Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 – Janji yang Ditepati
Hujan turun pelan-pelan malam itu, rintiknya seperti jari-jari yang mengetuk atap rumah dokter Ardi. Ruangan arsip pribadinya berbau kertas tua dan alkohol medis—tempat semua hal yang tidak boleh diketahui dunia disembunyikan.
Ia duduk lama di kursi putar, menatap map cokelat dengan tulisan tangan kecil:
NAYARA R.
KELAHIRAN KEMBAR
Map itu tampak ringan.
Tapi isinya… terlalu berat untuk satu orang.
Dokter Ardi membuka perlahan—foto USG, data kelahiran, formulir consent, tulisan tangan Nayara, bahkan rekaman suara singkat: doa lirih sebelum persalinan yang tidak pernah ia putar lagi.
Ia mengusap wajah, lelah.
Bukan lelah tubuh—lelah menyimpan sesuatu yang bukan miliknya.
“Seharusnya aku tidak campur sejauh ini,” gumamnya.
Tapi ia tahu itu bohong.
Kadang kebenaran bukan tentang benar atau salah… hanya tentang siapa yang berani menanggungnya.
Ia memasukkan semua dokumen itu ke lemari arsip pribadi, menutupnya rapat. Kuncinya ia putar, bunyinya klik kecil namun terasa seperti mengunci seluruh hidup orang lain.
Sebelum memadamkan lampu, ia berkata pelan—entah untuk siapa,
> “Jangan buka.
Kecuali karena kebenaran.”
Kalimat itu menggantung di udara.
Dan entah kenapa… ruangan itu terasa semakin sempit.
Kontrakan Nayara gelap kecuali cahaya kuning redup dari lampu dapur. Aru tidur pulas, napasnya naik turun seperti gelombang kecil yang menenangkan.
Nayara duduk di sampingnya—lutut tertekuk, tangan gemetar halus.
Matanya merah, tapi tidak ada air mata tersisa.
Ia membelai rambut halus Aru, seakan tiap sentuhan adalah permintaan maaf.
“Aku sudah menepati janjiku…” suaranya pecah di tengah. “Tapi rasanya… aku kehilangan separuh jiwaku di rumah itu.”
Ia menutup wajah dengan tangan.
Ada sesuatu di dalam dirinya yang sepi… sepi yang tidak bisa ia bagi ke siapa pun.
Nadim tertidur di lantai dengan selimut tipis. Anak itu terlalu kecil untuk menanggung kecemasan sebesar ini, tetapi ia tetap memeluk kakaknya setiap malam seolah Nayara bisa hilang kapan saja.
Nayara menatap Aru. “Maafin Ibu, ya… kamu lahir kembar… tapi harus tumbuh dengan cerita yang pincang.”
Aru bergerak kecil.
Seolah menjawab.
Atau mungkin… hanya ilusi dari seorang ibu yang kelelahan.
Nayara menarik napas panjang, menahan suara tangis yang tidak boleh keluar.
> “Kamu dua-duanya darahku. Dua-duanya dagingku. Tapi dunia cuma mengizinkan satu yang tinggal di pelukan ini.”
Kalimat itu seperti membelah dirinya dari dalam.
Rumah Karina dan Rendra begitu terang malam itu. Semua lampu menyala, ruangan terasa hangat dan tenang—kebalikan dari kontrakan Nayara.
Karina sedang memotret Aruna yang tidur di boks bayi. Selimut pink, boneka kecil, udara wangi—betapa sempurnanya gambar itu.
“Cantiknya anak Mama…” bisiknya.
Ia tidak sadar ada getaran kecil di suaranya.
Bukan haru.
Bukan bahagia.
Sesuatu yang lebih rumit dari itu.
Rendra berdiri di belakang, melihat dari jauh.
Foto yang diambil Karina terasa… indah.
Terlalu indah.
Ia membuka ponsel, melihat foto lain—foto yang ia ambil diam-diam dulu, waktu Nayara masih hamil besar di rumah sakit.
Tatapan Nayara saat itu… berbeda.
Tidak glamor.
Tidak bahagia.
Tapi penuh… sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Rendra mematikan layar cepat-cepat, seperti seseorang yang tertangkap melakukan kesalahan yang ia sendiri tidak mengerti.
Karina mendekat. “Lihat nih, Ren. Aruna mirip kamu banget.”
Rendra tersenyum. “Iya… mirip.”
Tapi dalam hatinya muncul kalimat yang tidak ia berani gumamkan:
Atau mungkin… mirip seseorang yang tidak boleh lagi ia pikirkan.
Karina duduk, memeluk Rendra dari samping. Ia menaruh kepala di bahu suaminya.
“Terima kasih ya,” ucapnya tiba-tiba. “Kamu udah berjuang sejauh ini buat kita punya keluarga.”
Rendra menelan ludah, menatap Aruna lama sekali.
“Ya…” katanya pelan. “Keluarga.”
Kata itu menggantung.
Tidak jatuh.
Tidak berdiri.
Dini hari.
Langit seperti abu.
Nayara terbangun oleh suara Aru yang merintih kecil. Ia menggendong, menenangkan. Aroma bayi, hangat tubuhnya… itu satu-satunya yang membuat Nayara masih berdiri.
Saat ia ingin menidurkan Aru kembali, ponsel baru di atas meja kedip sekali.
Satu pesan muncul.
Nomor asing.
Tidak ada nama.
“Aku menemukan sesuatu. Kita harus bicara.”
Nayara membeku.
Pesan itu bukan ke nomor lamanya.
Bukan ke nomor Nadim.
Tapi ke nomor baru yang hanya satu orang tahu.
Satu.
Dokter Ardi.
Nayara menelan ludah.
Jantungnya berdebar kacau.
“Apa yang terjadi… Dok?” bisiknya.