NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12: MAKAN MALAM UNTUK SATU**

# **

Alara pulang sore itu dengan mata sembab dan hati yang hancur. Ia bilang sakit pada atasannya—yang mana bukan bohong, karena dadanya benar-benar sakit seperti ada yang menikam terus-menerus.

Sepanjang perjalanan pulang di taksi online, ia hanya menatap kosong ke luar jendela. Gedung-gedung tinggi berlalu. Orang-orang sibuk dengan hidup mereka. Dan Alara... Alara merasa seperti bayangan yang terjebak di dimensi berbeda. Ada tapi tidak benar-benar ada.

Sesampainya di mansion, Bi Sari menyambutnya dengan wajah khawatir.

"Nona Alara, kenapa pulang cepat? Sakit ya?" tanyanya sambil membantu membawakan tas.

Alara hanya tersenyum lemah—senyum yang tidak sampai ke mata. "Iya Bi, cuma pusing. Aku istirahat di kamar dulu ya."

Tapi ia tidak langsung naik. Kakinya berhenti di tengah tangga, menatap ruang makan yang kosong—seperti biasa.

Sesuatu di dadanya bergerak. Sesuatu yang sakit tapi juga... putus asa.

Ia turun lagi.

"Bi Sari," panggil Alara pelan.

"Ya, Nona?"

"Tuan Nathan... hari ini pulang nggak?"

Bi Sari terdiam sebentar, ekspresinya berubah kasihan. "Tadi pagi Tuan Nathan kirim pesan, bilang akan pulang malam ini. Sekitar jam 9 atau 10."

Sesuatu di mata Alara berubah. Ada tekad di sana—tekad yang rapuh, tapi tetap ada.

"Bi... ajarin aku masak."

Bi Sari tersentak. "Ha? Nona mau masak?"

"Iya. Aku mau... aku mau masak makan malam untuk Nathan." Suara Alara bergetar sedikit. "Tolong ajarin aku masak yang dia suka."

Bi Sari menatap Alara dengan tatapan yang sulit dijelaskan—campuran kasihan dan kagum. Seperti melihat seseorang yang masih mencoba walau tahu akan gagal.

"Baik, Nona. Tuan Nathan suka masakan sederhana. Sup ayam, tumis kangkung, dan sambal terasi."

---

**JAM 6 SORE - DAPUR MANSION**

Alara berdiri di dapur dengan apron yang terlalu besar untuknya—apron Bi Sari. Tangannya gemetar saat memotong ayam. Ia bukan tipe yang suka masak. Sejak ayahnya meninggal, ia jarang masak sendiri—hanya makanan instant atau beli.

Tapi hari ini... hari ini ia ingin mencoba.

Ingin melakukan sesuatu untuk Nathan.

Entah kenapa. Mungkin karena putus asa. Mungkin karena ia ingin merasa berguna—walau hanya sesaat. Mungkin karena ia ingin Nathan melihatnya—benar-benar melihatnya—walau sebentar.

"Nona, pelan-pelan motongnya. Nanti jarinya kena," kata Bi Sari sambil membimbing tangan Alara.

Tapi tangan Alara gemetar terlalu hebat. Pisau nyaris mengenai jarinya.

"Sudah Bi, biar aku aja," kata Bi Sari khawatir.

"Tidak." Alara menggeleng keras. "Aku yang harus lakukan. Kumohon Bi, bimbing aku aja."

Bi Sari menghela napas, tapi tidak protes lagi.

Mereka memasak bersama—lebih tepatnya, Bi Sari membimbing dan Alara yang melakukan dengan tangan gemetaran. Memotong ayam, merebus tulang untuk kuah, menumis bumbu, memotong kangkung, menguleg sambal.

Setiap langkah terasa berat. Bukan karena sulit, tapi karena Alara terus menangis selama memasak.

Air matanya jatuh ke talenan saat memotong bawang—dan bukan karena bawang. Jatuh ke wajan saat menumis—tercampur dengan minyak panas. Jatuh ke kuah sup—menciptakan lingkaran kecil di permukaan.

"Nona..." Bi Sari menyeka air mata Alara dengan ujung apron. "Nona nggak usah maksain kalau capek..."

"Aku nggak capek, Bi," bisik Alara. Suaranya serak. "Aku cuma... aku cuma pengen dia lihat. Sekali aja. Aku pengen Nathan lihat kalau aku berusaha jadi istri yang baik. Walau cuma istri kontrak..."

Bi Sari tidak menjawab. Ia hanya memeluk Alara sebentar—pelukan singkat yang hangat—sebelum melanjutkan memasak.

---

**JAM 8 MALAM**

Meja makan sudah tertata rapi. Tiga piring—sup ayam yang masih mengepul, tumis kangkung, nasi putih pulen, dan sambal terasi di mangkuk kecil. Alara bahkan menyalakan lilin kecil di tengah meja—mencoba membuat suasana lebih... hangat.

Ia duduk di salah satu kursi, menatap makanan yang ia buat dengan tangan sendiri. Tangannya masih sedikit lecet—bekas percikan minyak dan tergores pisau. Tapi ia tidak peduli.

Yang penting, ia berhasil.

Ia berhasil masak untuk Nathan.

Jam menunjuk jam 9. Tidak ada tanda-tanda Nathan pulang.

Alara menunggu.

Jam 9.30. Sup mulai tidak sepanas tadi.

Jam 10. Lilin sudah setengah habis terbakar.

Jam 10.30. Kangkung mulai terlihat layu.

Alara duduk di sana, tidak bergerak. Tangannya terlipat di pangkuan. Matanya menatap kosong ke pintu depan—menunggu suara mobil masuk garasi.

Bi Sari sudah pulang jam 9—tapi sebelumnya ia bertanya, "Nona yakin mau nunggu sendirian?"

Dan Alara menjawab dengan senyum lemah, "Iya Bi. Aku mau tunggu Nathan."

Sekarang, di mansion besar yang sunyi ini, Alara sendirian. Hanya ditemani detak jam dinding yang terdengar sangat keras di keheningan.

*Tik tok. Tik tok. Tik tok.*

Setiap detik terasa seperti tahun.

---

**JAM 11 MALAM**

Akhirnya—akhirnya—Alara mendengar suara mobil.

Jantungnya berdegup kencang. Ia berdiri cepat, merapikan rambutnya yang kusut, mengusap wajahnya. Ia mencoba tersenyum—mencoba terlihat senang, bukan putus asa.

Pintu depan terbuka.

Nathan masuk dengan jas yang sudah kusut, dasi dikendurkan, wajah lelah. Ia menutup pintu, melepas sepatu, dan—

Berhenti.

Matanya melihat Alara berdiri di ruang makan. Melihat meja yang tertata. Makanan. Lilin yang nyaris habis.

Ekspresinya... kosong.

"Nathan," sapa Alara pelan. Suaranya bergetar. "Kamu... kamu sudah makan?"

Nathan menatapnya datar. "Sudah. Di luar."

Tiga kata. Tiga kata yang menghancurkan semuanya.

"Oh..." Alara tersenyum—senyum yang paling menyedihkan. "Aku... aku masak untuk kamu. Aku pikir... aku pikir kita bisa makan bersama—"

"Alara, aku lelah." Nathan memotong dingin. "Aku mau istirahat."

Ia melangkah menuju tangga—melangkah melewati ruang makan tanpa menoleh lagi.

"Nathan, tunggu!" Alara melangkah maju, suaranya sedikit meninggi—putus asa. "Ini... ini pertama kalinya aku masak. Aku belajar dari Bi Sari. Aku... aku mau bikin sesuatu untuk kamu—"

Nathan berhenti di tangga. Tidak berbalik. Hanya berhenti.

"Kenapa?" tanyanya datar.

"Ha?"

"Kenapa kau masak? Kenapa kau tunggu aku? Kenapa kau... kenapa kau lakukan semua ini?" Nada bicaranya dingin—tapi ada sesuatu di sana. Kelelahan. Iritasi. Atau mungkin... rasa bersalah yang ia coba sembunyikan.

Alara tidak bisa menjawab. Karena ia sendiri tidak tahu. Kenapa ia masih mencoba? Kenapa ia masih berharap?

"Aku..." suaranya bergetar hebat. "Aku cuma pengen... jadi istri yang baik. Walau cuma istri kontrak. Aku pengen kamu pulang dan ada yang nungguin. Ada yang... peduli."

Nathan akhirnya berbalik—dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia menatap Alara langsung. Tatapan yang lelah. Tatapan yang... sakit.

"Jangan," katanya pelan. "Jangan peduli, Alara."

Kata-kata itu seperti tikaman di jantung.

"Karena aku tidak butuh itu. Aku tidak butuh kamu peduli. Aku tidak butuh kamu jadi istri yang baik." Nathan melanjutkan dengan nada yang semakin dingin. "Aku butuh kamu diam di tempatmu. Jangan lebih. Jangan kurang. Cukup... jangan ganggu hidupku."

Setiap kata terasa seperti pukulan.

Alara berdiri membeku. Air matanya sudah membasahi pipi—tapi ia tidak mengusapnya. Hanya berdiri di sana, menatap Nathan dengan mata yang hancur.

Nathan menatapnya sebentar—dan ada sesuatu di matanya. Penyesalan? Rasa bersalah? Tapi ia terlalu keras kepala untuk mundur.

Ia berbalik lagi, naik tangga, dan menghilang di balik pintu kamarnya.

Hening.

Hening yang menghancurkan.

Alara berdiri di sana entah berapa lama. Kakinya tidak sanggup melangkah. Dadanya sesak. Napasnya tersengal.

Perlahan—sangat perlahan—ia berbalik menatap meja makan.

Makanan yang sudah dingin. Lilin yang sudah mati. Harapan yang sudah padam.

Ia melangkah ke meja dengan goyah. Duduk di kursi yang tadi ia tunggu Nathan duduk di hadapannya.

Di depannya, piring kosong—piring untuk Nathan yang tidak akan pernah ia pakai.

Alara mengambil sendok dengan tangan gemetar. Menyendok sup yang sudah dingin. Memasukkannya ke mulut.

Rasanya... hambar.

Atau mungkin ia yang sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Ia menyendok lagi. Mengunyah mekanis. Menelan walau tenggorokannya tercekat.

Dan di sendokan ketiga—air matanya jatuh.

Jatuh ke piring.

Tercampur dengan sup yang ia buat dengan penuh harapan.

Alara makan dalam diam sambil menangis. Isak tertahan di tenggorokannya. Tubuh bergetar. Tapi ia terus makan—seolah dengan makan ini, pengorbanannya tidak sia-sia. Seolah dengan makan ini, rasa sakitnya akan berkurang.

Tapi tidak.

Setiap suapan terasa seperti menelan pecahan kaca.

Ia makan sendirian. Di meja yang ia hias dengan harapan. Di rumah yang seharusnya jadi rumah bersama tapi terasa seperti penjara.

Dan ketika piringnya habis—ketika ia menelan suapan terakhir yang tercampur air mata—Alara meletakkan sendoknya perlahan.

Menatap lilin yang sudah mati.

Menatap piring Nathan yang masih utuh.

Dan tertawa—tawa yang pahit, getir, penuh luka.

"Bodoh," bisiknya pada dirinya sendiri. "Bodoh... kenapa aku masih berharap..."

Ia merebahkan kepalanya di atas meja. Lengannya melipat di bawah kepala. Dan ia menangis—menangis dengan isak yang dalam, getir, penuh penyesalan.

Menangis untuk makan malam yang tidak akan pernah dimakan bersama.

Menangis untuk usaha yang tidak akan pernah dilihat.

Menangis untuk cinta yang tidak akan pernah terbalas.

Dan mansion besar itu hanya diam. Menyaksikan seorang wanita hancur di meja makan yang seharusnya jadi tempat kehangatan, tapi kini hanya jadi saksi bisu kehancurannya.

---

**DI KAMAR NATHAN**

Nathan berdiri di balik pintu kamarnya yang tertutup. Punggungnya bersandar di pintu. Tangannya mengepal erat.

Ia mendengarnya.

Isak tangis Alara dari bawah.

Setiap isak terdengar jelas di mansion yang sunyi ini. Menusuk telinganya. Menusuk dadanya.

Nathan menutup mata, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal sampai kuku menancap di telapak.

*Ini yang terbaik. Ini lebih baik daripada memberinya harapan palsu. Lebih baik ia benci aku daripada mencintaiku.*

Tapi kenapa—kenapa dadanya terasa sesak seperti ini?

Kenapa setiap isak Alara terasa seperti menusuknya juga?

Nathan membuka mata—dan di sudut matanya, ada air.

Tapi ia mengusapnya cepat. Kasar.

Karena ia tidak boleh lemah.

Ia tidak boleh peduli.

Karena peduli hanya akan membawa rasa sakit.

Dan ia sudah cukup sakit.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 13]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!