Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.
Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
Dokter Anya mulai merapikan alat-alatnya dengan cekatan. Ia melirik ke arah Kenzo sambil mengangguk kecil.
“Saya permisi, Tuan Kenzo. Tolong pastikan Nona Liana cukup istirahat dan jangan terlalu stres.”
Kenzo bangkit, mengangguk hormat. “Terima kasih, Dokter. Alex, antar beliau sampai ke rumahnya ,dan pastikan beliau sampai di tujuannya dengan aman.”
Alex yang sedari tadi berdiri tegak di depan pintu segera membungkuk ringan, “Siap, Tuan.”
Ia segera menggiring dokter Anya keluar dari kamar, sementara Kenzo kembali menatap Liana yang mulai merebahkan tubuhnya dengan pelan. Wajahnya masih pucat, tetapi lebih tenang.
“Liana, kamu istirahat dulu, ya. Aku akan minta orang untuk mengambil resep obatmu agar muntahnya bisa berkurang.” Suara Kenzo lembut, berbeda dari biasanya. Penuh perhatian.
Liana hanya mengangguk pelan, matanya setengah terpejam. Ia terlalu lelah untuk bicara. Kenzo merapikan selimutnya, lalu mengecup keningnya sekilas sebelum keluar dari kamar dengan langkah pelan. Ia menuju ruangan nya.
Kenzo menyandarkan punggung di kursi kerja, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Jemarinya mengetik cepat di layar ponsel, menekan nama Claudia. Beberapa detik kemudian, sambungan tersambung.
“Halo, sayang! Di sini rame banget. Kamu tahu fotografernya—”
“Claudia,” potong Kenzo dengan suara tenang tapi dalam.
Claudia langsung terdiam, mengenali nada serius di suara suaminya. “Ada apa, Kenzo?”
“Liana… dia hamil.”
Keheningan menyelimuti sejenak, lalu suara Claudia terdengar sedikit tercekat, “Apa? Kau serius?”
“Baru saja dokter memeriksanya. Dia positif hamil.”
Claudia tertawa pelan—tawa lega yang penuh semangat. “Akhirnya… Tuhan, aku senang sekali mendengarnya! Itu berarti rencana kita berhasil!”
Kenzo tersenyum tipis mendengar antusias istrinya.
“Kenzo, kamu harus pastikan Liana dan bayinya dirawat dengan sangat baik. Jaga dia, pastikan ia mendapatkan semua nutrisi yang dibutuhkan. Aku tidak mau terjadi sesuatu padanya atau anak itu.”
Kenzo mengangguk walau Claudia tak bisa melihatnya. “Tentu. Aku akan urus semuanya.”
Dan sebelum Kenzo sempat menutup panggilan, Claudia menambahkan dengan tegas, “Satu lagi. Aku akan mengirimkan sejumlah uang ke Sandra, sebagai pelunasan dari janji kita dulu. Dia harus tahu kalau kita menepati bagian kita.”
Kenzo menghela nafas dalam. “Baik. Aku akan pastikan semuanya berjalan lancar.”
“Kabari aku perkembangan selanjutnya. Aku akan minta asistenku langsung urus pengiriman uang ke Sandra hari ini juga. Dan Kenzo…”
“Ya?”
“Terima kasih sudah menjalankan bagianmu dengan baik.”
Panggilan berakhir. Kenzo menatap layar ponsel sesaat sebelum meletakkannya. Di matanya, terselip kilatan tanggung jawab yang semakin berat—bukan hanya karena rencana, tapi karena kini ada nyawa yang harus ia jaga… dan mungkin, perasaan yang mulai tumbuh tanpa ia sadari.
*
*
*
Sementara itu, di sebuah rumah sederhana namun dipenuhi perabot mencolok hasil dari keserakahan, Sandra tampak tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia baru saja menutup sambungan telepon dari Claudia, dan senyumnya merekah lebar dari telinga ke telinga.
"Ha! Akhirnya!" desisnya dengan mata berkilat. "Liana benar-benar berhasil hamil!"
Ia tertawa puas, seolah dunia sedang memuja keberhasilannya. Di tangannya, ponsel masih menggenggam pesan transfer yang belum masuk, namun Claudia sudah menjanjikan bahwa uang itu segera ditransfer hari ini juga.
“Uang segar… dan jumlahnya bukan main-main,” gumam Sandra seraya berdiri dari sofa dan berjalan ke arah cermin besar di ruang tamu. Ia membelai pipinya sendiri, lalu menyibak rambutnya ke belakang sambil membayangkan dirinya mengenakan kalung emas besar, anting berlian, dan cincin batu zamrud.
"Aku akan beli perhiasan! Ya, yang paling besar, paling mencolok! Biar semua tetangga yang dulu meremehkan aku bisa lihat! Lihat kalau aku juga bisa hidup mewah!"
Bayangan masa lalu menari di kepalanya—tatapan sinis para tetangga saat ia harus berhutang sana-sini, cemoohan saat suaminya lumpuh , tak membawa kebanggaan untuknya. Dan kini, balas dendamnya terasa begitu dekat.
Ia berbalik menuju lemari, mengeluarkan brosur toko emas yang dulu ia simpan diam-diam. Matanya menatap penuh nafsu pada gambar kalung emas tebal dan gelang berdesain mewah.
“Claudia benar-benar wanita pintar,” bisiknya sendiri, “tak perlu repot-repot urus bayi, cukup kirim Liana, dan aku dapat uangnya…
Suasana rumah itu sepi, hanya terdengar suara kipas angin tua yang menderu malas dari pojok ruangan kamar hartawan. Di sudut kamar yang pengap, Hartawan terbaring di ranjang kayu tua, tubuhnya lemah tak berdaya, separuh tubuhnya lumpuh sejak bertahun-tahun lalu. Matanya kosong menatap langit-langit, sesekali berkedip menahan rasa sakit—bukan hanya dari fisiknya, tapi juga dari luka batin yang tak pernah sembuh.
Sandra, dengan langkah cepat dan penuh semangat, masuk ke kamar sambil menenteng ponsel di tangannya. Notifikasi transfer yang baru saja masuk masih menyala di layar: sejumlah uang besar telah berpindah ke rekeningnya. Senyumnya mengembang seperti orang yang baru memenangkan undian lotre.
“Lihat ini, Pak!” serunya lantang, membuat Hartawan yang sedang mencoba terlelap sedikit tersentak. “Akhirnya uang itu masuk juga! Ha! Claudia benar-benar menepati janjinya!”
Ia menghampiri ranjang, lalu mengangkat layar ponsel ke depan wajah suaminya.
“Lihat, lihat! Liana akhirnya hamil! Dan ini—ini bayaran dari hasil kerja kerasnya! Dari rahimnya! Ha ha ha!”
Hartawan hanya diam. Matanya menatap ponsel itu lama, kosong. Ada getaran di rahangnya yang menandakan ia sedang menahan sesuatu— marah, tapi kesedihan yang teramat dalam.
“Dulu kau bilang anak itu harus dijaga, dirawat baik-baik,” lanjut Sandra, mulutnya tak berhenti berbicara seperti mesin. “Tapi lihat, dia lebih berguna begini. Kalau dia belum juga hamil, mana mungkin Claudia kirim uang sebanyak ini?”
Ia terkekeh, seperti iblis yang baru saja memenangkan taruhan dosa.
“Aku akan beli emas, Pak. Emas! Dan aku akan pakai waktu belanja ke pasar. Biar ibu-ibu yang suka nyinyir itu tahu siapa Sandra sekarang! Hah! Dulu mereka hina aku, bilang aku cuma istri pemalas yang hidup dari belas kasihan. Tapi sekarang? Aku punya uang, Pak! Banyak uang!”
Hartawan perlahan menggeleng lemah. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Sandra…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Itu… itu anakku… Liana… darah dagingku…”
Sandra tak menggubris. Ia terus berbicara, sibuk dengan rencananya membeli perhiasan dan tas baru. Tapi suara Hartawan makin lirih, makin mengiris hati.
“Aku gagal, Sandra… Aku gagal jadi ayah… Kau jual anakku… seperti barang… dan aku tak bisa berbuat apa-apa…”
Air matanya jatuh. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena luka yang terlanjur menganga terlalu dalam. Ia mencoba menoleh, tapi lehernya terlalu kaku. Hanya tangis tertahan yang bisa ia keluarkan saat ini.
“Liana… maafkan ayahmu, Nak…” isaknya lirih.
Sandra masih saja tertawa puas, membalikkan badan sambil melangkah keluar kamar.
“Jangan menangis, Pak. Kita akan hidup enak sekarang. Berterima kasihlah pada anakmu itu! Dia sudah membayar pengorbanan mu!”
Pintu kamar tertutup. Tinggallah Hartawan sendiri, dikelilingi sepi dan gelap. Air matanya mengalir deras. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis. Anak yang dulu ia peluk dengan cinta, kini telah dijual oleh wanita yang seharusnya menjaganya.
Dan di sudut hatinya yang paling dalam, ia tahu: bukan hanya tubuh Liana yang dijual—tapi harga diri, cinta, dan kasih sayang yang selama ini ia bangun.
Sore itu, Vika pulang kerja dengan wajah lelah. Sepatu haknya menjejak lantai rumah, dan matanya langsung tertuju pada pemandangan yang tak biasa: meja ruang tamu penuh makanan cepat saji, bungkus berserakan, dan suara TV menggema keras memutar acara gosip selebriti.
"Ada apa ini..." gumamnya.
Begitu masuk, Sandra langsung berdiri dan menghampiri Vika dengan senyum lebar. Ia memeluk putrinya erat, tak bisa menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya.
“Vika, sayangku! Mama bahagia banget hari ini. Akhirnya, yang kita tunggu-tunggu terjadi juga!”
Vika ikut tersenyum. Wajah lelahnya perlahan berubah menjadi cerah. Ia melepas pelukan itu dan menatap ibunya dengan rasa penasaran.
"Apa, Ma? Ada apa sih? Mama kayak habis menang hadiah arisan besar."
Sandra tertawa puas, lalu menarik Vika duduk di sofa. Ia menunjukkan ponselnya, memperlihatkan notifikasi transfer uang dengan nominal yang sangat besar.
“Ini dari Claudia! Karena Liana... hamil! Hahaha! Akhirnya uang itu cair juga!”
Vika terkejut, lalu matanya menyipit. Ia ikut tertawa kecil, bukan karena syukur untuk Liana, tapi karena melihat ibunya berhasil.
"Akhirnya juga ya, Ma. Gadis tolol itu bisa juga menghasilkan sesuatu.”
Sandra mengangguk cepat. “Mama udah bilang, selama ini kita nggak rugi apa-apa. Dia cuma alat. Alat untuk kita hidup enak. Claudia udah janji, kalau dia berhasil hamil, semua akan Mama dapat. Dan lihat, janji itu ditepati.”
Vika menatap ibunya dengan kagum dan bangga. Ia tahu ibunya pintar memanipulasi keadaan. Lalu ia menatap ponsel Sandra, tersenyum miring.
"Jadi, Mama mau beli apa dulu? Kalung emas atau tas bermerek buat bikin panas tetangga?"
Sandra tertawa keras. “Kita beli semua, Vik! Mama mau mereka tahu... bahwa sekarang hidup kita udah naik kelas!”
Mereka berdua tertawa puas, tanpa sedikit pun rasa bersalah atau empati terhadap Liana—yang sedang hamil dan tidak tahu apa-apa soal rencana busuk itu.
Kebahagiaan mereka dibangun di atas pengkhianatan dan penderitaan.
Setelah suasana sedikit tenang, Vika duduk santai di sofa sambil membuka sepatu haknya. Ia meletakkan tas kerja di samping dan melirik sang mama yang masih tersenyum senang sejak tadi.
"Ma... aku juga punya kabar bahagia."
Sandra menoleh penasaran. "Apa lagi, Sayang?"
"Di kantorku, aku kenal sama seorang pria luar biasa, Ma. Namanya Kenzo... Kenzo Wiratama."
Vika menyebut nama itu dengan pelan tapi penuh kekaguman.
"Kenzo Wiratama? Yang punya perusahaan besar itu?"
Sandra langsung duduk lebih tegak.
"Iya, Ma. Dia anak keluarga Wiratama. Ganteng banget, dingin, karismatik, dan jelas-jelas punya masa depan cerah. Aku tuh kerja di bawah departemen yang dia awasi langsung. Dan... entah kenapa, dia suka senyum kecil ke aku."
"Wah, itu artinya dia mulai tertarik, Vi," ucap Sandra sambil mengangguk puas. "Kamu jangan buang kesempatan."
"Tenang, Ma. Aku bukan gadis biasa. Aku tahu cara menarik perhatian pria kayak Kenzo. Pelan-pelan... aku akan buat dia mengenal aku lebih dekat. Lalu sisanya tinggal waktu."
Sandra tersenyum lebar.
"Itu baru anak Mama. Kalau kamu bisa menaklukkan Kenzo , hidup kita bakal berubah total. Mama yakin kamu bisa."
"Tentu, Ma. Aku ini bukan Liana yang bodoh dan miskin. Aku tahu apa yang aku mau. Dan kali ini, aku mau dia."
Di sudut ruang tamu sore itu, dua perempuan berbeda generasi bersatu dalam ambisi dan rencana. Vika menggenggam mimpi besar, dan Kenzo…bosnya ,kini menjadi target berikutnya.