Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sepuluh
Tissa membeku beberapa detik setelah melihat sobekan panjang di punggung kebaya itu. Tatapannya berubah, dari kesal, ke kaget, lalu ke panik. Tapi seperti biasa, bukan panik karena merasa bersalah, melainkan karena takut menghadapi Papa.
“Astaga … astaga ini beneran sobek… gimana nih, gimana nih …,” gumamnya cepat sambil memegang kain yang sudah koyak.
Kirana hanya berdiri di tempat, napasnya naik turun, tubuhnya terasa kosong seperti semua emosi tiba-tiba tersedot keluar. Kebaya itu satu-satunya barang yang ia simpan sambil bermimpi bisa memulai hidup bahagia. Yang ia lipat rapi setiap malam. Yang ia sentuh dengan hati-hati, seolah kain itu bisa mengerti bagaimana ia sakit saat ini.
Kini robek. Robek karena orang yang selama ini merusak hidupnya.
Tissa menoleh ke arah Kirana, lalu langsung mendengus sebal dan dramatis. “Ini semua gara-gara kakak sih! Kalo kakak nggak narik-narik, nggak bakal sobek!”
Kirana tidak menjawab. Tidak bisa. Tenggorokannya seperti tersekat.
Melihat Kirana diam, Tissa malah makin besar kepala. Ia memutar mata, lalu dengan kesal berkata,
“Ugh! Yaudah. Aku buka! Males banget lihat kebaya sobek begini.”
Tanpa malu sedikit pun, tanpa rasa bersalah sedikit pun, Tissa langsung membuka kebaya itu dengan gerakan cepat. Kancingnya ia lepas satu-satu dengan kasar. Begitu bagian atasnya terlepas, ia juga melepas roknya yang robek.
Kebaya itu kini berada di tangannya, sebelum akhirnya dilemparkan begitu saja ke arah Kirana.
“Nih! Ambil! Dasar pelit! Aku bakal bilang ke Papa dan Mama! Biar Papa tau kalo kakak kasar sama aku!” Tissa berteriak sambil menunjuk wajah Kirana.
Kirana hanya diam. Bahkan ketika kebaya itu mengenai dadanya lalu jatuh ke lantai, ia tetap tidak bergerak.
Tissa mendengus dengan suara keras, kemudian berjalan melewati Kirana sambil mengangkat dagu. “Pokoknya Papa harus tau! Kakak bakal kena marah!”
Tissa berlalu dengan langkah cepat, sandal rumahnya berdecak keras di lantai. Pintu kamarnya dibanting. Rumah kembali sunyi.
Kirana akhirnya berjongkok perlahan. Tangannya meraih kebaya itu. Kain putih gading itu terasa kasar sekarang, karena sobekan yang mencabik seluruh pinggang bagian belakang.
Ia menyentuhnya dengan ujung jari. Jemarinya bergetar.
“Kok bisa …,” bisiknya. “Kok bisa sampai hancur begini .…”
Dadanya terasa sangat berat. Air matanya jatuh sendiri tanpa bisa ia tahan. Ini bukan soal kebaya saja tapi karena semua luka yang ia pendam. Semua ketidakadilan yang ia telan. Semua suara yang ia diamkan demi menjaga keluarga yang bahkan tidak menganggapnya keluarga.
Ia berdiri pelan, keluar dari kamar, dan berjalan menuju teras. Kebaya itu masih ia peluk, seperti sisa mimpi yang memudar. Langkahnya goyah, namun ia berhasil duduk di kursi rotan di teras.
Angin sore menyentuh wajahnya dengan lembut, tetapi tidak mampu menghapus rasa sakit di dadanya.
Kirana menutup wajah dengan kedua tangan. Suara tangisnya pecah, tertahan namun jelas. Bahunya bergetar.
Ia menangis lama. Sangat lama, sampai suara kunci motor terdengar berhenti di depan pagar.
Samudera baru saja turun dari motornya ketika ia melihat sosok Kirana di teras. Rambut Kirana berantakan, wajahnya tersembunyi di balik tangan, bahunya naik turun karena menangis.
Samudera langsung panik, tapi bukan panik yang ribut dan heboh. Panik yang diam tapi langsung bergerak.
“Mbak Kirana ...,” panggilnya pelan.
Kirana tidak menjawab. Bahkan tidak menoleh. Tangisnya makin jelas. Samudera langsung membuka pagar tanpa basa-basi dan berjalan cepat mendekati teras.
“Hei … hei …,” ia berjongkok di depan Kirana. “Mbak, kamu kenapa?”
Ketika Kirana menurunkan tangannya, Samudera melihat kebaya yang robek itu di pangkuannya. Mata Kirana sembab, merah, dan penuh rasa sakit yang seakan ingin tumpah lagi. Samudera merasa dadanya ditusuk.
“Astaga … siapa yang ....”
“Sam …,” suara Kirana patah. “Keb … kebayanya rusak .…”
Samudera terdiam, menatap sobekan besar itu. Kemudian ia menatap wajah Kirana. Dan ia mengerti, tidak perlu penjelasan panjang. Samudera menarik napas panjang.
“Udah. Sini.” Ia berdiri, lalu meraih tangan Kirana pelan. “Ayo. Ikut aku.”
Kirana mendongak bingung. “Sam … mau ke mana?”
“Ke mana aja. Yang penting bukan di rumah ini.”
Kirana menatap pintu rumahnya sejenak, rumah yang baginya tempat bernaung sekaligus tempat paling sesak di dunia. Ia tidak tanya apa-apa lagi. Tidak butuh alasan. Tidak butuh penjelasan. Ia hanya berdiri, meraih kebaya itu, lalu mengikuti Samudera menuju motor.
Samudera mengulurkan helm cadangannya. “Pake ini. Kita pergi.”
Kirana memakainya perlahan. “Sam … aku … aku capek.”
“Aku tau.”
Suara Sam rendah, tapi hangat.
“Makanya ikut aku.”
Tanpa ragu, Kirana naik ke motor itu. Mereka melaju meninggalkan rumah, meninggalkan segala keributan, segala luka, segala suara yang membuat Kirana sesak.
Setengah jam kemudian, angin pantai menyapa mereka. Gelombang memukul bibir pantai dengan lembut. Cahaya senja sudah digantikan langit biru gelap yang penuh bintang tipis. Udara tenang, jauh dari hiruk pikuk kota.
Samudera mematikan motor dan menyandarkannya di dekat batu besar. Kirana turun perlahan, masih membawa kebaya itu.
Samudera menatapnya sekilas, memastikan Kirana kuat berjalan. Lalu ia menuntun langkah mereka menuju pinggir pantai.
“Kamu bisa cerita sekarang,” kata Samudera pelan begitu mereka duduk di pasir.
Kirana menggigit bibir. Ia memeluk kebaya itu erat, lalu perlahan berkata, “Tissa … dia masuk kamarku tanpa izin. Terus … dia pake kebaya ini.” Suaranya bergetar.
Samudera langsung menggeretakkan gigi pelan. “Sialan, terus.”
Kirana melanjutkan, “Aku suruh dia buka … tapi dia malah tarik-tarikan sama aku. Terus … sobek.” Air mata Kirana jatuh, satu demi satu. Baru kali ini dia bisa cerita apa yang dia rasakan.
“Itu … itu kebaya yang aku simpan buat hari aku … nikah. Bahkan setelah Irfan ninggalin aku, aku masih pengen nyimpen. Aku kira .…” Suaranya terdengar pelan. “Aku kira suatu hari aku bisa pake kebaya ini lagi. Buat seseorang yang lebih baik .…”
Samudera terdiam. Bukan karena tidak tahu harus berkata apa, tetapi karena ia sedang menahan emosi yang menggelegak. Ia tidak tahan melihat Kirana menangis.
Lalu, setelah beberapa detik, Sam mendekat sedikit. Ia mengambil kebaya itu dari tangan Kirana, memegangnya dengan dua jari.
“Hm.” Ia mengamatinya sambil mendecak.
“Kirana.”
“Hm…?”
“Buang aja.”
Kirana spontan mendongak. “Hah?”
Samudera menatapnya, wajahnya serius tapi suaranya santai.
“Buang. Nggak usah disimpen.”
Kirana mengerutkan dahi. “Sam … ini kebaya ....”
“Kebaya yang kamu pakai untuk nikah sama mantanmu.”
Kirana terdiam. Samudera menatapnya lurus-lurus, tanpa kedip.
“Aku nggak mau kamu pake itu.” Nadanya terdengar tegas.
Kirana memelotot. “Lah … kenapa kamu yang ....”
“Tunggu dulu.” Samudera mengangkat bahu. “Kalau nanti kamu nikah sama aku, aku mau kamu pake kebaya baru, bukan kebaya bekas kenangan sama orang itu.”
Kirana tercekat. Wajahnya memanas.“Sam … kamu ngomong apaan .…”
“Ya bener lah.” Samudera menyenggol bahu Kirana. “Kalau buat nikah, aku beliin yang baru. Mau warna apa? Pink? Putih? Gold? Biru laut biar sama kayak nama aku?”
“Kamu berharga. Lebih berharga dari kain sobek itu. Jadi jangan biarin kebaya atau masa lalu nahan kamu.”
Kirana menggigit bibirnya. Senyumnya muncul perlahan, kecil, masih ragu, tapi nyata.
Ia tidak percaya. Tidak percaya seseorang bisa mengatakan hal yang seperti itu kepadanya dengan tulus.
“Sam .…” Kirana mengusap sisa air mata di pipinya. “Makasih.”
Samudera berdiri sambil mengambil kebaya sobek itu. “Ayo.”
“Mau ngapain lagi?”
Sam mengangkat kebaya itu tinggi-tinggi.
“Kita buang.”
“Hah?” Kirana terkejut.
“Kebaya ini udah bikin kamu sedih. Udah cukup. Buang ke laut. Biar dibawa arus.” Samudera menatapnya yakin. “Kamu nggak butuh kenangan yang nyakitin.”
Kirana menatap kebaya itu lama. Lalu akhirnya ia mengangguk pelan.
“Ya udah … buang.”
Samudera tersenyum, lalu menyerahkan kebaya itu ke Kirana. “Kamu yang lempar. Biar resmi.”
Kirana berdiri, menghadap lautan gelap yang berkilau oleh pantulan bintang. Angin pantai mengusap wajahnya.
Ia mengangkat kebaya itu, bekas mimpinya, bekas lukanya, bekas masa lalunya. Dengan napas panjang, Kirana melepaskannya. Kebaya itu melayang sebentar sebelum jatuh ke air, lalu terbawa ombak.
Kirana menutup mata, membiarkan angin menerpa tubuhnya. Ada perasaan lega. Sedikit. Tapi nyata.
Begitu ia membuka mata lagi, Samudera sudah berdiri di sampingnya dengan senyum lebar.
“Mantep.”
Kirana tertawa kecil. “Gila … aku nggak nyangka kamu nyuruh aku buang kebaya.”
“Lebih gila lagi kalau kamu simpen,” balas Sam.
Mereka tertawa bersama. Ringan. Jujur. Seperti semua beban di dada Kirana berkurang separuh.
Samudera menatapnya sekilas, lalu bertanya dengan suara rendah, “Kamu … lebih baik?”
Kirana mengangguk. “Iya. Lebih baik.”
Samudera tersenyum lega, senyum yang tanpa Kirana sadari, membuat dadanya ikut hangat. Angin pantai bertiup lagi. Bintang-bintang di atas mereka berkelip lembut.
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭