Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.
Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.
Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.
Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.
“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.
“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 – Pemilihan Asrama
Begitu perahu-perahu kecil mulai meluncur di permukaan danau hitam yang tenang, semua ketegangan dan keributan sebelumnya seakan terlupakan. Di bawah bimbingan Hagrid, para siswa tahun pertama duduk berempat di setiap perahu, diterangi cahaya obor yang berkilau di atas air.
“Setiap perahu maksimal empat orang, jangan lebih!” seru Hagrid dengan suaranya yang berat namun hangat.
Ethan, Charles, dan Agnes naik ke perahu yang sama, lalu seorang gadis berambut cokelat muda ikut bergabung.
“Halo, aku Oriana. Senang bertemu kalian,” sapanya dengan nada sopan.
Agnes membalas dengan senyum cerah. “Agnes. Ini Ethan dan Charles. Nah, para wanita biar duduk manis saja, dua pria ini yang mendayung.”
Tanpa protes, Charles dan Ethan saling pandang dan mulai mendayung perlahan. Namun tak lama kemudian, Ethan menyadari sesuatu—perahu itu seakan bergerak sendiri, mengikuti alur yang tidak mereka tentukan. Dayungan mereka hampir tidak berarti.
“Katanya cuma siswa tahun pertama yang naik perahu,” ujar Agnes sambil berbisik penuh semangat. “Konon, empat orang di tiap perahu melambangkan keempat pendiri Hogwarts. Simbol perjalanan pertama mereka menuju kastil.”
Ethan hanya tersenyum tipis. Angin danau berembus lembut, memantulkan bayangan menara kastil yang semakin dekat. Lampu-lampu di kejauhan tampak seperti bintang yang jatuh ke bumi—dan di tengahnya berdiri Hogwarts, megah dan misterius.
Mungkin, pikir Ethan, para pendiri dulu juga merasakan hal yang sama—campuran kagum dan gentar.
“Semua siswa tahun pertama, turun dan ikuti aku!” teriak Hagrid begitu perahu mencapai tepi danau.
Mereka menjejak tanah, melewati rumah perahu yang terbuat dari batu tua, lalu menaiki tangga panjang berliku yang menanjak ke atas tebing. Nafas anak-anak kecil itu terdengar berat, tapi tak satu pun berhenti. Begitu mencapai puncak, mereka berdiri terpaku.
Kastil Hogwarts menjulang di depan mata, temboknya berkilau di bawah cahaya obor dan langit malam. Udara di sekelilingnya terasa hidup—seolah setiap batu dan menara menyimpan rahasia kuno.
Hagrid membawa mereka masuk ke aula depan yang besar. Di sana, seorang wanita berwibawa berjubah hijau tua sudah menunggu. Suaranya tegas namun teratur. “Selamat datang di Hogwarts. Aku Profesor McGonagall.”
Mata tajam Profesor McGonagall sempat berhenti pada Ethan. Pandangan itu menusuk, seolah ia sudah mendengar tentang ‘insiden kecil’ di perjalanan tadi. Ethan hanya menunduk sedikit, pura-pura tidak tahu apa-apa.
“Terima kasih, Hagrid. Aku akan urus mereka selanjutnya,” ujar McGonagall, lalu memimpin para siswa baru ke depan tangga besar.
“Perjamuan pembukaan akan segera dimulai,” katanya, “tapi sebelum itu, kalian akan menjalani Upacara Seleksi. Setiap siswa akan ditempatkan ke dalam asrama masing-masing. Setelah itu, setiap tindakan kalian akan memengaruhi Piala Asrama—tindakan baik menambah poin, pelanggaran menguranginya.”
Suasana menjadi lebih tegang. Anak-anak saling berbisik—ada yang terlihat gugup, ada pula yang terlalu antusias. Tapi bagi Ethan, semua ini tampak seperti permainan anak-anak. “Piala Asrama,” gumamnya pelan. “Kita lihat saja nanti siapa yang peduli.”
Agnes menarik jubahnya, wajahnya tampak tegang. “Ethan, kamu nggak gugup? Aku dengar katanya ada ujian sihir sebelum disortir. Aku nggak belajar apa-apa sepanjang liburan!”
Ethan menahan tawa. Kamu nggak belajar karena terlalu sibuk gosip tentang keluarga penyihir terkenal, kan? pikirnya. Tapi ia hanya menepuk bahu Agnes ringan. “Tenang saja. Aku rasa nggak seburuk itu.”
Tak lama kemudian, Profesor McGonagall kembali. “Baiklah, anak-anak. Ikuti aku.”
Mereka berjalan melalui lorong besar menuju aula yang pintunya dihiasi ukiran naga. Di kedua sisi berdiri empat jam pasir raksasa dengan warna berbeda—merah, biru, kuning, dan hijau—masing-masing dengan simbol singa, elang, luak, dan ular di bawahnya. Jam pasir itu kosong, menunggu tahun ajaran baru dimulai.
Pintu aula terbuka perlahan, dan semua siswa baru ternganga.
Aula Besar Hogwarts begitu megah. Langit-langitnya tinggi dan tak terlihat ujungnya, seolah langsung tersambung dengan langit malam di luar. Ratusan lilin melayang di udara, cahaya kuningnya menari di atas empat meja panjang penuh siswa senior. Di depan, sebuah meja besar berisi para profesor dan kepala sekolah, sementara di tengah aula berdiri sebuah kursi tua dan topi lusuh.
Topi itu tiba-tiba bergerak, lalu mulai bernyanyi—lagu dengan nada aneh dan lirik yang lebih mirip dongeng daripada musik. Suaranya sumbang tapi ajaib, membuat sebagian siswa menahan tawa, sebagian lagi justru terpaku.
Ketika lagu usai, topi itu menunduk, seolah memberi hormat pada penonton. Tepuk tangan pun bergema.
Profesor McGonagall melangkah ke depan sambil membawa selembar perkamen. “Sekarang, Upacara Seleksi dimulai. Saat namamu dipanggil, duduklah di kursi ini.”
“Oriana Sinclair!”
Gadis itu melangkah maju dengan langkah hati-hati. Begitu topi diletakkan di kepalanya, jeda singkat terjadi—dan kemudian topi itu berteriak lantang, “Ravenclaw!"
Sorak-sorai dari meja biru bergema. Oriana tersenyum lega dan berlari ke sana.
Satu demi satu nama dipanggil. Agnes akhirnya masuk ke Slytherin, sesuai dengan tradisi keluarganya. Charles mendapat tempat di Gryffindor, seperti yang Ethan duga sejak awal. Travers, bocah sombong yang selalu menantang orang lain, juga ke Slytherin. Ethan diam-diam merasa kasihan pada Agnes yang harus berbagi meja dengan orang seperti itu.
Satu per satu nama habis dibacakan, dan akhirnya suara Profesor McGonagall kembali terdengar jelas di aula.
“Ethan Cross.”
Langkah Ethan terdengar mantap saat ia berjalan menuju kursi di tengah aula. Ratusan pasang mata memperhatikannya—beberapa dengan rasa ingin tahu, beberapa dengan penilaian diam-diam.
Ia menarik napas, duduk, dan merasakan topi tua itu menutup setengah wajahnya. Suara serak yang lembut terdengar di telinganya, hanya bisa ia dengar sendiri.