Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman
Ruang kerja itu dipenuhi aroma kayu bakar dan minyak herbal. Cahaya senja mengalir lembut dari jendela lengkung, menyentuh meja-meja yang tertata rapi dengan gulungan catatan, botol-botol kecil dari kaca bening, dan mortir batu yang masih mengandung sisa tumbukan daun.
Suara langkah terdengar dari lorong luar, lalu pintu diketuk dengan ritme sopan.
Tok. Tok. Tok.
Vanessa mengangkat kepalanya dari halaman catatan dan memberi isyarat. “Masuk.”
Pintu terbuka. Lucien masuk lebih dulu dengan ekspresi seperti biasa—tenang dan terukur. Di belakangnya, seorang wanita paruh baya bergaun kelabu bersih melangkah pelan namun mantap. Rambutnya diikat rapi ke belakang, dan di tangannya tergenggam sebuah kantung kulit berisi berbagai alat dan herbal.
“Yang Mulia,” ucap Lucien sembari menunduk hormat. “Tabib Alana telah tiba.”
Vanessa berdiri dan tersenyum kecil. “Selamat datang, Tabib.”
Tabib Alana memberi hormat pendek. Tatapannya sopan, namun Vanessa bisa melihat gurat kehati-hatian di sana—wajar, mengingat bagaimana reputasi Vivienne sebelum ia datang ke tubuh ini.
“Suatu kehormatan dipanggil ke ruang kerja pribadi Anda, Yang Mulia.”
“Aku sedang mempelajari salah satu komposisi penyembuh yang belum sempurna. Kupikir… tidak salah mencoba menyempurnakannya,” ucap Vanessa sambil menunjuk meja berisi ramuan dari Lady Mirelda.
Tabib Alana melangkah pelan ke arah meja. Ia melihat botol berisi cairan ungu keperakan itu dengan mata ahli. “Ramuan akar purnama dan daun leiryn tua. Reaksi awalnya bisa meredakan peradangan, tapi setelah dua jam akan memburuk bila tidak dicampur penetral alami.”
Vanessa mengangkat alis sedikit, terkesan. “Tepat. Dan aku ingin tahu, kira-kira… penetral alami apa yang bisa kita temukan dari tanaman yang tumbuh di Belvoir?”
Tabib Alana menatapnya lekat-lekat. Bukan menantang, tapi menakar. Lalu pelan-pelan, ia membuka kantung kulitnya dan mengeluarkan beberapa potong daun kering berwarna abu kehijauan.
“Daun veredis. Tumbuhnya hanya di lereng-lereng tinggi. Dulu digunakan di masa perang untuk luka tusuk dalam.”
Lucien berjalan ke meja dan mulai menyiapkan tinta dan lembaran kosong.
“Kita tidak akan membuat terobosan besar hari ini,” ucap Vanessa sambil mengenakan sarung tangan tipis dari kain wol. “Tapi kita bisa mulai dari pengamatan reaksi dasar. Aku ingin tahu apakah kadar panas bisa mempengaruhi kestabilannya.”
Tabib Alana mengangguk sekali. “Saya akan bantu semampu saya, Yang Mulia.”
Untuk pertama kalinya, Vanessa melihat sedikit ketulusan di mata perempuan itu. Dan ia tahu, hubungan mereka tidak akan dimulai dari kepercayaan penuh—tapi dari rasa ingin tahu yang sama besar.
——
Ruang kerja itu dipenuhi kesunyian yang dalam. Di atas meja bundar dari kayu gelap, Vanessa dan Tabib Alana berdiri berdampingan, masing-masing memegang sejumput bahan dari kantung kulit yang sama: daun veredis, akar purnama kering, dan serpihan kecil dari kulit kayu leiryn.
Lucien duduk tak jauh dari mereka, mencatat setiap gerakan dan instruksi dalam catatan besar dengan tinta yang baru ditumbuk dari arang basah. Sementara cahaya dari tungku batu menyebar hangat di sudut ruangan, menari di dinding yang dipenuhi rak tanaman kering.
Vanessa menuang air ke dalam mangkuk tembikar, lalu mengangkatnya ke atas api kecil. Ia tidak menggunakan tungku logam seperti di dunia asalnya—semuanya serba sederhana, dan perlahan. Tapi itulah tantangannya. Menyederhanakan ilmu modern dalam kerangka dunia yang tak mengenalnya.
“Air harus mulai hangat… tidak mendidih,” gumam Vanessa, lebih pada dirinya sendiri. “Suhu yang terlalu tinggi akan memecah zat aktif veredis sebelum menyatu dengan leiryn.”
Tabib Alana meliriknya sejenak—tidak bertanya, tapi mencatat dalam diam.
Setelah air cukup hangat, Vanessa memasukkan tiga helai daun veredis, meremasnya pelan dengan alat penekan kayu yang ujungnya dibalut kain bersih. Cairan berubah sedikit ke warna kehijauan, pekat tapi tidak keruh.
“Cium baunya?” ucap Vanessa lirih.
Tabib Alana mendekat, menarik napas ringan. “Pahit. Tapi bersih. Tidak ada tanda fermentasi rusak.”
Vanessa mengangguk, lalu menjatuhkan sejumput akar purnama yang telah ditumbuk ke dalamnya. Sesaat, campuran itu berbuih. Warnanya berubah menjadi keunguan—mirip seperti ramuan Lady Mirelda sebelumnya, namun lebih redup. Vanessa mencondongkan tubuhnya, mengamati permukaannya dari dekat.
“Reaksi ini…” bisiknya. “Harusnya tidak muncul terlalu cepat.”
Tabib Alana ikut melihat. “Artinya, kadar zat aktif dalam akar purnama terlalu tinggi. Mungkin harus dikeringkan dua hari lebih lama sebelum dipakai.”
Lucien mencatatnya tanpa diminta.
Selama beberapa menit mereka membiarkan cairan itu menyatu, mengamati perubahan warnanya, dan menganalisis aroma serta konsistensi. Saat api mulai mengecil, Vanessa menuangkan sedikit cairan ke dalam piringan logam kecil—alat uji sederhana untuk mendinginkan dan menstabilkan ramuan sebelum dicatat hasilnya.
Warna cairan pada piring logam berubah perlahan dari keunguan ke abu keperakan. Tidak menghitam. Tidak membeku. Stabil.
Vanessa menatapnya cukup lama, sebelum akhirnya bergumam, “Ini… menjanjikan.”
Ia duduk perlahan, mengambil catatannya sendiri dan mulai menulis. Tangannya gemetar sedikit karena kelelahan—tapi ada nyala dalam matanya yang tidak padam. Itulah gairah seorang peneliti, tak peduli zaman dan alat.
Tabib Alana, yang sedari tadi lebih banyak diam dan mengamati, akhirnya berkata, pelan, “Saya tidak tahu banyak tentang… cara kerja Anda. Tapi… saya bisa merasakannya. Bahwa Anda… bukan hanya ingin tahu tapi Anda juga peduli.”
Vanessa tidak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum kecil—tak berlebihan, tapi cukup untuk membuat Tabib Alana tahu: ya, aku peduli… lebih dari yang kau bayangkan.
Lucien berdiri dan menyerahkan selembar catatan yang sudah ia salin. “Semua sudah dicatat. Jika uji coba kedua ingin dilanjutkan besok, saya akan siapkan alat-alat tambahan. Mungkin… pengukur kelembapan dari logam tempa.”
“Terima kasih, Lucien,” sahut Vanessa, masih menatap piring logam yang berkilau tenang. “Kita belum menemukan ramuan penyempurna… tapi ini awal yang baik.”
Tabib Alana menatap cairan keperakan di piring logam itu dengan kerutan halus di dahinya. Senyap kembali turun di antara mereka, namun bukan jenis keheningan yang tenang—melainkan yang dipenuhi dengan kehati-hatian.
Ia akhirnya bersuara, pelan namun tegas.
“Sebelum eksperimen ini kau lanjutkan… ada satu hal yang harus kau tahu.”
Vanessa menoleh. Tatapannya penuh tanya. Lucien pun ikut menoleh, langkahnya yang sempat mundur kembali terhenti.
Tabib Alana mengambil napas pelan, lalu menunjuk cairan di piring logam. “Ramuan ini… bukan hanya gabungan dari akar purnama dan leiryn tua. Kombinasi keduanya, bila melewati kadar tertentu—terutama tanpa penyeimbang yang tepat—akan menimbulkan efek racun pada darah. Lambat, tak terlihat, tapi mematikan.”
Vanessa menyipitkan mata. “Efek racun? Tapi tadi reaksinya tampak stabil.”
“Justru itu bahayanya.” Suara Alana terdengar lebih berat sekarang. “Ramuan yang paling tenang bisa menyimpan kematian paling sunyi. Dalam sejarah lama, ada tiga kasus kematian misterius yang dipercaya berasal dari kombinasi ini. Salah satu di antaranya… adalah seorang tabib pengadilan dari generasi pertama Klan Velmire.”
Vanessa menatap ramuan itu dengan dalam. Seolah cairan bening keunguan itu kini memantulkan lebih dari sekadar cahaya. Ia menoleh ke arah Alana, matanya tak goyah.
“Aku tidak akan mengabaikan peringatanmu,” ucapnya pelan. “Tapi aku juga tidak akan berhenti hanya karena ada kemungkinan bahaya.”
Tabib Alana mengangguk kecil, ekspresinya tak bisa dibaca. “Aku tidak berniat menghentikanmu. Hanya memastikan kau mengerti bahwa ini bukan sekadar percobaan biasa. Ramuan ini—jika gagal—bukan hanya akan mengecewakanmu. Ia bisa mengambil nyawa orang lain.”
Vanessa menarik napas panjang. Kata-kata itu menyelinap dalam pikirannya, seperti awan gelap yang menggantung di atas tujuan mulia. Tapi tak sekalipun ragu muncul di wajahnya.
“Aku tahu risikonya. Tapi jika kita tak pernah mencoba menyempurnakan… maka racun ini akan tetap menjadi kutukan bagi siapa pun yang mencoba menolong dengan separuh kebenaran.”
Alana menatapnya lekat-lekat, lalu untuk pertama kalinya sejak datang, ia mengangguk dengan lirih. “Kalau begitu… mari pastikan kita tidak bekerja setengah-setengah untuk menyembuhkan.”
———
Langkah sepatu Maxime menggema di lorong batu basah penjara bawah tanah. Udara di sana lembap, dipenuhi bau logam darah yang tersisa dari hari-hari lalu.
Di hadapannya—tiga pria diikat ke kursi besi. Wajah mereka tertutup luka memar. Namun bukan cambuk atau pukulan yang paling menakutkan di tempat itu, tapi tatapan mata sang Kaisar Aragon.
Maxime berhenti di depan salah satu dari mereka. Pria itu masih menunduk. Bibirnya pecah-pecah, tapi rahangnya tetap terkunci rapat.
Bastian menyerahkan gulungan yang telah dibuka sebelumnya. Di dalamnya terdapat koin perak tua dengab lambang dua ular melilit tongkat berduri, menembus tengkorak kecil di ujungnya.
Simbol lama.
Simbol yang dikenalnya dulu di Belvoir.
Maxime menatap lambang itu sejenak sebelum meletakkannya di atas meja di depan para tahanan.
“Lambang ini ditemukan di gudang perbatasan. Juga di koin bayaran kalian. Dan terakhir…” ia mencondongkan tubuh sedikit, “…di panah yang hampir menembus leher istriku.”
Salah satu tahanan terisak tertahan. Tapi tidak berbicara.
Maxime berbalik pelan ke arah Bastian. “Bawakan aku tinta merah dan pisau bedah.”
Bastian terkejut. “Paduka—”
“Sekarang.”
Langkah Bastian menjauh.
Maxime kembali menatap para pria itu. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan iblis yang menghantui kepala mereka.
“Kalian tahu kenapa aku tidak menyuruh algojo menyentuh kalian?” Ia mendekat, mendekat sampai suara napas mereka bisa saling terasa. “Karena rasa sakit… jauh lebih tajam saat datang dari orang yang terlihat tenang.”
Ia mengambil sebuah kursi, membaliknya dan duduk membelakangi mereka, menyilangkan kaki dengan santai. Seolah ini adalah jam minum teh, bukan interogasi.
“Aku pernah membaca bahwa manusia mulai bicara saat kau mengambil satu-satunya yang tersisa dari mereka…”
Ia menatap pria di sebelah kanan. “Kau punya seorang putri, bukan?”
Tahanan itu mendongak kaget.
“Dan mereka tinggal di pelabuhan selatan. Rumah kecil di ujung gang.”
Air mata mulai menetes di wajah pria itu.
Maxime tersenyum kecil, dingin.
“Bayangkan reaksi putrimu saat melihat kepala ayahnya di depan pintu.”
Hening menekan ruangan itu.
Maxime berdiri perlahan. “Katakan satu nama.“
“Atau jika ingin terus diam… maka aku tak akan segan mengirim kepalamu malam ini juga.”
Tahanan itu terdiam beberapa saat, tubuhnya menggigil hebat. Suara derak dari rantai besi yang mengikat pergelangan tangannya terdengar nyaring dalam kesunyian yang menegangkan. Nafasnya terengah, seperti sedang menahan amukan dari dalam dirinya sendiri—antara ketakutan dan rasa sakit.
Akhirnya, dengan suara yang pecah dan gemetar, si tahanan berkata, “A… ada… seorang pria…”
Maxime sedikit mencondongkan tubuhnya. “Teruskan.”
“Dia… dia memakai jubah gelap. Aku… aku tak pernah melihat wajahnya. Selalu tertutup tudung.”
Bastian mencatat cepat di samping, sementara Maxime tetap diam, membiarkan tekanan itu tumbuh dari ketegangan.
“Dia menemuiku… tiga malam sebelum kejadian. Katanya… dia akan membantu pengobatan putriku asal aku berhasil melakukan tugasnya.”
Air mata mulai menetes dari pelupuk pria itu, suara parau memecah antara penyesalan dan rasa takut.
“Aku bersumpah… aku tak tahu siapa dia! Tapi… dia bilang—dia bilang harus melenyapkan keturunan Aurenhart . Dia menyebutnya begitu.”
Maxime memejamkan matanya sejenak. Rahangnya menegang.
“Apa mereka menyebut nama?” tanyanya pelan.
“Tidak, Paduka. Hanya ‘Keturunan Aurenhart’. Tapi… dia menyebut tempatnya. Kami harus menunggu di festival—di pasar tradisional, karena kerumunan akan menyamarkan segalanya.”
Maxime melangkah pelan ke belakang, membiarkan kata-kata pria itu menggantung.
“Baiklah,” ucap Maxime pelan, seolah memberi jeda belas kasihan—yang tak pernah benar-benar ada. Lalu ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap mata si tahanan yang kini membelalak seperti binatang buruan.
“Kau mungkin sudah berbicara,” bisiknya nyaris tanpa emosi, “tapi itu tak berarti kau akan hidup untuk melihat matahari besok.”
Ia berjalan memutar, perlahan, seperti pemangsa yang menunda gigitan terakhirnya.
“Kau membidik istriku. Dan di kerajaanku, itu setara dengan menggali kuburanmu sendiri.” Maxime berhenti tepat di belakang si tahanan. Suaranya nyaris halus saat menyambung, “dan aku tidak suka penguburan yang rapi.”
Tahanan itu tersentak. “A-a-aku… aku tidak ingin melakukannya, tapi—”
“Ssst…” Maxime mengangkat satu jari, menyuruhnya diam. “Itu bagian paling basi dari pengakuan siapa pun yang mencoba membunuh seorang ratu.”
Ia mendekat, langkah sepatunya menggema di lantai batu yang lembap. Kini hanya ada dua jengkal antara wajahnya dan si tahanan yang ketakutan.
“Aku tidak peduli kau ingin melakukannya atau tidak,” ucap Maxime pelan, nyaris berbisik. “Faktanya, kau mengangkat senjata. Kau membidik. Kau menarik tali busur. Dan kau—” ia mencondongkan tubuh, suaranya kian tajam, “nyaris mengenai wanita yang kupilih dengan nyawaku sendiri.”
Si tahanan membeku. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, wajahnya memucat seperti mayat hidup.
“Jika saja aku datang beberapa detik lebih lambat,” lanjut Maxime, “maka hari ini, kau akan melihat kepalamu sendiri digantung di alun-alun, tanpa pengadilan.”
Ia menoleh pelan ke arah Bastian. “Bawa dia ke ruang pendingin.”
Bastian menahan gerakan sejenak. “Paduka… ruang itu belum dibersihkan sejak…”
“Aku tahu,” potong Maxime tanpa menoleh. “Itu sebabnya dia akan dibawa ke sana.”
Bastian memberi isyarat, dan dua penjaga menyeret si tahanan yang mulai meronta. Jeritannya menggema hingga keluar lorong penjara, namun Maxime hanya berdiri di tempat, matanya dingin dan tak tergoyahkan.
Setelah ruangan kembali tenang, Maxime berbicara pelan.
“Kau tahu apa yang paling membuatku muak?”
“Orang yang mencoba membunuh dari balik bayangan?” jawab Bastian hati-hati.
Maxime menoleh. “Bukan. Orang yang tidak tahu untuk siapa mereka bertarung.” Ia menatap gulungan lambang dua ular melilit tongkat berduri yang masih tergantung di dinding. “Kita harus potong kepala ular itu sebelum racunnya menjalar lebih jauh.”
Bastian mengangguk. “Saya akan mulai menghubungi unit penyusup malam ini.”
Maxime berjalan keluar dari ruangan, jubahnya berkibar pelan, tapi auranya masih terasa menggantung seperti kabut dingin. Di balik wajah tampannya, malam itu, Kaisar Aragon kembali menjadi sosok paling ditakuti di kerajaan—penguasa yang tak akan ragu mengorbankan darah demi melindungi wanita yang kini menjadi pusat dunianya.
double up thor
ya udah cerai aja vanesa