Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Latihan Malam
Malam di Desa Sungai Batu tidak membawa kedamaian, melainkan kecemasan yang mencekik.
Sejak Aliansi Ortodoks mengambil alih kendali keamanan, jam malam diberlakukan. Tidak ada warga yang berani keluar rumah setelah matahari terbenam. Pintu-pintu dikunci palang ganda, jendela ditutup rapat. Satu-satunya cahaya berasal dari lampion merah yang tergantung di pos jaga dadakan—sebuah kedai arak yang disita oleh murid-murid Sekte Pedang Azure.
Liang Wu duduk di atap jerami sebuah lumbung padi yang gelap, sekitar lima puluh langkah dari pos jaga itu.
Dia sudah mengoleskan salep herbal yang dia beli tadi siang. Rasa perih di wajah kirinya telah berubah menjadi rasa dingin yang kebas. Demamnya sedikit turun, memberinya kejernihan pikiran yang tajam.
Di bawah sana, dia melihat targetnya.
Murid Sekte Azure yang tadi siang menampar wanita desa itu sedang duduk mabuk di teras kedai. Namanya Li. Liang Wu mendengarnya dipanggil oleh temannya tadi.
Li sedang tertawa keras, menggoyangkan kantong uang yang berat—uang hasil memeras penduduk desa seharian ini.
"Sepuluh emas..." racau Li, menenggak arak langsung dari guci. "Siapa butuh memburu hantu gundul itu kalau penduduk desa ini lebih mudah diperah? Haha!"
Dua murid lain yang menjaganya tampak bosan. "Oy, Li. Jangan habiskan araknya. Giliran jaga malammu sebentar lagi."
"Persetan jaga malam," Li berdiri sempoyongan. "Aku mau kencing dulu."
Li berjalan menjauh dari cahaya lampion, menuju gang gelap di samping kedai yang mengarah ke sungai kecil.
Di atas atap, Liang Wu bergerak.
Dia tidak melompat. Dia merayap turun seperti laba-laba, jari-jari tangan dan kakinya mencengkeram dinding kayu tanpa suara. Qi Emas mengalir di telapak kakinya, meredam setiap hentakan.
Liang Wu masuk ke dalam gang itu lebih dulu. Dia bersembunyi di balik tumpukan keranjang kosong yang bau ikan busuk. Bau itu menyamarkan bau obat di tubuhnya.
Langkah kaki Li terdengar berat dan terseret. Srek. Srek.
Pria itu berhenti di dekat tembok, membuka celananya sambil bersenandung sumbang. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa kematian sedang berdiri dua langkah di belakangnya.
Liang Wu mencabut parang besi karatannya.
Dia bisa saja memenggal kepala Li dari belakang. Cepat. Bersih.
Tidak, batin Liang Wu. Itu terlalu mudah.
Dia menyarungkan kembali parangnya. Dia ingin mencoba sesuatu yang lain. Dia ingin mencoba kekuatan Tapak Vajra pada tubuh kultivator, bukan manusia biasa.
Liang Wu melangkah maju.
Tangan kirinya membekap mulut Li dari belakang. Tangan kanannya, dengan jari-jari yang masih diperban, menghantam punggung Li tepat di titik Mingmen (Pintu Kehidupan - titik akupunktur di punggung bawah).
"Hmph!"
Mata Li membelalak. Arak di tangannya jatuh, tapi Liang Wu menangkap guci itu dengan kakinya sebelum menyentuh tanah, mencegah suara pecah.
Hantaman di titik Mingmen itu tidak mematahkan tulang, tapi mengirimkan gelombang Qi yang kacau langsung ke ginjal dan meridian utama. Li merasakan tubuh bagian bawahnya lumpuh seketika. Arak di perutnya serasa berubah menjadi api.
Liang Wu menyeret tubuh lumpuh itu masuk lebih dalam ke kegelapan gang.
Dia melempar Li ke tanah becek.
Li mencoba berteriak, tapi tenggorokannya tercekat. Dia mendongak, dan dalam keremangan cahaya bulan, dia melihat sosok bercaping jerami itu berjongkok di hadapannya.
Liang Wu mengangkat capingnya sedikit.
Mata Li melebar horor. Dia mengenali wajah hancur itu. Sketsa di papan pengumuman.
"Ib... blis..." desis Li.
"Kau memanggilku?" suara Liang Wu tenang, kontras dengan wajah kirinya yang mengerikan.
"Tolong... aku murid Sekte Pedang Azure... Patriark Zhao akan..."
PLAK!
Liang Wu menampar wajah Li. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk merontokkan dua gigi depan.
"Itu untuk wanita yang kau tampar tadi siang," bisik Liang Wu.
Li menangis, darah bercampur air liur menetes dari dagunya. Keangkuhannya hilang tak berbekas. Di hadapan predator sungguhan, serigala peliharaan hanyalah anjing kecil.
Liang Wu meraih tangan kanan Li—tangan yang digunakan untuk memegang pedang dan menampar orang.
"Dan tangan ini... tangan ini kotor."
"TIDAK! JANGAN!"
Liang Wu tidak menggunakan parang. Dia menggenggam pergelangan tangan Li, lalu mulai memelintirnya perlahan.
Kretek... Krek...
Tulang-tulang kecil di pergelangan tangan itu bergesekan, lalu patah satu per satu. Li menjerit, tapi Liang Wu sudah menyumbat mulutnya dengan gumpalan kain kotor yang dia pungut dari tanah.
Liang Wu menatap mata Li yang memutih karena rasa sakit. Dia tidak merasakan kepuasan sadis. Dia hanya merasakan... keseimbangan. Karma sedang dibayar.
"Kau memeras rakyat dengan alasan melindungi mereka dari iblis," kata Liang Wu datar. "Sekarang, iblis itu benar-benar datang. Apa kau merasa terlindungi?"
Liang Wu meletakkan telapak tangannya di dada Li.
Tapak Vajra - Getaran Dalam.
Ini adalah teknik yang dia kembangkan saat memukul dinding Gua Pertobatan. Bukan ledakan luar, tapi ledakan ke dalam.
BUM.
Suara itu redam, seperti memukul bantal tebal.
Tapi efeknya fatal.
Tulang rusuk Li tidak patah, tapi jantung di baliknya berhenti berdetak seketika karena guncangan Qi. Mata Li meredup, lalu kosong.
Liang Wu berdiri. Dia mengambil kantong uang Li yang berat—berisi uang hasil perasan warga desa. Dia juga mengambil lencana identitas murid luar Sekte Azure yang tergantung di pinggang mayat itu.
Dia tidak menyembunyikan mayatnya.
Dia mendudukkan mayat Li di atas tumpukan keranjang ikan, seolah-olah pria itu sedang tidur mabuk. Dia bahkan menaruh guci arak di pangkuan mayat itu.
Besok pagi, ketika matahari terbit, orang-orang akan menemukan "pelindung" mereka mati tanpa luka luar, dengan wajah ketakutan abadi.
Liang Wu merapikan capingnya. Dia melirik ke arah pos jaga di mana dua murid lain masih tertawa-tawa, tidak sadar teman mereka sudah menjadi mayat dingin.
"Satu sudah lunas," gumamnya.
Liang Wu berbalik, meninggalkan gang itu. Dia tidak kembali ke hutan. Dia berjalan menuju jalan setapak yang mengarah ke utara.
Ke arah Kota Yan.
Malam semakin larut, dan Hantu Gunung telah turun ke dunia manusia.
Alurnya stabil...
Variatif