TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU
LOS ANGELES, WEDNESDAY, 16:20
Langit Los Angeles sore itu berwarna keemasan, seolah kota ini sedang merayakan kedamaian yang sederhana. Gedung-gedung kaca memantulkan cahaya matahari yang perlahan condong ke barat, menciptakan kilau yang menenangkan bagi siapa pun yang memandangnya. Di tengah hiruk-pikuk kota metropolitan itu, Lucia Davidson berdiri di depan jendela kantornya di lantai dua puluh gedung Barnett Corporation, perusahaan yang telah menjadi kebanggaan keluarganya selama puluhan tahun.
Bagi Lucia, hidupnya terasa sempurna. Ia menikah dengan pria yang begitu ia cintai, Samuel Davidson, enam bulan lalu. Pernikahan mereka digelar dengan meriah di sebuah hotel mewah di Beverly Hills, disaksikan oleh para pengusaha terkemuka, selebriti papan atas, dan keluarga besar Barnett serta Davidson. Sejak hari itu, Lucia merasa dirinya adalah wanita paling beruntung di dunia. Samuel bukan hanya tampan dan cerdas, tetapi juga penuh perhatian. Senyum hangatnya mampu meredakan semua kegelisahan Lucia, pelukannya membuat segalanya terasa aman.
Lucia yang sejak kecil harus hidup dalam doktrin sang ayah yang mana memaksa Lucia menjadi ahli waris, harus merelakan banyak hal dalam hidupnya. Teman, mimpi, ambisi, waktu, hingga Lucia hidup seperti cangkang kosong. Harus menerima menjadi boneka sang ayah, jika tidak ingin ayahnya bersikap kasar hingga menatap Lucia penuh kebencian karena Lucia terlahir sebagai anak perempuan dan bukannya laki-laki. Dan kehadiran Samuel di hidup Lucia, membuat Lucia merasa lebih baik. Dapat bernapas dan lepas dari kekangan sang ayah.
Lucia sering berkata pada dirinya sendiri: Jika ini adalah mimpi, aku tidak ingin terbangun.
Namun takdir selalu punya cara untuk menguji rasa percaya, bahkan pada saat seseorang merasa telah menggenggam segalanya.
Hari itu, suasana kantor sebenarnya berjalan seperti biasa. Para karyawan berlalu-lalang, suara telepon berdering, dan tuts keyboard komputer mengetuk irama pekerjaan. Lucia baru saja menyelesaikan laporan keuangan untuk rapat mingguan dengan dewan direksi, ketika tiba-tiba suara gaduh terdengar dari lantai bawah.
Ia menoleh dengan dahi berkerut. Dari kaca jendela, terlihat belasan mobil polisi dengan sirene berkilatan berhenti di depan lobi utama. Pintu-pintu mobil terbuka, dan para petugas berseragam berlari masuk dengan langkah tegas.
Lucia tersentak. Apa yang terjadi?
Pintu ruangannya terbuka keras, membuat Lucia terlonjak. Sekretarisnya, Marissa, berlari masuk dengan wajah pucat pasi.
"Miss. Lucia! Polisi! Mereka ... mereka masuk ke gedung! Mereka membawa surat perintah!" ujar Marissa panik.
Lucia berdiri dengan tubuh bergetar. "Surat perintah? Untuk apa?"
Belum sempat Marissa menjawab, dua petugas berseragam hitam sudah masuk ke dalam ruangan. Salah satunya mengacungkan berkas.
"Lucia Davidson?" panggil sang petugas.
Lucia menelan ludah. "Ya, saya."
"Ini surat resmi. Mulai hari ini, semua aset Barnett Corporation disita. Ada dugaan keterlibatan perusahaan ini dalam kasus pencucian uang, penyuapan pejabat, dan perdagangan gelap internasional. Kami harus menyegel seluruh area," kata sang petugas.
Kata-kata itu menghantam telinga Lucia bagaikan palu godam. Pencucian uang? Perdagangan gelap? Penyuapan? Itu tuduhan yang tak pernah ia bayangkan akan terkait dengan ayahnya, Thomas Barnett, seorang pengusaha yang selama ini dihormati banyak orang.
"T-tidak mungkin ... pasti ada kesalahan," suara Lucia gemetar.
Namun polisi tak menggubris protesnya. Mereka mulai menempelkan segel merah di pintu ruangan, membawa masuk boks-boks kosong untuk mengamankan dokumen. Suasana kantor yang biasanya rapi kini berubah menjadi lautan panik. Pegawai berlarian, beberapa menangis, sebagian lagi sibuk menyelamatkan barang pribadi mereka.
Lucia berdiri terpaku. Jantungnya berdentum kencang, seolah hendak menerobos keluar dari dadanya.
Tak lama kemudian, televisi-televisi di ruangan mulai menyiarkan berita breaking news. Di layar besar ruang rapat, wajah ayahnya terpampang jelas, dengan judul mencolok di bawahnya:
'Thomas Barnett, Pengusaha Raksasa Los Angeles, Diduga Terlibat Kasus Skandal Finansial Internasional. Kini Buron.'
Lucia membekap mulutnya dengan tangan. "Buron?"
Wartawan di layar berbicara cepat, menjelaskan bagaimana Barnett Corporation diduga mencuci dana gelap dari perdagangan senjata melalui anak perusahaan di luar negeri. Disebutkan pula bahwa Thomas Barnett tidak hadir ketika penyidik datang, dan menurut kabar, ia melarikan diri sebelum polisi berhasil menahannya.
Lucia limbung. Ia berpegangan pada meja agar tubuhnya tidak ambruk. Ayahnya melarikan diri? Tidak, bagaimana bisa? Sejak kapan ayahnya melakukan hal ilegal?
Ponselnya bergetar bertubi-tubi. Ia meraih perangkat itu dengan tangan bergetar, puluhan panggilan tak terjawab dari Mom.
"Lucia!" suara ibunya terdengar panik begitu sambungan tersambung. "Apa yang terjadi? Kenapa rumah kita dipenuhi wartawan? Ayahmu tidak bisa dihubungi sejak pagi. Dia ... dia tidak pulang, Lucia! Di mana dia?"
Air mata mengalir di pipi Lucia. "Aku ... aku tidak tahu, Mom. Polisi baru saja datang ke kantor. Mereka menyita semuanya… mereka bilang Ayah buron. Aku ... aku tidak mengerti yang terjadi."
"Cari ayahmu! Tolong, Lucia! Aku tidak tahu harus bagaimana," suara ibunya pecah, lalu sambungan terputus.
Lucia menatap layar ponsel yang kini gelap, merasa dunia di sekelilingnya runtuh.
Dalam keadaan kacau, ia meninggalkan kantor. Jalanan Los Angeles terasa seperti labirin asing yang menyesatkan. Sorot kamera wartawan mengejarnya saat ia keluar dari gedung, pertanyaan-pertanyaan tajam menghujani telinganya:
"Apakah benar ayah Anda terlibat dalam perdagangan senjata dan penyuapan pejabat?"
"Bagaimana peran Anda sebagai salah satu eksekutif di perusahaan?"
"Apa komentar Anda tentang status buron Thomas Barnett?"
Lucia hanya menunduk, menutup wajahnya dengan tas. Mobil pribadinya menunggu di pinggir jalan, dan ia masuk dengan tergesa. Sepanjang perjalanan pulang ke apartemen mewahnya bersama Samuel, ia hanya bisa memandangi kota dengan pandangan kosong.
Di kepalanya, pertanyaan bergemuruh: Di mana Dad? Mengapa semua ini bisa terjadi? Dan kenapa Samuel tidak bisa dihubungi?
Samuel, suami yang selalu sigap ada di sisinya, justru menghilang di tengah badai.
Lucia akhirnya sampai di apartemen mereka yang terletak di kawasan elit pusat kota. Malam mulai turun, namun pikirannya masih berkecamuk. Ia melemparkan tas ke sofa dan bergegas meraih ponsel lagi, mencoba menelepon Samuel.
Nada sambung berulang kali terdengar, tapi tak ada jawaban.
"Sam ... di mana kau," gumam Lucia lirih, sambil duduk di lantai ruang tamu.
Jam dinding berdetak lambat, seolah mengejek. Satu jam ... dua jam ... hingga akhirnya pintu apartemen terbuka.
Samuel masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya masih rapi, wajahnya tampak lelah.
Lucia berdiri, berlari kecil menghampiri. "Honey! Tuhan, akhirnya kau pulang. Aku ... aku tidak tahu harus bagaimana. Kantor disita, Ayah menghilang, media-"
Kalimatnya terhenti begitu ia melihat raut wajah suaminya.
Samuel, yang biasanya menyambutnya dengan tatapan lembut dan senyum hangat, kini memandang dengan sorot dingin. Rahangnya mengeras, matanya tajam seperti pisau.
Lucia tertegun. "Honey?"
Samuel tersenyum, tapi itu bukan senyum yang ia kenal. Itu adalah senyum dingin, penuh ironi.
"Lucia," suaranya tenang, nyaris menyeramkan. "Akhirnya waktunya tiba. Ayahmu sudah mendapatkan balasannya."
Kata-kata itu menusuk dada Lucia lebih tajam dari belati. Dalam seketika dunia Lucia runtuh ketika mendengar dua kata selanjutnya dari suami yang ia cintai ucapkan.
Balas dendam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Ir
pas baca sinopsis nya bagian akhir reflek
" hoekkk cuih, ga sudi " 😆😆
2025-09-11
1
Miss Typo
wah cerita baru nih
2025-09-12
1