 🤲🤲
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!