Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 (Cari sampingan)
Fuji mendorong rolling door Laundry tempatnya bekerja, kemudian membalik tulisan tutup menjadi buka. Tak lupa mengambil sebuah sapu dan pengki untuk membersihkan area dalam laundry.
Namun, sebelum dirinya benar-benar kembali masuk, pandangannya tertuju pada sosok gadis yang baru saja turun dari atas motor.
Wanita itu memandang Vanila dengan raut wajah tidak biasa. Karena dia datang tanpa membawa apapun, termasuk tas kecil miliknya yang tidak pernah tertinggal sama sekali.
"Van?" seru Fuji kepada rekan kerjanya, saat gadis itu berjalan mendekat.
Skinny jeans berwarna hitam, seragam kerja berbalut Hoodie abu-abu oversize. Sekilas tidak ada yang aneh, selain ekspresi sendu Vanila dengan mata bengkak dan hidung yang sangat merah.
"Pagi, Mbak Fuji?" Balas Vanila sambil memaksakan senyum.
Kening Fuji mengernyit.
"Di mana tas kamu? Lupa?" Dia bertanya.
Vanila hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan dari temannya.
Fuji terdiam dengan kedua tangan yang memegangi perkakas kebersihan, menatap wajah gadis 23 tahun itu lekat-lekat, dan mereka sama-sama terdiam dalam jangka waktu yang tidak sebentar.
"Van?"
"Tas aku di jambret, Mbak. Dompet, KTP, ATM, sama sisa uang gaji raib," jelas Vanila dengan mata berkaca-kaca dan suara parau.
"Cuma sisa dua puluh lima ribu, itupun kembalian dari kang mie ayam yang aku simpan di saku celana," lanjutnya, membuat Fuji tertegun.
"Aku nggak punya apa-apa sekarang, Mbak. Bu Tika bahkan minta aku keluar kalau nggak bisa bayar uang kontrakan bulan sekarang!" Vanila mulai terisak, gadis itu menunduk sambil mengusap pelupuk mata dengan punggung tangannya.
Fuji menghela napas lalu berjalan mendekati Vanila dan membawanya masuk ke dalam dengan cepat.
"Duduk, duduk!" Perempuan itu berujar.
Dia menyimpan perkakas kebersihannya lebih dulu, berjalan mendekati sebuah showcase kemudian mengambil satu botol air mineral berukuran sedang yang langsung diserahkan kepada Vanila setelah membukanya lebih dulu.
"Bagaimana bisa?" Fuji duduk di salah satu kursi yang berada tepat di samping Vanila.
Gadis itu tidak langsung menjawab, dia hanya terus meneguk minumannya sampai habis setengah, lalu diam.
Perlahan setelah merasa tenang, Vanila pun mulai menceritakan setiap kronologis kejadian yang membuat barang-barang yang ada di dalam tasnya raib.
Fuji tertunduk diam di samping Vanila, mengusap punggung gadis itu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia tahu betul, sebuah kata sabar bukan yang Vanila butuhkan saat ini, sehingga dirinya membiarkan gadis itu menangis, hanya untuk meluapkan kesedihannya.
"Hari ini Ci Mey nggak datang. Kamu boleh istirahat aja di belakang ya? Kalau butuh apa-apa, atau ngerasa mau makan. Jangan sungkan, aku ada duit kalo cuma buat beli nasi rames di warteg," ucap Fuji dengan suara rendah.
Vanila kembali mengusap kedua pipinya yang basah dengan punggung tangan, kemudian mengangguk.
"Aku harus gimana ya, Mbak?"
"Jangan dipikirin terus, nanti kita cari jalan keluarnya."
Fuji meraih lengan Vanila, kemudian menariknya sampai gadis itu berdiri. Dan mereka pun berjalan bersama-sama ke arah sebuah ruangan yang dikhususkan untuk tempat para pekerja melepaskan lelah.
"Aku bingung! Kost belum dibayar, nggak ada bekel juga. Pinjam ke Ci Mey pasti kena omel, apalagi baru aku bayar kemarin," gadis itu terus terlihat resah.
"Sudah sudah, kita cari jalan keluarnya nanti ya?"
Fuji menarik Vanila, dan membawanya agar duduk di atas lantai beralaskan karpet.
"Dengar, Van. Setiap ada kesulitan, pasti ada kemudahan."
Vanila mengangguk, dengan kedua lengan yang kembali mengusap pelupuk matanya. Tidak tahu kenapa, dia tidak benar-benar bisa tenang setelah apa yang baru saja dialami.
"Aku cuma bingung, kalau nggak bisa bayar kost gimana? Masa harus pulang ke panti? Kan kerja disini juga belum ada setahun, Bapak juga belum ketemu."
"Nanti kita cari jalan keluarnya bareng-bareng, tunggu disini saja ya!" ulang Fuji yang setelahnya beranjak pergi, meninggalkan Vanila di dalam ruangan berukuran kecil itu sendirian.
***
Suasana laundry terasa semakin ramai. Orang-orang tak hentinya berlalu-lalang, mengantar pakaian kotor atau mengambil yang sudah bersih, membuat Vanila tidak bisa hanya berdiam diri didalam sebuah ruangan dengan kesedihannya. Dia duduk di meja depan, melayani setiap customer dengan senyuman hangat.
Yaa, walaupun keadaan hatinya benar-benar buruk.
Sebuah mobil sedan hitam berbelok memasuki area yang cukup luas di depan toko dan berhenti disana, lalu tidak lama setelah itu keluarlah seorang pria dengan pakaian yang cukup rapi.
Tak hentinya Vanila menatap ke arah luar, apalagi setelah mengetahui siapa orang yang datang.
"Selamat siang?" Pria itu menyapa.
Vanila mengangguk, lalu tersenyum.
"Pak Irgi? Mau ambil pakaian?" Vanila berbasa-basi.
Pria yang masuk itu mengulum senyum, kemudian memberikan secarik kertas kepada Vanila.
"Oke, tunggu sebentar," katanya setelah melihat catatan yang tercantum di dalam nota.
Vanila meletakan nota tersebut di atas meja, sementara dirinya berbalik badan untuk mencari pakaian yang sudah siap di laci penyimpanan.
"Silahkan Pak Irgi, terimakasih."
Pria itu menerimanya, seraya memberikan selembar uang pecahan seratus ribu seperti biasa.
"Tips buat kalian."
Vanila diam sebentar, menatap uang dan wajah pria di hadapannya bergantian. Tiba-tiba saja sebuah harapan muncul, apalagi saat mengingat pria itu yang pernah beberapa kali membantunya.
"Ambil, nanti terbang tertiup angin lho!" Katanya sambil menatap kipas angin yang terletak tidak jauh dari posisi mereka.
"Eeee, …"
"Kurang?" Dia bertanya ketika Vanila tak berhenti menatapnya.
Vanila menggelengkan kepala dengan raut wajah terkejut.
"Bu-bukan Pak. Terimakasih, ini lebih dari cukup!"
"Lalu apa? Laundry nya ‘kan sudah di bayar."
"Duh gimana ya aku ngomongnya?" Vanila terlihat canggung.
Sementara pria di hadapannya terus menatap sambil menunggu.
"Kamu nangis lagi ya? Kenapa? Uang gajinya dipotong? Atau dimarahi lagi karena ada komplain dari pelanggan?" Rentetan pertanyaan langsung Irgi layangkan.
Pria itu sudah hafal dengan ekspresi tersebut karena memang beberapa kali mengetahui apa yang terjadi kepada Vanila.
Gadis itu melihat keadaan sekitar, lalu kembali menatap wajah pria di hadapannya.
"Pak Irgi, saya boleh pinjam uang nggak? Nggak banyak kok cuma buat bayar kost sama bikin KTP. Saya kena jambret semalam dan semuanya hilang." dengan suara sedikit berbisik, tetapi dia langsung pada apa yang dimaksud.
Tidak ada jalan lain bukan? Satu-satunya penyelamat adalah keberanian Vanila meminta bantuan dari orang lain.
Irgi terdiam.
"Pak? Saya janji bakal bayar kok, tapi nyicil yah?" Gadis itu memohon.
Yang tentu saja membuat Irgi merasa iba, apalagi saat melihat ekspresi wajah yang tampak sangat menyedihkan. Hidung merah, dengan mata yang sedikit membengkak.
"Berapa?"
"Cuma buat bayar kost sama bikin KTP. Mungkin lebihnya buat biaya makan sama ongkos ojek setiap hari."
"Iya berapa?" Pria itu bertanya lagi, sambil terkekeh pelan.
"Lima juta, boleh? Saya cicil setahun deh!"
"Lima juta?" Irgi membelalak.
"Sama buat kirim uang ke kampung, udah dua bulan nggak wesel soalnya gaji aku kena potong terus." Vanila mengangguk, lalu dia kembali menjelaskan hal lainnya.
Irgi menghela napas dalam-dalam.
"Saya tidak bisa memberi pinjaman, tapi kalau kamu minta pekerjaan, saya ada. Tapi kamu mau tidak?"
"Kerja apa?"
"Ya beres-beres, masak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi ya pendengaranmu harus kuat, soalnya bos saya agak bawel. Apa-apa di perhatikan dan semuanya harus benar-benar bersih tanpa terkecuali."
Kini Vanila yang terdiam.
"Setidaknya untuk makan dan kebutuhanmu ditanggung di sana. Nggak full time kok, bisa setengah hari juga asal bilang saja dari awal."
"Woi! Gosipin apaan tuh?" Teriak Eli sambil memasukan pakaian kotor ke dalam mesin cuci.
Perempuan itu terlihat penasaran, apalagi saat Irgi terus berdiri di dekat rekan kerjanya cukup lama. Membuat kedua orang yang tengah bercakap-cakap itu menoleh tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Ya sudah, saya sudah terlalu lama di luar. Kalau sudah fiks kamu bisa kasih…"
"Mau mau. Yang penting ada dulu buat bikin KTP sama bayar kost, … eh emang bisa yah? Kan harus kerja dulu baru gajian?"
"Bisa di atur. Saya antar ini dulu, nanti sore kesini lagi untuk menjemputmu."
Vanila mengangguk.
"Iya, Pak. Terimakasih sebelumnya."
"Oke."
Pria itu pun memeluk lipatan baju yang sudah dibungkus sebuah plastik bening, untuk kemudian membawanya ke arah luar dan memasukkannya ke dalam mobil, sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat Vanila kerja.
"Ada apaan? Lama bener ngobrolnya?" Eli kembali bertanya.
Perempuan itu berjalan mendekati Vanila.
"Nggak ada, dia cuma ngasih tips ini!" Katanya sambil memberikan selembar uang pada rekan kerjanya, lalu Vanila pergi begitu saja ke arah belakang.
“Van? Bagi empat itu!!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gift, like & komen plisss...