NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# BAB 19: Pengakuan setengah hati

Gavin tidak bergerak dari posisinya—tangan masih di gagang pintu, tas ransel tergelantung di bahu, wajah masih pucat dari shock. Tapi sesuatu di matanya berubah—dari panik menjadi defensif, dari rasa bersalah menjadi kemarahan yang putus asa.

"Tunggu," katanya, suaranya naik satu oktaf. "Tunggu sebentar. Kamu bilang kamu tahu semuanya? Kamu bilang kamu punya bukti?" Dia berbalik menghadap Larasati sepenuhnya, melepas tas ranselnya dan membiarkannya jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk. "Kalau kamu tahu, kenapa kamu diam? Kenapa kamu tidak bilang apa-apa? Kenapa kamu malah... malah selingkuh juga?!"

Logika yang terpelintir—ciri khas orang yang terpojok mencoba membalikkan situasi.

Larasati menatapnya dengan mata yang masih basah tapi sudah tidak menangis lagi. Ada sesuatu di wajahnya yang membuat Gavin mundur satu langkah—sesuatu yang keras, yang final, yang mengatakan perempuan di hadapannya bukan lagi istri yang bisa dia manipulasi.

"Kamu mau tahu kenapa aku diam?" suara Larasati keluar rendah, berbahaya—seperti gemuruh sebelum badai meledak. "Karena aku butuh bukti. Karena aku tahu—AKU TAHU—kalau aku confront kamu tanpa bukti solid, kamu akan bohong. Kamu akan manipulasi. Kamu akan buat aku merasa gila, merasa paranoid, merasa aku yang salah."

Dia melangkah ke meja samping sofa, buka laci dengan gerakan yang tenang tapi penuh tekad. Dari dalam, dia keluarkan amplop cokelat besar—amplop yang sudah dia siapkan berminggu-minggu lalu, menunggu momen ini.

"Jadi aku kumpulkan bukti," lanjut Larasati, meletakkan amplop di meja kopi dengan bunyi yang terdengar terlalu keras di keheningan ruangan. "Setiap kebohongan. Setiap pengkhianatan. Setiap rencana jahatmu. Semua ada di sini."

Gavin menatap amplop itu seperti menatap bom yang akan meledak. "Lara, kamu tidak perlu—"

"BUKA!" bentak Larasati, menunjuk amplop dengan tangan yang gemetar—bukan karena takut, tapi karena amarah yang hampir tidak bisa dia kontrol lagi. "Buka dan lihat apa yang sudah kamu lakukan pada pernikahan kita!"

Dengan tangan yang ragu—tangan yang tahu apa yang akan dia temukan tapi masih berharap entah bagaimana dia salah—Gavin ambil amplop itu. Dia buka dengan gerakan lambat, mengeluarkan tumpukan foto dan dokumen.

Foto pertama: Gavin dan Kiran di restoran Italia, tangan bertaut di atas meja, senyum yang terlalu intim untuk sekadar rekan kerja. Tanggal di watermark: tiga bulan lalu.

Foto kedua: Mereka berdua masuk ke gedung apartemen SCBD, Gavin dengan tangan di pinggang Kiran. Tanggal: dua bulan lalu.

Foto ketiga sampai kelima: Mereka di Bali—di pantai saat sunrise, di villa dengan kolam renang infinity, di restoran romantis dengan sunset di background. Tanggal: minggu lalu, saat Gavin bilang dia di Surabaya untuk meeting.

Gavin menatap setiap foto dengan wajah yang semakin pucat. Tangannya gemetar—foto-foto itu hampir jatuh dari genggamannya.

"Lanjut," perintah Larasati, suaranya tidak memberikan ruang untuk negosiasi. "Baca dokumennya."

Gavin ambil printout email—percakapan antara dia dan Kiran yang di-highlight dengan stabilo kuning di bagian-bagian paling menyakitkan:

_"Aku cinta kamu, bukan dia."_

_"Lara adalah istri yang baik, tapi kita sudah tidak ada lagi. Pernikahan kami cuma formalitas."_

_"Aku tidak sabar untuk mulai hidup baru bersamamu."_

Setiap kalimat seperti pukulan. Gavin duduk perlahan di sofa—kakinya tidak sanggup menopang lagi—dengan tangan masih memegang bukti pengkhianannya sendiri.

"Ada lagi," kata Larasati, dan sekarang ada kepuasan pahit di suaranya—kepuasan melihat Gavin akhirnya menghadapi konsekuensi. "Audio recording. Percakapanmu dengan Kiran di kantor. Yang kamu bilang mau label aku 'tidak stabil secara mental' supaya kamu bisa menang dalam custody battle. Yang kamu bilang mau transfer aset secara ilegal supaya aku tidak dapat apa-apa dalam settlement."

Wajah Gavin berubah dari putih menjadi hijau—seperti orang yang mau muntah.

"Itu... itu tidak—aku tidak serius waktu bilang itu—" suaranya tergagap, defensif tapi lemah.

"TIDAK SERIUS?" Larasati berteriak lagi, melangkah mendekat sampai dia berdiri tepat di depan Gavin yang duduk. "Kamu planning untuk MENGHANCURKAN hidupku, MENGAMBIL anakku, MENINGGALKAN aku dengan tidak ada apa-apa—dan kamu bilang kamu tidak serius?! Kamu pikir itu lelucon?! Kamu pikir aku akan percaya?!"

Gavin buka mulut tapi tidak ada suara keluar. Tidak ada pembelaan yang cukup kuat untuk melawan bukti yang menumpuk di pangkuannya.

"Lara, dengar... aku... aku memang salah." Suaranya pecah sekarang, air mata mulai menggenang di matanya—tapi apakah itu air mata penyesalan genuine atau air mata karena ketahuan, Larasati tidak bisa—tidak mau—tahu lagi. "Aku tidak tahu aku bisa jadi sejahat ini. Aku tidak tahu kenapa aku lakukan semua ini. Aku... aku stress, perusahaan demanding, dan Kiran ada di sana, dia... dia membuat segalanya terasa lebih mudah—"

"JANGAN!" potong Larasati dengan suara yang membuat Gavin tersentak. "Jangan berani-beraninya kamu menyalahkan stress atau pekerjaan atau APAPUN selain dirimu sendiri! Banyak orang stress, Gavin! Banyak orang punya beban kerja berat! Tapi mereka tidak selingkuh! Mereka tidak menghancurkan keluarga mereka! Mereka tidak planning untuk menghancurkan istri mereka secara sistematis!"

Gavin menunduk, bahu bergetar—menangis sekarang, menangis dengan cara yang terlihat putus asa dan hancur. "Maafin gue, Lara. Please. Gue... gue beneran minta maaf. Itu cuma... gue lagi bingung, gue tidak tahu apa yang gue mau, gue—"

"CUMA?" Larasati merasa sesuatu di dadanya pecah lagi—bukan kesedihan kali ini, tapi amarah yang begitu murni sampai membuat seluruh tubuhnya bergetar. "CUMA?! Kamu bilang CINTA sama dia, Gavin! Kamu bilang mau NIKAH sama dia! Kamu bilang aku TIDAK ADA APA-APANYA dibanding dia! Kamu bilang kamu tidak sabar untuk MENINGGALKAN aku! Itu bukan 'cuma kebingungan'—itu PILIHAN! Kamu PILIH untuk menghancurkan kita!"

"Aku tidak bermaksud—"

"Tapi kamu LAKUKAN!" Larasati jatuh berlutut sekarang—tidak karena lemah, tapi karena dia perlu di level yang sama dengan Gavin, perlu menatap matanya saat dia bilang ini. "Kamu lakukan dan kamu nikmati, Gavin. Jangan bohong lagi. Kamu menikmati perselingkuhan itu. Kamu menikmati punya dua perempuan—istri di rumah yang jaga anakmu dan masak makanmu, dan selingkuhan di luar yang buat kamu merasa muda dan desired. Kamu menikmati kuasamu. Kamu menikmati fakta bahwa kamu bisa lakukan apapun dan aku akan tetap di sini, menunggu, percaya, bodoh."

Kata "bodoh" keluar dengan kepahitan yang membuat Larasati ingin muntah. Karena dia memang bodoh. Bodoh karena tidak sadar lebih cepat. Bodoh karena percaya terlalu lama.

Gavin menggeleng, air mata mengalir di pipinya. "Kamu tidak bodoh. Kamu... kamu istri terbaik yang—"

"Jangan," bisik Larasati, suaranya patah sekarang, energi untuk berteriak sudah habis. "Jangan bilang aku istri terbaik. Karena kalau aku istri terbaik, kamu tidak akan lakukan ini. Kalau aku cukup baik, cukup cantik, cukup... cukup apapun... kamu tidak akan cari perempuan lain."

"Ini bukan salahmu!" kata Gavin cepat, meraih tangan Larasati—tapi dia tarik tangannya, menjauh dari sentuhan yang sekarang terasa seperti racun. "Ini salah aku. Sepenuhnya salah aku. Kamu sempurna, Lara. Kamu selalu sempurna. Aku yang... aku yang rusak. Aku yang egois dan bodoh dan—"

"Ya," potong Larasati, menatapnya dengan mata yang kosong. "Kamu rusak. Dan kamu menghancurkan aku juga dalam prosesnya."

Keheningan turun—keheningan yang berat, yang dipenuhi dengan semua yang tidak bisa diambil kembali, semua yang tidak bisa diperbaiki.

"Lara," kata Gavin akhirnya, suaranya serak. "Apa... apa kita masih bisa perbaiki ini? Apa masih ada kesempatan untuk—"

"Tidak." Satu kata. Final. Tidak ada ruang untuk negosiasi.

Gavin menatapnya dengan tatapan yang hancur. "Tapi... tapi kita punya Abi. Kita punya sejarah. Kita punya delapan tahun—"

"Delapan tahun yang kamu buang," kata Larasati, berdiri sekarang, menjauh dari Gavin yang masih duduk di sofa dengan foto-foto pengkhianannya tersebar di sekitarnya. "Delapan tahun yang kamu nodai dengan kebohongan dan pengkhianatan. Kamu tidak bisa undo itu, Gavin. Kamu tidak bisa bilang maaf dan expect semuanya kembali normal."

"Aku akan putus sama Kiran," kata Gavin desperate. "Aku akan berhenti. Aku akan jadi suami yang lebih baik. Aku akan—"

Larasati tertawa—suara yang tidak ada kehangatan, hanya kepahitan. "Kamu akan putus sama Kiran? Sekarang? Setelah ketahuan? Itu bukan perbaikan, Gavin. Itu cuma damage control. Kamu tidak putus karena kamu sadar salah—kamu putus karena kamu ketahuan."

Gavin tidak bisa menyangkal itu. Karena itu kebenaran yang mereka berdua tahu.

Larasati menarik napas dalam—satu-satunya cara untuk menstabilkan suaranya yang gemetar. "Dan soal aku dengan Reza—"

"Jadi kamu AKUI!" Gavin berdiri tiba-tiba, sesuatu di wajahnya berubah—dari penyesalan menjadi amarah lagi, dari korban menjadi accuser. "Kamu akui kamu selingkuh juga!"

"Ya," kata Larasati dengan suara yang tenang, yang membuat Gavin terdiam. "Aku akui. Aku bertemu Reza. Aku menghabiskan waktu dengannya. Dan dia... dia memberikan aku sesuatu yang kamu tidak berikan lagi."

"Jadi kita sama," kata Gavin, ada nada triumph yang salah tempat di suaranya. "Kita berdua selingkuh. Kita berdua salah. Jadi kita—"

"Kita TIDAK sama!" bentak Larasati. "Aku tidak selingkuh sambil bohong setiap hari. Aku tidak selingkuh sambil planning untuk menghancurkan hidupmu. Aku tidak selingkuh selama BERTAHUN-TAHUN sambil buat kamu merasa gila karena curiga!"

Gavin terdiam.

"Aku bertemu Reza setelah aku tahu pernikahanku sudah mati," lanjut Larasati, dan sekarang suaranya dingin—dingin seperti es yang tidak akan pernah mencair lagi. "Setelah aku tahu suamiku tidak mencintaiku lagi. Setelah aku mengumpulkan cukup bukti untuk perceraian. Aku tidak selingkuh untuk merusak pernikahan—aku mencari kehangatan karena pernikahanku sudah dirusak olehmu."

"Tapi tetap saja kamu—"

"Kalau kamu bisa selingkuh," potong Larasati, menatap Gavin dengan tatapan yang membuat suaminya tidak bisa menatap balik, "aku juga bisa. Sekarang kita impas, Gavin."

Kata "impas" menggantung di udara—kata yang berarti balance, tapi di konteks ini hanya berarti kehancuran yang merata.

Gavin menatap Larasati dengan mata yang terluka—terluka dengan cara yang tidak rasional, dengan cara yang hypocritical. "Jadi kamu beneran sama Reza?"

Pertanyaan itu keluar dengan nada yang membuat Larasati ingin tertawa dan menangis sekaligus. Setelah semua yang Gavin lakukan, setelah semua bukti yang tersebar di sofa—dia masih punya audacity untuk merasa terluka karena Larasati melakukan sebagian kecil dari apa yang dia lakukan.

"Ya," jawab Larasati simpel. "Aku sama Reza. Dan kamu tahu apa bedanya?"

Gavin tidak jawab—hanya menatap dengan mata yang berkaca-kaca.

"Reza memperlakukan aku seperti aku berharga," kata Larasati, dan untuk pertama kalinya sejak pertengkaran dimulai, suaranya lembut—lembut dengan cara yang membuat kata-katanya lebih menyakitkan. "Dia mendengarkan saat aku bicara. Dia peduli tentang hariku. Dia membuat aku merasa cantik, merasa dicintai, merasa... merasa seperti aku masih perempuan yang worth something, bukan hanya... hanya mesin yang masak dan bersih-bersih dan jaga anak."

Setiap kata menusuk Gavin seperti pisau.

"Jadi ya, aku sama Reza," lanjut Larasati. "Dan aku tidak menyesal. Karena untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, seseorang membuat aku merasa hidup. Dan orang itu bukan suamiku. Orang itu bukan orang yang berjanji untuk mencintaiku sampai maut memisahkan kita. Orang itu adalah sahabatmu—sahabatmu yang ternyata lebih tahu cara menghargai aku daripada kamu."

Gavin jatuh duduk lagi, wajah di tangannya, bahu bergetar dengan isakan yang tidak bisa dia control lagi.

Dan Larasati berdiri di sana—berdiri di ruang tamu rumahnya sendiri yang sekarang terasa seperti medan perang—merasakan campuran emosi yang tidak bisa dia untangle. Amarah. Kesedihan. Lega. Guilt. Penyesalan. Kebebasan.

Semuanya sekaligus. Semuanya overwhelming.

"Aku mau kamu keluar," kata Larasati akhirnya, suaranya lelah sekarang—lelah dari berteriak, dari menangis, dari bertahun-tahun menyimpan rasa sakit. "Ambil barangmu dan pergi. Lawyer-ku akan contact kamu minggu depan untuk mulai proses perceraian. Dan Gavin—" dia tunggu sampai suaminya mengangkat wajah untuk menatapnya, "—jangan coba-coba untuk fight aku dalam custody. Karena dengan semua bukti yang aku punya, kamu tidak akan menang. Dan aku akan pastikan Kiran dan semua orang di perusahaanmu tahu apa yang kamu lakukan."

Ancaman itu delivered dengan suara yang tenang, yang membuat lebih menakutkan daripada teriakan.

Gavin mengangguk—anggukan kalah dari pria yang sudah tidak punya senjata lagi untuk fight.

Dia berdiri dengan gerakan lambat, ambil tas ranselnya yang tadi terjatuh, dan berjalan ke pintu. Tidak ada lagi usaha untuk membela diri. Tidak ada lagi kata-kata maaf yang kosong.

Di ambang pintu, Gavin berbalik satu kali terakhir. "Lara... aku... aku beneran cinta kamu dulu. Di awal-awal. Aku beneran cinta."

Larasati menatapnya dengan mata yang kering sekarang—sudah tidak ada lagi air mata tersisa. "Aku tahu," bisiknya. "Dan itu yang membuat ini semua lebih menyakitkan. Karena aku tahu kamu dulu mencintaiku. Dan aku tahu persis kapan kamu berhenti."

Gavin tidak bisa menatap lebih lama. Dia buka pintu dan keluar—keluar dari rumah, dari pernikahan, dari kehidupan yang dia hancurkan sendiri.

Pintu tertutup.

Dan Larasati sendirian.

Dia berdiri di tengah ruang tamu dengan foto-foto pengkhianatan masih tersebar di sofa, dengan echo dari teriakan masih bergema di dinding, dengan perasaan yang terlalu kompleks untuk diproses.

Ponselnya berbunyi—pesan dari Reza: _"Kamu baik-baik aja? Aku merasa ada yang tidak beres. Butuh aku datang?"_

Larasati menatap pesan itu dengan perasaan yang campur aduk. Reza. Pria yang memberinya kehangatan saat dunianya paling dingin. Tapi juga pria yang—secara teknis—menjadi bagian dari alasan pernikahannya officially berakhir.

Tapi apakah pernikahan itu sudah berakhir sejak lama sebelum Reza masuk ke gambar?

Dia tidak tahu lagi. Dia tidak yakin dengan apa pun lagi.

Dengan tangan yang gemetar, dia ketik balasan: _"Aku... aku perlu waktu sendiri malam ini. Maaf. Aku akan telepon besok."_

Kirim.

Lalu dia matikan ponselnya, jatuh duduk di sofa yang sama tempat Gavin tadi duduk, dan menatap kosong ke dinding.

Rumah ini terlalu sepi sekarang. Terlalu besar untuk satu orang. Terlalu penuh dengan hantu dari kehidupan yang dulu ada.

Dan Larasati, untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, benar-benar sendirian.

Tidak ada suami di lantai atas. Tidak ada ilusi pernikahan bahagia. Tidak ada lagi berpura-pura.

Hanya dia, kehancuran, dan pertanyaan yang tidak terjawab:

Sekarang apa?

---

**Bersambung ke Bab 20

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!