NovelToon NovelToon
Rojali Dan Ratih

Rojali Dan Ratih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Ilmu Kanuragan
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RR 16

Pagi pun tiba.

Burung-burung mulai berkicau riang, menyambut mentari yang perlahan menyapu langit. Hembusan angin pagi terasa dingin, menggigit kulit namun membawa ketenangan.

Di salah satu rumah sederhana, seorang anak kecil menguap lalu bangkit dari tidurnya. Namanya Budi, usia tujuh tahun. Ia sebenarnya sudah dilarang orang tuanya untuk keluar rumah pagi-pagi. Warga masih takut—amarah juragan Harsono bukan hal sepele. Semua orang menunggu pengumuman resmi dari pengurus warga.

Tapi naluri anak-anak tak bisa dibendung. Budi tak peduli ancaman, apalagi kalau sudah menyangkut main ke sawah. Kemarin sore dia membuat jebakan burung, dan semalaman ia bermimpi mendapat burung merpati besar.

“Mamaaaaak!” teriak Budi sambil berlari dari depan rumah.

Seorang wanita paruh baya buru-buru keluar dari dapur. Wajahnya panik sekaligus marah. Itu Rosidah, ibunya. Ia sudah siap dengan sapu lidi di tangan.

“Budi! Kamu ya! Dasar anak nak—”

Namun kata-katanya terputus.

Ia membeku ketika melihat apa yang ditunjukkan anaknya.

“Ibu... itu ada uang... sama bata kuning,” kata Budi polos sambil menunjuk ke sudut depan rumah.

Rosidah mendekat. Matanya membelalak. Di sana, ada segepok uang tunai yang dibungkus rapi, dan di sebelahnya sebuah batangan emas kuning mengilap.

Dengan tangan gemetar, Rosidah mengambil emas itu dan menggigitnya perlahan.

“Asli…” bisiknya tak percaya.

Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca. Ini... bukan mimpi?

Dan ternyata bukan hanya mereka.

Pagi itu, hampir setiap rumah di kampung menemukan hal serupa: uang tunai dan batangan emas di depan pintu, di dapur, bahkan di kandang ayam.

Semua orang terdiam, bingung, kaget… dan pelan-pelan, suara bisik-bisik mulai menyebar:

Pagi itu, pengurus warga akhirnya memberi pengumuman: “Kondisi sudah aman. Warga diperbolehkan beraktivitas seperti biasa.”

Kabar itu disambut lega, tapi juga dengan rasa penasaran. Yang paling ditunggu-tunggu adalah kabar soal rumah Karman, tempat di mana Rojali tinggal bersama Ratih. Semua warga menahan napas, membayangkan kemungkinan terburuk.

Dalam benak mereka, rumah itu pasti sudah berantakan, atau bahkan rata dengan tanah. Maklum, setelah Rojali berani menantang Harsono, mereka yakin pembalasan besar akan datang. Dan tentu saja, semua kesalahan akan ditumpahkan ke Ratih. Cap “pembawa sial” makin dalam tertanam di mata warga.

Soal uang dan emas yang muncul di tiap rumah? Mereka memilih bungkam. Biasalah—kalau kekurangan uang, cerita ke mana-mana. Tapi kalau kebanyakan uang? Diam, takut dipinjam atau diambil anak buah Harsono yang terkenal suka memalak.

Namun yang mereka saksikan pagi itu... justru membuat mulut mereka ternganga.

Bukan rumah yang rata dengan tanah. Bukan api. Bukan kekacauan.

Melainkan pemandangan yang sangat berbeda.

Di halaman rumah Karman, terlihat Rojali sedang membakar sampah dengan tenang. Sementara itu, Ratih yang dikenal pendiam, terlihat menyapu halaman sambil tersenyum. Sinar matahari pagi memantul dari rambutnya yang digerai pelan.

Lalu dengan jahil, Ratih mencoret wajah Rojali dengan arang.

Rojali hanya tersenyum. Dengan cepat, ia membalas dengan memeluk Ratih lalu menggendongnya berkeliling halaman.

Siapa pun yang melihat pemandangan itu, hanya bisa diam… lalu iri.

..

..

Sementara itu, di sisi lain kampung, rumah megah milik Harsono dijaga ketat. Puluhan anak buahnya berjaga di gerbang dan halaman depan. Warga dilarang mendekat. Siapa pun yang nekat, langsung diusir dengan tatapan tajam dan mulut penuh ancaman.

Namun, dari kejauhan saja, kerusakan rumah itu sudah terlihat jelas.

Pintu gerbang yang kokoh kini runtuh. Mobil-mobil mewah yang biasa dipamerkan, hancur seperti habis diinjak raksasa. Taman-taman yang dulu terawat, kini hanya kumpulan tanaman mati dan tanah berserakan. Rumah megah itu kini lebih mirip sisa peperangan.

Warga yang melihat dari kejauhan hanya bisa saling pandang.

Tak ada yang berani berkomentar terlalu keras. Tapi di balik bisik-bisik dan raut wajah, sebagian besar… senang.

Bukan karena suka melihat kehancuran. Tapi karena untuk pertama kalinya, sosok Harsono yang selama ini menebar teror dan arogansi, terluka. Bagi sebagian warga kecil, itu seperti keadilan yang tak pernah mereka harapkan datang.

Namun, tak ada yang percaya kalau Rojali adalah pelakunya.

“Mana mungkin… dia cuma orang gila,” bisik seseorang.

“Paling-paling, Harsono senggol orang penting dari kabupaten,” sambung yang lain.

Itulah penjelasan paling masuk akal bagi mereka. Bahwa Harsono menyinggung pejabat atau orang kaya dari luar kampung—itu bisa dipercaya. Tapi kalau Rojali yang melakukannya?

Terlalu gila untuk jadi kenyataan.

Dan mungkin... karena kebenaran yang terlalu luar biasa, orang lebih nyaman percaya pada kebohongan yang masuk akal.

..

..

Hari itu, suasana kampung kembali heboh.

Sebuah mobil mewah berplat dinas pemerintahan berhenti tepat di depan rumah Karman. Warnanya mengilap, pelat nomornya mencolok. Warga yang melihat hanya bisa melongo dari balik tirai atau pagar bambu. Jarang sekali ada mobil seperti itu datang ke kampung kecil mereka—apalagi berhenti di rumah orang seperti Karman.

Yang turun dari mobil adalah Bagas, bersama seorang pria berkemeja rapi—Sardi, saudaranya yang katanya kerja sebagai pegawai biasa di kantor kabupaten. Dengan alasan “tugas luar”, Sardi bisa memakai mobil dinas itu untuk datang ke desa. Tapi tentu saja, alasan itu tak penting bagi warga.

Yang penting adalah kesan.

Dan kesan itu langsung jadi bahan gosip sepanjang hari.

“Wah, rupanya si Bagas yang menyelamatkan keluarga Karman dari kemarahan Harsono,” bisik seorang ibu sambil menyapu halaman.

“Iya… pantas aja Sinta beruntung. Ternyata memang pembawa berkah,” sahut tetangganya.

“Sepertinya keluarga Karman bakal jadi keluarga nomor satu di desa nih,” gumam seorang bapak di warung kopi.

Gosip pun menyebar seperti angin.

Padahal tak ada satu pun yang tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi semalam.

Tak ada yang tahu soal Rojali.

Tak ada yang paham bahwa bukan Bagas yang menyelamatkan siapa pun.

Tapi begitulah cara desa bekerja—apa yang terlihat lebih dipercaya daripada apa yang benar-benar terjadi.

Sardi dan Bagas melangkah masuk ke teras rumah Karman. Hari ini mereka datang untuk mengecek persiapan pernikahan Bagas dengan Sinta. Suasana rumah tampak lebih hidup dari biasanya.

Pintu depan terbuka pelan. Sinta muncul dengan wajah ceria, pipinya sedikit memerah. Pandangannya sesekali mencuri-curi lihat ke arah Sardi yang mengenakan seragam dinas. Di mata Sinta, pria seperti itu—rapi, wangi, dan dari kabupaten—adalah simbol kebanggaan tersendiri di desa kecil mereka.

Tak lama, Narti datang menyambut dengan wajah penuh haru. Matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar karena campuran syukur dan kekaguman.

“Nak Bagas, terima kasih ya... Kalau tidak ada kamu, ibu nggak tahu nasib keluarga ini akan seperti apa...” ucap Narti tulus sambil menatap Bagas.

Bagas terdiam sejenak, mencoba mencerna maksud ucapan itu. Ia memang datang, tapi belum benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi semalam.

“Oh… tidak masalah, Bu. Itu hal kecil saja,” jawabnya dengan senyum canggung.

Narti lalu menoleh ke arah Sardi, matanya penuh rasa hormat.

“Untung saja Nak Bagas punya saudara yang kerja di kabupaten. Terima kasih ya, Pak… Kalau bukan karena Bapak, ibu benar-benar bingung harus bagaimana menghadapi amukan anak buah Harsono…”

Sardi menegakkan tubuh. Ia tersenyum lebar. Di kantor, ia sering dipandang sebelah mata karena jabatannya masih rendah. Tapi di sini, di kampung ini… ia seperti pahlawan. Dan pujian dari Narti terasa seperti balasan atas semua rasa diremehkan yang selama ini ia telan.

“Oh, tidak apa-apa Bu, itu hanya bantuan kecil,” kata Sardi dengan nada percaya diri. “Lagi pula, sebentar lagi kita akan jadi keluarga.”

Ucapannya terdengar penuh kebanggaan.

1
Purnama Pasedu
kerenkan ratih
saljutantaloe
lagi up nya thor
Ninik
kupikir lsg double up gitu biar gregetnya emosinya lsg dapet
Ibrahim Efendi
lanjutkan!!! 😍😍😍
Ranti Calvin
👍
Purnama Pasedu
salah itu
Purnama Pasedu
sok si kamu sardi
Ibrahim Efendi
makin seru!! 😍😍
Purnama Pasedu
pada pamer,tapi jelek
Purnama Pasedu
nah loh
Ninik
edaaannn....kehidupan macam apa ini
saljutantaloe
nah loh pusing si Narti jdinya
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
saljutantaloe
nah gtu dong ratih lawan jgn diem aja skrg kan udh ada bg jali yg sllu siap membela mu
up lg thor masih kurang ini
Purnama Pasedu
telak menghantam hati
Purnama Pasedu
jurus apa lagi rojali
Purnama Pasedu
tapi kosong ucapannya
Purnama Pasedu
kayak pendekar ya
saljutantaloe
widih bg jali sakti bener dah
bg jali bg jali orangnya bikin happy
Sri Rahayu
mantap thor..
sehat selalu
saljutantaloe
seru thor ceritanya up banyak" thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!