Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 9 : Pilihan yang Membuatnya Terjepit
Di tengah ruang yang hening itu duduk Mbah Lodra—punggungnya sedikit membungkuk, rambutnya yang memutih sebagian terurai di bahu. Tidak diikat seperti biasa. Ada keteduhan sekaligus keletihan di wajah orang tua itu.
Tak lama, langkah Dhyas terdengar pelan dari arah pintu. Ia membungkuk sopan.
“Guru,” ucapnya lirih.
“Marilah duduk, Dhyas,” kata Mbah Lodra dengan suara parau, namun tetap berwibawa.
"Terima kasih sudah berhasil menjalankan misi dengan baik. Kamu dan Cakra,"
"Sama-sama, Guru. Perjalanan tadi tidak mudah. Tapi syukurlah bisa terlampaui," ucap Dhyas menunduk.
Mbah Lodra batuk. Sejenak mengambil waktu mengatur napasnya,
“Ada perkara yang ingin aku bicarakan denganmu,"
Dhyas mengangkat wajahnya.
Mbah Lodra memandang murid perempuannya itu lama sekali, tatapan seorang guru yang mengenal setiap luka, setiap keteguhan, setiap pengorbanan yang pernah ditanggung siswanya.
“Dhyas,” Mbah Lodra memulai pelan, “Kamu telah menapaki empat tingkatan Giri Wening. Tidak ada muridku yang mencapai setinggi itu dalam usia semuda kamu,"
Dhyas kembali menundukkan kepala,
“Aku hanya melakukan apa yang Mbah ajarkan,"
“Tidak,” sang guru menggeleng perlahan. “Banyak yang belajar, tetapi tidak banyak yang sanggup menanggungnya. Ilmu ini bukan hanya perkara tenaga dan gerak. Ia menggerogoti batin, menguji jiwa,"
Dhyas terdiam.
Mbah Lodra menarik napas panjang sebelum melanjutkan,
“Aku sudah semakin renta. Waktu tinggal menungguku pulang kepada Yang Maha Kuasa. Sebelum itu datang, aku harus menurunkan ilmu tertinggi… Ilmu Purnama Nira,"
Nama itu meluncur pelan, namun berat seperti batu tua yang sudah lama diam di dasar bumi.
Dhyas mengangkat kepala sedikit,
"Guru bukan kah itu ilmu....,"
“Aku tahu,” sela Mbah Lodra.
Keheningan turun sejenak di antara mereka.
“Ilmu tingkat kelima itu… adalah pedang bermata dua,” lanjut Mbah Lodra, tatapannya tajam namun penuh sayang, “Jika dikuasai perempuan, ia menuntut satu syarat: jiwa harus tunggal. Tidak boleh ada dua nyawa dalam satu raga,"
Dhyas mengatupkan bibir. Dia sudah mulai paham maksud kalimat itu.
“Jika seorang perempuan kelak mengandung,” suara Mbah Lodra merendah, “ilmunya terbelah. Setengahnya hilang. Dan yang tersisa dapat menjadi bumerang bagi dirinya, membahayakan raganya, bahkan nyawanya.”
Dhyas menunduk makin rendah. Suaranya hampir tak terdengar saat ia berkata,
“Aku paham, Guru,”
Mbah Lodra memandangnya penuh iba,
“Dhyas… aku melihat masa depan padepokan ini dalam dirimu. Kamu muridku yang paling tekun, paling teguh. Tetapi aku juga melihat hatimu. Kau bukan orang yang hidup untuk dirimu sendiri. Kau mencintai terlalu dalam,"
Sebuah kilau sedih berkelebat di mata Dhyas.
“Aku tidak memintamu menjawab sekarang,” ujar sang guru. “Aku hanya ingin kamu mengerti bahwa setiap ilmu punya tuntutannya. Dan tuntutan yang satu ini… bukan sesuatu yang dapat ditanggung sambil setengah hati,"
Dhyas mengangguk pelan,
"Mbah… aku menghormati apa pun keputusan Mbah. Tetapi bolehkah aku mengatakan satu hal?”
“Katakanlah,"
Dhyas menarik napas panjang, lalu mengangkat wajahnya. Suaranya bening, tegas namun tidak keras,
“Semenjak aku kecil, tujuan hidupku hanya satu: melindungi orang-orang yang aku sayangi. Ilmu yang Mbah berikan selalu aku jaga. Tetapi… aku juga manusia. Aku punya masa depan. Aku punya cinta yang tak ingin aku lepaskan,"
Ada getar halus pada kata-kata terakhir itu, dan Mbah Lodra mengetahuinya dengan jelas.
Guru tua itu tersenyum samar, penuh pengertian, penuh luka.
“Dhyas… kamu anak baik,” katanya lirih, “Dan justru karena itu, aku tidak ingin ilmu ini menjeratmu. Ilmu ini tidak salah, tetapi tuntutannya terlampau berat bagi perempuan yang ingin membangun keluarga,"
Dhyas memejamkan mata, menahan sesuatu dalam dadanya.
“Aku ingin kau mempertimbangkannya dengan hati-hati,” lanjut Mbah Lodra. “Bukan demi padepokan ini. Bukan demi aku. Tetapi demi dirimu sendiri,"
Dhyas membuka mata, menatap gurunya,
"Terima kasih, Guru. Aku akan memikirkannya,"
Mbah Lodra mengangguk, kemudian menepuk bahu Dhyas perlahan, sentuhan yang mengandung banyak hal: doa, restu, sekaligus kekhawatiran.
“Pergilah dulu, Dhyas. Hatimu sedang kelelahan. Biarkan ia tenang sebelum kau ambil keputusan,"
Dengan penuh hormat, Dhyas menunduk, lalu bangkit perlahan. Namun sebelum melangkah keluar, Mbah Lodra kembali bersuara, suaranya nyaris seperti bisikan:
“Dhyas… kamu boleh memilih takdirmu sendiri. Jangan biarkan siapa pun memaksamu, termasuk aku,"
Dhyas berhenti sejenak. Lalu ia berkata pelan,
“Aku tahu, Guru… dan terima kasih.”
Dhyas kemudian berlalu, meninggalkan pendopo yang kembali sunyi, sementara Mbah Lodra duduk seorang diri, menatap sinar matahari yang jatuh di lantai, seakan sedang menimbang apakah keputusan yang harus ia buat akan menyelamatkan muridnya… atau justru menyakitinya.
**
Dhyas keluar dari ruangan pendopo Mbah Lodra. Udara terasa lebih dingin dibanding saat ia masuk tadi, entah karena angin yang berhembus atau karena isi percakapan yang masih menekan dadanya. Langkahnya pelan, hampir tanpa suara.
Di luar, di bawah pohon sawo tua, Cakra berdiri menunggu. Tubuhnya tegak, tetapi kedua tangannya terkepal, tanda ia sedang menahan cemas.
Begitu melihat Dhyas keluar, Cakra segera menghampiri.
“Dhyas,” panggilnya. Suaranya perlahan, tetapi sarat kegelisahan.
Dhyas mengangkat wajah, mencoba tersenyum meski senyumnya itu hanya tampak setengah,
"Cakra… kenapa berdiri di sini?,"
“Sejak guru memanggilmu.. Aku tidak tenang. Makanya aku menunggumu keluar,"
Dhyas berhenti beberapa langkah darinya. Ada sesuatu pada tatapannya, seperti seseorang yang baru saja memikul beban besar.
Cakra memahami ada yang berat, meski belum tahu apa,
“Apa yang guru katakan?” tanya Cakra hati-hati.
Dhyas menunduk sedikit,
“Banyak… terlalu banyak,"
Cakra menelan ludah.
“Tentang… ilmu kelima itu?,"
Dhyas tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap rumput di bawah kakinya.
Keheningan turun, tapi bukan hening yang menenangkan. Ini hening yang penuh ketakutan, terutama bagi Cakra, ketakutan akan jawaban yang mungkin ia tidak mampu dengar.
Akhirnya, Dhyas berkata pelan,
"Cakra, aku belum memberi jawaban pada guru,"
Cakra memejamkan mata singkat, seolah sedang mengucap syukur sekaligus takut gagal mengendalikan perasaannya,
“Dhyas,” suara Cakra merendah, “Kalau guru benar-benar ingin menurunkan ilmu itu padamu… apa kamu berniat menerimanya?,"
Pertanyaan itu menggantung di udara. Lama. Hingga nyaris membuat dada Cakra sesak.
Akhirnya Dhyas mengangkat wajah, menatap Cakra dengan mata yang jernih namun letih,
“Aku… belum tahu, Cakra. Aku harus memikirkannya.”
Cakra hampir membuka mulut, tetapi menahannya. Ada bara di dadanya, sesuatu yang ingin ia teriakkan, namun ia mengingat tekadnya, ia tidak boleh egois di hadapan perempuan yang selalu melindunginya sejak kecil.
Namun kata-kata itu tak tertahan sepenuhnya.
“Dhyas,” ucap Cakra lirih namun tegas, “Kalau kamu menerima ilmu itu… kamu tidak bisa menjalani hidup yang kamu inginkan. Kamu akan kehilangan sesuatu yang penting,"
Dhyas diam. Tatapannya melembut,
“Aku tahu," ucap Dhyas singkat.
Keduanya saling bertatapan. Ada cinta yang begitu jelas, tetapi juga ada ketakutan yang tak mudah disebutkan.
Cakra mengalihkan tatapannya.
“Dhyas…” Cakra kembali menatapnya, kali ini lebih dalam. “Aku mohon… jangan sampai ilmu itu merenggut masa depanmu. Masa depan kita,"
Kata terakhir itu meluncur tanpa sengaja.
Dhyas tertegun,
“Kita…?,"
Cakra menunduk cepat, tetapi Dhyas sudah melihat rona merah yang naik di wajahnya.
Sebelum Dhyas sempat merespons, dari kejauhan terdengar suara langkah tergesa, Ayudiah muncul sambil mengangkat keranjang berisi umbi dari dapur.
Begitu melihat keduanya berdiri begitu dekat, Ayudiah langsung berhenti.
“Oh… eh…” Ayudiah berdeham, pura-pura sibuk mengalihkan tatapan. “Aku tidak melihat apa-apa,"
"Memangnya apa yang kami perbuat, Ayu," teriak Cakra.
Tapi Ayudiah berbalik masuk ke arah dapur dengan umbi-umbinya.
"Kita pulang ya. Aku lelah," Dhyas lirih.
Cakra mengangguk, meski hatinya masih penuh kecemasan. Ia berjalan di samping Dhyas, tidak terlalu dekat, tetapi tidak juga menjauh.
Selama itu, ia hanya memikirkan satu hal:
Bagaimana cara melindungi perempuan yang ia cintai, bahkan dari keputusan yang mungkin diambilnya sendiri. Pilihan yang membuatnya terjepit.