Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20
Maura terbangun dengan tubuh yang terasa pegal. Saat beranjak dari tempat tidur, ia meringis pelan. Bagian bawah tubuhnya terasa perih, membuat langkahnya tertatih. Ia berjalan pelan menuju kamar mandi, berusaha tetap tenang sambil menahan rasa tidak nyaman. Di bawah pancuran air hangat, Maura mencoba membersihkan diri dan menenangkan pikirannya. Hatinya mulai gelisah, karena langit di luar jendela sudah menguning—menandakan hari menjelang sore. Oma pasti sudah sangat khawatir padanya.
Setelah selesai bersih-bersih, Maura berdiri di depan cermin, mengenakan pakaian dengan perlahan. Rasa nyeri masih membekas, tapi ia memaksakan diri untuk tampak biasa saja. Ia harus segera pulang.
Begitu ia keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang sudah rapi, ia terkejut melihat Shaka yang perlahan membuka mata. Tatapan Shaka langsung tertuju padanya, menatap Maura yang sudah bersiap hendak pergi.
“Kamu mau pulang?” suara Shaka serak namun penuh ketegasan.
Maura mengangguk pelan. “Sudah sore… Oma pasti khawatir.”
Shaka bangkit dari tempat tidur, menyentuh dahinya sebentar, lalu berdiri menghampiri Maura. Tatapannya tajam namun lembut, seakan bisa membaca apa yang sedang ditahan Maura.
“Aku antar,” ucapnya tegas.
“Nggak usah, aku bisa naik taksi—”
Shaka menatapnya dalam. “Aku tahu kamu sedang menahan sakit. Jangan keras kepala.”
Maura terdiam. Hatinya berdebar, bukan hanya karena kata-kata Shaka, tapi juga karena perhatian itu terasa tulus. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan.
Shaka segera mandi dengan cepat setelah selesai. Ia mengambil kunci mobil dan mengenakan jaketnya. Ia melirik Maura sekali lagi, memastikan gadis itu baik-baik saja, lalu menggandeng tangannya dengan pelan, membimbingnya keluar dari apartemen.
Hari mulai senja saat mereka melangkah menuju mobil, namun kehangatan di antara mereka masih menggantung di udara.
Tak lama kemudian, mobil hitam milik Shaka sudah terparkir rapi di parkiran mansion Oma Margaret. Langit mulai gelap, menyisakan cahaya jingga yang perlahan memudar. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya suara detak jarum jam dashboard yang terdengar samar.
Saat Maura hendak membuka pintu, tangan Shaka dengan lembut menarik pergelangan tangannya. Maura menoleh, menatap pria itu dengan bingung. Mata mereka bertemu, dan dalam sorotan matanya yang dalam, Shaka berkata pelan namun penuh makna,
“Terima kasih… untuk semuanya, Maura.”
Suara itu tidak keras, tapi cukup untuk membuat jantung Maura kembali berdebar tak beraturan. Ia hanya menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk kecil. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, tapi senyumnya yang samar sudah cukup menjawab segalanya.
Shaka melepaskan tangannya perlahan, membiarkan Maura membuka pintu dan turun dari mobil. Ia menatap punggung gadis itu hingga menghilang di balik pintu mansion. Dalam diam, Shaka menghela napas panjang, menyadari bahwa perasaannya pada Maura sudah tidak lagi bisa disangkal.
Shaka mematikan mesin mobil setelah memastikan Maura turun lebih dulu. Ia tak menunggu lama, langsung membuka pintu dan melangkah cepat menyusul Maura yang sudah lebih dulu berjalan ke arah pintu utama mansion.
Shaka hanya perlu menyusul beberapa langkah. Maura sempat menoleh ke belakang saat mendengar langkah kaki Shaka.
“Kamu ikut?” tanyanya lirih.
“Iya. Aku mau ketemu Oma,” jawab Shaka singkat, namun mantap.
Begitu tiba di depan pintu utama, Shaka yang lebih dulu mengetuk perlahan. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka dan salah satu pelayan menyambut mereka dengan senyum sopan, langsung mempersilahkan masuk.
Di dalam, suasana hangat menyambut mereka. Aroma khas teh melati yang biasa diseduh Oma Margaret menyeruak pelan. Di ruang tamu, Oma Margaret langsung berdiri saat melihat Maura dan Shaka masuk bersama.
“Maura, Nak… kamu baru pulang kuliah ? Oma khawatir,” ucap Oma sambil memeluk maura yang di anggap seperti cucunya sendiri.
Maura membalas pelukan itu dengan senyum tipis. “Maaf, Oma. Aku baru bisa pulang sekarang.tadi ada pekerjaan tambahan.”
Shaka tersenyum dengan alasan maura, ia ikut mendekat dan memberi salam hormat. “Selamat sore, Oma.”
Oma Margaret tersenyum padanya. “Shaka, senang sekali kamu mampir. Ayo duduk dulu.”
Shaka mengangguk dan duduk bersama mereka. Sambil menyesap teh hangat yang disajikan pelayan, suasana menjadi lebih tenang. Hanya Maura yang tampak sedikit gelisah, sementara Shaka tetap bersikap biasa. Namun, sorot matanya masih sesekali mencuri pandang ke arah Maura—penuh makna, yang hanya mereka berdua tahu apa artinya.
*
*
*
Thalita menutup koper terakhirnya dan menarik napas panjang. “Nggak kerasa ya, besok kita sudah harus balik ke Indonesia,” katanya sambil memandangi koper-koper yang sudah tertata rapi di pojok kamar hotel.
Nathan mengangguk, wajahnya terlihat sedikit sendu. “Paris cepat banget ya berlalu. Padahal aku masih pengen beberapa hari lagi di sini, bareng kamu,” ujarnya sambil merangkul Thalita dari belakang.
Thalita tersenyum dan menyandarkan kepalanya ke bahu Nathan. “Masih ada satu hari. Jangan disia-siain.”
Mereka pun memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu yang tersisa dengan berjalan-jalan di beberapa tempat paling ikonik di Paris. Mereka berpegangan tangan menyusuri jalanan Montmartre yang artistik, tertawa saat mencoba crepes hangat dari pedagang kaki lima, dan menikmati hangatnya cahaya matahari yang jatuh di wajah mereka saat duduk berdua di tepi Sungai Seine.
Mereka juga sempat naik ke Menara Eiffel menjelang sore. Dari atas sana, Paris terlihat seperti lukisan—indah dan tenang. Nathan menggenggam tangan Thalita lebih erat, lalu berbisik, “Aku nggak bakal lupa momen ini. Kita, di sini, dengan langit Paris yang biru.”
Thalita tersenyum, matanya sedikit berkaca. “Aku juga. Ini akan jadi kenangan paling manis sebelum kita kembali ke realita.”
Malam harinya, mereka makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman, diiringi alunan musik akustik. Mereka saling bertukar cerita, tawa, dan pandangan yang penuh makna. Tak perlu banyak kata—semuanya terasa cukup dalam kebersamaan yang hangat.
Esok hari mereka harus kembali ke tanah air, tapi satu hari terakhir di Paris itu akan selalu jadi kenangan yang melekat di hati mereka.
Waktu kerja Thalita di Paris sebenarnya hanya dua minggu. Namun, sebelum berangkat, ia sengaja meminta izin kepada Shaka untuk tinggal selama satu bulan penuh . Shaka yang saat itu tengah disibukkan dengan berbagai urusan bisnisnya di Jakarta, menyetujui tanpa banyak tanya.
Padahal, ada alasan lain di balik permintaan waktu tambahan itu—alasan yang tak pernah ia ungkap pada siapapun, termasuk Shaka. Thalita ingin memanfaatkan waktu itu untuk bersama Nathan. Mereka sudah merencanakannya sejak jauh hari. Paris menjadi latar sempurna untuk menikmati waktu berdua tanpa tekanan dan tanpa sorotan.
Selama di sana, komunikasi antara Thalita dan Shaka berjalan sangat minim. Hanya sesekali mereka bertukar pesan singkat, menanyakan kabar atau membahas laporan yang harus dikirim ke kantor. Bahkan, video call hampir tak pernah dilakukan. Keduanya seolah larut dalam dunia masing-masing, terlalu sibuk dengan urusan yang ada di depan mata.
Thalita tak merasa bersalah. Di matanya, Shaka pun terlalu dingin dan jarang menunjukkan perhatian selama ini. Maka, waktu di Paris adalah nafas segar baginya. Bersama Nathan, ia merasa dilihat, didengarkan, dan dicintai.
Namun dibalik kehangatan itu, ada satu kenyataan yang belum terucap,cepat atau lambat, Thalita harus kembali. Bukan hanya ke Indonesia, tapi juga ke realita—tempat di mana Shaka menunggunya, dan semua rahasia tak akan bisa selamanya disembunyikan.
Di mata publik, Thalita dan Shaka adalah pasangan sempurna. Keduanya sama-sama rupawan, cerdas, dan berasal dari keluarga terpandang. Setiap kemunculan mereka di acara-acara resmi selalu mencuri perhatian—senyum manis Thalita yang memesona, sikap tenang dan dingin Shaka yang memikat. Tak sedikit yang menganggap hubungan mereka bak potret cinta ideal.
Namun kenyataannya, hubungan itu lebih dari sekadar romansa. Di balik senyum manis dan genggaman tangan di depan kamera, ada kontrak bisnis yang mengikat mereka. Hubungan mereka disatukan oleh kesepakatan antara Shaka dan orang tua Thalita—sebuah ikatan strategis yang sudah dirancang sejak lama untuk memperkuat kerjasama bisnis dua perusahaan besar.
Pernikahan demi bisnis bukan hal baru dalam dunia mereka. Alih-alih cinta, yang menjadi dasar utama adalah kepentingan. Kelangsungan perusahaan, perluasan aset, dan pengaruh yang terus diperluas. Itu semua lebih penting daripada perasaan pribadi. Maka dari itu, keduanya setuju menjalaninya dengan cara masing-masing.
Shaka, yang tak pernah benar-benar membuka hati, menjalani hubungan itu dengan sikap profesional. Sementara Thalita, yang awalnya berusaha menyesuaikan diri, perlahan mulai merindukan hubungan yang lebih hangat dan nyata. Hingga akhirnya ia menemukan pelarian itu pada Nathan.
Sementara semua orang mengira mereka bahagia, hanya mereka yang tahu bahwa apa yang tampak di luar hanyalah topeng dari kenyataan yang jauh lebih rumit.
Sore mulai merambat turun di Paris, menyelimuti kota dengan cahaya keemasan yang lembut. Di sebuah restoran mewah di tepi Sungai Seine, Thalita dan Nathan duduk berdua, menikmati santapan mereka sambil sesekali tertawa ringan, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Suasana hangat itu mendadak terusik saat ponsel Thalita berdering. Nama Shaka muncul di layar, membuat senyum di wajahnya memudar seketika.
Nathan melirik, raut wajahnya langsung berubah. “Shaka?”
Thalita hanya mengangguk, lalu bangkit dan berjalan menjauh ke sisi balkon restoran. Ia mengangkat telepon dengan suara setenang mungkin.
"Halo, Shaka."
"Thalita, kamu masih di Paris?" suara Shaka terdengar datar namun jelas menyimpan ketegasan.
"Iya, masih. Kenapa?"
"Aku cuma mau pastikan kamu nggak lupa jadwal kepulangan. Harusnya besok kamu sudah pulang kan?"
Thalita menggigit bibirnya pelan. Shaka rupanya belum tahu bahwa kontrak kerja sebenarnya hanya dua minggu, bukan sebulan seperti yang ia bilang sebelumnya.
"Iya, masih sesuai rencana," jawab Thalita hati-hati.
"Baik. Aku akan kirim mobil jemput kamu di bandara begitu kamu sampai Jakarta."
"Oke, terima kasih."
"Jaga dirimu."
Panggilan terputus. Thalita menarik napas panjang, menatap ponsel di tangannya dengan perasaan campur aduk.
Ia tahu, waktu bermain-main di Paris tinggal sedikit. Dan kebohongan kecil soal kontrak kerja itu bisa menjadi bom waktu kapan saja.
Dari kejauhan, Nathan menatapnya—diam, tapi mengerti.
Setelah selesai makan malam, Thalita dan Nathan berjalan beriringan keluar dari restoran. Udara Paris malam itu terasa sejuk, angin dari sungai Seine membelai lembut wajah mereka. Nathan menggenggam tangan Thalita, dan mereka berjalan perlahan menikmati momen terakhir di kota romantis itu.
“Besok kita harus berangkat pagi-pagi sekali ke bandara,” ucap Nathan sambil melirik jam tangannya.
Thalita mengangguk pelan. “Iya, aku sudah minta resepsionis hotel untuk bantu panggilkan taksi jam lima pagi.”
“Kamu sudah siap kembali ke Jakarta?” tanya Nathan sambil menatapnya.
Thalita terdiam sejenak. “Siap nggak siap harus siap. Waktunya kembali ke kenyataan.”
Mereka pun kembali ke hotel dengan langkah tenang. Di kamar, koper-koper sudah hampir selesai dibereskan. Tinggal menyimpan beberapa barang terakhir sebelum semuanya siap untuk perjalanan panjang esok hari. Malam itu, Thalita memandang keluar jendela, menatap gemerlap kota Paris sekali lagi—mencoba menyimpan kenangan dalam-dalam, sebelum semuanya kembali ke rutinitas semula.