Sejak usia tujuh tahun, Putri Isolde Anastasia diasingkan ke hutan oleh ayahandanya sendiri atas hasutan selir istana. Bertahun-tahun lamanya, ia tumbuh jauh dari istana, belajar berburu, bertahan hidup, dan menajamkan insting bersama pelayan setia ibundanya, Lucia. Bagi Kerajaan Sylvaria ia hanyalah bayangan yang terlupakan. Bagi hutan, ia adalah pewaris yang ditempa alam.
Namun ketika kerajaan berada di ujung kehancuran, namanya kembali dipanggil. Bukan untuk dipulihkan sebagai putri, melainkan untuk dijadikan tumbal dalam pernikahan politik dengan seorang Kaisar tiran yang terkenal kejam dan haus darah. Putri selir, Seravine menolak sehingga Putri Anastasia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Di balik tatapannya yang dingin, ia menyimpan dendam pada ayahanda, tekad untuk menguak kematian ibunda, dan janji untuk menghancurkan mereka yang pernah membuangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjelajahi Agartha
Keesokan paginya, saat fajar baru menyingsing dan cahaya keemasan menembus celah tirai Paviliun Trianon, beberapa pelayan dengan hati-hati melangkah masuk untuk melakukan tugas pagi mereka.
Namun, langkah mereka terhenti begitu mendapati bayangan Kaisar Lexus masih berada di dalam kamar Anastasia. Tirai ranjang berantakan, vas-vas porselen tergeletak di lantai dan meja terjungkir, seakan kamar itu menjadi saksi malam penuh gairah yang tak terkendali.
Para pelayan saling bertukar pandang, wajah mereka malu bercampur kagum. Tidak seorang pun berani mengucap sepatah kata di hadapan Kaisar, namun begitu mereka keluar dari paviliun bisik-bisik mulai menyebar.
“Yang Mulia Kaisar tidak kembali ke kamarnya semalam.”
“Benarkah? Jadi Selir Anastasia telah bermalam dengan kaisar hingga fajar?”
“Tidak pernah sebelumnya ada selir baru yang berhasil demikian cepat merebut perhatian Yang Mulia.”
Gosip itu menjalar laksana api membakar padang kering, menyusup ke lorong-lorong istana, melewati dapur, aula pelayan hingga ke paviliun para selir.
Nama Anastasia mendadak menjadi pusat perhatian.
Bagi sebagian orang, itu adalah sebuah kejayaan yang luar biasa. Namun bagi sebagian lain terutama para selir lama, itu adalah ancaman berbahaya. Dalam satu malam, Anastasia, si selir keenam telah mengguncang keseimbangan di dalam Istana Agartha.
Di Paviliun Zamrud, kediaman Selir Bahrana, suasana pagi mendadak mencekam. Bahrana melemparkan kendi kaca hingga pecah berantakan di lantai. Matanya menyala penuh amarah.
“Bagaimana mungkin? Apa yang perempuan itu lakukan untuk menahan Yang Mulia!?” Suara Bahrana gemetar karena dipenuhi api cemburu. Ia merasakan posisinya sebagai selir terkuat terancam. Tidak, ini tidak bisa dibiarkaan… Ia berniat menyiapkan siasat untuk menyingkirkan Selir Anastasia sebelum Kaisar Lexus semakin memanjakannya.
“Ayahku tidak akan diam saja. Penasehat Agung tentu akan membantuku menjatuhkan perempuan dari negeri kecil itu.”
Di Paviliun Aroa, Selir Yashira dan Mivara saling menatap dengan wajah menegang.
“Kalau Kaisar benar-benar terpikat pada Anastasia, kita yang akan tersisih,” desis Yashira, menggigit bibirnya dengan geram.
Mivara menepuk kipas di tangannya, wajahnya suram. “Dia harus tahu tempatnya. Kita tidak boleh membiarkan dia merebut perhatian. Jika perlu, kita lawan secara terang-terangan.”
Kedua selir itu dipenuhi iri hati, dan tanpa perlu berbisik pun jelas bahwa mereka condong memusuhi Anastasia.
Sementara itu di Paviliun Lotus, Selir Yalindra dan Erivana tetap duduk santai. Yalindra menyeruput tehnya dengan malas, seolah kabar yang mengguncang istana itu hanya angin lalu.
“Siapa pun yang Kaisar sukai, itu bukan urusanku. Asal jatah bulanan dan hadiah tidak berkurang, aku puas.”
Erivana mengangguk ringan. “Benar, tidak ada gunanya ikut iri atau melawan. Hidup di istana akan lebih mudah bila kita tidak menentang arus.”
Anasta mendengus mendengar hiruk pikuk kabar Kaisar dan dirinya yang menggemparkan istana. Pantas belakangan ini kupingnya sering panas, rupanya ia sedang menjadi bahan gosip di sini. Anastasia duduk di dekat jendela, menatap bulan dengan wajah muram. Lucia yang setia mendampingi bisa melihat guratan lelah di mata tuannya.
“Putri… apa Anda baik-baik saja?” tanya Lucia lirih.
Anastasia tersenyum tipis yang dipaksakan. “Aku hanya… merasa terkurung, Lucia. Paviliun ini indah, tapi tetap saja kandang emas. Aku tidak bebas…”
Lucia terdiam. Ia paham betul, sejak kecil Putri Anastasia terbiasa berlari di hutan Moonveil, mendengarkan gemericik Sungai dan bercengkerama dengan hewan-hewan di sana tanpa beban status. Kini, dinding megah Agartha seakan merampas semua itu. Terlalu banyak larangan untuk Anastasia.
Namun, takdir memberi kejutan. Saat membantu membersihkan gudang tua di sisi belakang paviliun, Lucia menemukan celah di dinding. Setelah diteliti, rupanya celah itu menghubungkan ke lorong sempit yang tertutup debu. Jalannya gelap dan berliku, namun celah ini membawanya menuju tembok luar istana.
Dengan mata berbinar, Lucia segera melapor kepada Anastasia. “Putri, sepertinya ini lorong rahasia… jika kita ingin keluar, inilah jalannya.”
Anastasia mendekat, jemarinya menyusuri dinding batu yang dingin. Ia tersenyum manis, seolah menemukan jiwanya yang hilang. “Lorong rahasia… Tuhan sendiri memberiku jalan keluar. Kenapa aku harus menghabiskan waktuku dengan berdiam diri di sini? Sangat membosankan.”
Lucia menelan ludah. “Tapi, ini berbahaya Putri. Jika tertangkap, hukuman kita bisa sangat berat.”
Anastasia justru tersenyum, senyum tipis yang bercampur dengan semangat yang baru muncul kembali. “Sudah kukatakan, Tuhan sendiri yang memberiku jalan keluar. Jadi siapa yang dapat melawannya, Lucia?”
Meski khawatir, satu hal yang Lucia sudah tahu. Anastasia akan melakukan apapun yang ia inginkan tak peduli siapa pun penghalangnya.
Hari masih pagi ketika Putri Anastasia melangkah keluar dari lorong rahasia Paviliun Trianon. Rambutnya ia sembunyikan dengan selendang lusuh, pakaiannya pun diganti dengan gaun linen sederhana yang biasa ia pakai di Moonveil.
Lucia mendampinginya dengan wajah cemas. “Putri, apa benar ini bijak? Jika ada prajurit mengenali Anda…”
Anastasia menoleh, senyum nakal merekah di bibirnya. “Jangan panggil aku putri hari ini, panggil aku Ana. Hari ini aku bebas, Lucia.
Perjalanan pertama mereka adalah pasar di salah satu desa kecil di Agartha. Bau rempah-rempah, teriakan pedagang yang menawarkan barang dagangan, tawa anak-anak kecil yang berlarian, semua itu membuat hati Anastasia lebih hidup.
Ia berhenti di sebuah lapak yang menjual bunga. Tangan Anastasia meraih setangkai bunga kecil berwarna ungu. “Indah sekali…” bisiknya. Penjual tua itu tersenyum ramah, mengira ia hanya gadis desa.
“Kau bisa ambil, Nak. Anggap saja hadiah.”
Anastasia menunduk hormat, wajahnya berbinar. “Terima kasih, Paman.” Rasanya begitu asing namun membahagiakan bisa berbicara tanpa gelar dan tanpa formalitas.
Walau begitu Anastasia tetap menyelipkan satu koin emas di sela-sela dagangannya. Ngomong-ngomong soal uang, aku jadi ingat janji Kaisar Lexus untuk memberikanku uang yang banyak. Nanti aku akan menagihnya lalu bersenang-senang di pasar. Janji adalah hutang, batinnya.
Lucia ikut larut dalam suasana, meski tetap menoleh ke kanan kiri dengan waspada. “Ana, hati-hati…”
Namun Anastasia terlalu tenggelam dalam kegembiraannya. Ia mencicipi roti panggang hangat, tertawa bersama para pedagang, bahkan ikut membantu seorang anak kecil yang hampir jatuh karena membawa keranjang terlalu besar. Setiap detik terasa begitu bebas dan murni. Ia sungguh ingin melakukannya setiap hari.
Setelah puas menikmati hiruk pikuk pasar, Anastasia menarik lengan Lucia. “Ayo, kita keluar dari keramaian. Aku ingin lihat seperti apa hutan Agartha.”
Lucia menelan ludah ragu. “Ana… hutan di sini tidak seperti hutan di Sylvaria. Banyak orang bilang tempat itu penuh binatang buas.”
Anastasia hanya terkekeh ringan. “Binatang buas jauh lebih jujur daripada manusia, Lucia. Setidaknya mereka menyerang hanya ketika lapar, bukan karena iri atau ambisi.”
kaisar tiran bakalan tunduk/luluh gak sama putri Anastasia??? 🙂🙂🙂
meskipun udah sah tp itu keterlaluan