Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pendekar Bayusi
30 September 1982, sehari sebelum Ujian Nasional Naik Sabuk.
Mbah Kunto mengajak Tim Sapta-Cindeloka, Shiva, dan Lisna-untuk mengunjungi kompleks makam Suryadwipa. Langit sore tampak pucat, seperti menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Suasana hening mengikuti mereka memasuki gerbang makam yang dipenuhi ornamen khas Hindu Bali. Nisan-nisan batu berhias aksara Bali berdiri dalam kesunyian, seolah menunggu doa dari para penerus yang masih hidup.
Di hadapan tujuh makam yang berjajar, Mbah Kunto dan Tim Sapta duduk bersila.
Mbah Kunto menggumamkan doa dalam tradisi Hindu Jawa.
Cindeloka memadukan doa Buddha dan Sunda Wiwitan, menunduk dengan tatapan khidmat.
Shiva merapal doa Hindu Bali dengan mata terpejam.
Sementara Lisna meraba rosarionya, membisikkan doa Katolik.
Setelah doa usai, Cindeloka memecah keheningan.
"Mbah... siapa sebenarnya Pendekar Revolusi?"
Mbah Kunto menarik napas panjang, tatapannya tertuju pada nisan yang paling tengah.
"Kisah ini... lebih kelam daripada yang kalian bayangkan."
Ia mulai bercerita.
Pada masa pergolakan Bumi Nusantara awal 1960-an, ketika badai ideologi dunia mulai mengaduk-aduk nalar manusia, sebuah tragedi kelam terjadi di balik tembok padepokan yang seharusnya menjadi benteng ilmu dan kehormatan. Tragedi itu kelak dikenal sebagai Pembantaian Bayusi, sebuah noda yang bahkan waktu pun enggan menghapusnya.
Di pusat tragedi itu berdiri sebuah kelompok radikal yang menamakan diri mereka Blok Pinurba, sebuah faksi kecil berlandaskan ajaran komunisme yang telah terdistorsi oleh fanatisme dan amarah, hingga berubah menjadi gerakan gelap yang berambisi menggulingkan tatanan Pandega Bumi Nusantara. Bagi mereka, disiplin padepokan hanyalah alat pengekang yang harus dihancurkan dari akar-akarnya.
Yang menjadi korban adalah enam Taruna muda serta satu Pandega yang menjadi mentor mereka-tujuh jiwa yang kelak terkubur di lubang misterius bernama Bayusi, sebuah cekungan tanah purba yang menurut legenda adalah mulut bumi yang menelan pengkhianat dan orang tak berdosa tanpa membedakan keduanya.
Nama-nama itu kelak menjadi bisikan yang hanya disebut saat api dupa dinyalakan dan pintu-pintu ditutup rapat.
Merekalah yang malam itu ditakdirkan menjadi saksi bisu kegilaan Blok Pinurba:
Argani Sunda (1920) - si pendiam yang hatinya selalu lebih besar daripada kata-katanya.
Byratta Wijaya (1920) - penerus keluarga pendekar yang selalu percaya bahwa ilmu harus dipakai untuk melindungi.
Caya Sutena (1920) - salah satu murid paling cerdas dalam strategi pertempuran, dikenal karena senyum lembutnya.
Suki Chaniago (1925) - bocah rantau yang giat, dikirim keluarganya untuk mencari masa depan yang cerah.
Dierja Cibero (1925) - keras kepala, namun setia sampai napas terakhir.
Ibrahim Padusi (1940) - ahli kanuragan muda yang masih mencari jati dirinya. Korban termuda diantara kelima Taruna.
Cakra Wisesa (1925) - Pandega Bumi Nusantara, mentor keenam taruna itu, sekaligus satu-satunya yang benar-benar memahami bahaya ideologi Pinurba dari akarnya.
Malam ketika tragedi terjadi bukan malam biasa. Langit bergulung seperti tinta hitam yang diaduk, dan angin membawa bau tanah basah yang belum pernah tercium sebelumnya. Para taruna baru saja menyelesaikan latihan malam ketika kabut turun cepat-terlalu cepat untuk dianggap wajar.
Dari balik kabut itulah Blok Pinurba bergerak. Mereka mengenakan penutup wajah merah darah, simbol keyakinan bahwa perjuangan harus "lahir dari pengorbanan sebesar samudra." Ideologi yang mulanya berbicara tentang kesetaraan berubah menjadi obsesi untuk menyingkirkan siapa pun yang tidak sejalan.
Cakra Wisesa sebenarnya sudah curiga pada gerakan bawah tanah itu sejak beberapa bulan sebelumnya. Namun ia tidak pernah menyangka bahwa para pemberontak nekat menyerang jantung padepokan pada malam yang dijaga para bintang.
Ketika kabut semakin pekat, enam taruna itu dipisahkan dari kelompok besar dalam kekacauan yang sengaja diatur. Mereka ditangkap dalam senyap, tanpa suara perang, tanpa perlawanan berarti-karena mereka tidak pernah menyangka saudara sendiri akan mengangkat tangan terhadap mereka.
Cakra Wisesa adalah satu-satunya yang melawan. Ia berdiri di antara tarunanya dan para penyerang, menolak mundur meski jumlah musuh berlipat. Namun ia kalah bukan karena kurang tenaga, melainkan karena pengkhianatan-salah satu Pandega muda yang telah lama dipengaruhi Pinurba.
Pengkhianatan itu mematahkan keseimbangan. Cakra tumbang bukan oleh musuh, melainkan oleh seseorang yang ia percayai.
Blok Pinurba memutuskan untuk menghapus jejak. Di sisi barat hutan padepokan terdapat sebuah cekungan tanah raksasa-Lubang Bayusi. Konon para tetua percaya bahwa lubang itu adalah tempat "bumi menelan beban yang tidak ingin dibawanya lagi."
Pada malam itu, Bayusi menjadi saksi bisu tujuh tubuh yang dilemparkan ke dalamnya. Tidak ada doa. Tidak ada ritual. Hanya suara tanah runtuh dan desis angin yang seperti menahan tangis.
Lama setelah para pemberontak pergi, kabut di sekitar Bayusi tidak pernah hilang. Murid-murid yang lewat mengaku mendengar bisikan nama-nama itu dari kedalaman lubang. Para tetua menyebutnya "panggilan jiwa yang belum selesai."
Pembantaian itu mengguncang Padepokan Bumi Nusantara. Seluruh padepokan berkabung selama empat puluh hari. Nama tujuh korban dilarang diucapkan secara sembarangan, bukan karena aib, tetapi karena mereka diyakini masih menjaga padepokan dari sisi yang tidak terlihat.
Blok Pinurba akhirnya dihancurkan, namun pecahan ideologinya tetap bertebaran seperti bara kecil menunggu angin. Beberapa mengatakan bahwa roh Cakra Wisesa masih menjaga para murid dari balik kabut, masih membawa tekad untuk menjaga tanah air dari kegelapan.
Sebagian lain percaya bahwa enam taruna itu bukan mati... melainkan menunggu saat ketika Bayusi kembali membuka jalannya.
Sejak saat itu, tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Revolusi Sang Pendekar-hari untuk mengenang keberanian mereka menolak tunduk pada tirani.
Tim Sapta mendengarkan dengan wajah tegang. Shiva menelan ludah, menyadari darah yang mengalir di tubuhnya berasal dari seorang pahlawan yang gugur dengan cara mengenaskan Mbah Kunto berdiri perlahan.
"Ayo. Besok adalah hari besar kalian. Hargai perjuangan mereka."
*
Sementara itu, di Menara Sarasvati, Pandega Indra menerima kedatangan Ki Bagawanta. Bagawanta menyerahkan kertas daftar peserta ujian perwakilan Suryajenggala. Mata Indra membesar saat membaca salah satu nama.
Cindeloka.
Indra tiba-tiba merasakan kecemasan.
Ia takut Cakra Gundam-kekuatan misterius dalam diri Cindeloka-kembali meledak di tengah ujian. Dan lebih dari itu ia khawatir Nyi Rangdageni akan memanfaatkan momentum ini untuk melakukan kekacauan besar.
"Apa! Cindeloka berpartispasi dalam Ujian ini, Baga!" ujar Indra seraya memegang kertasnya dengan mata membulat takut, tegang dan berkeringat dingin.
"Iya! Guru! Dia sendiri yang minta" balas Baga dengan wajah pasrah dan menunduk.
Indra menghela nafas sejenak dan berjalan ke arah Jendela menatap pemukiman Suryadwipa dari atas.
"Aku khawatir! Maung Bodas dalam tubuh Cindeloka akan mengamuk di tengah ujian dan membahayakan peserta yang lain, ditambah lagi, Nyi Rangdageni ingin memanfaatkan momentum tersebut untuk menjadikannya inang selanjutnya." ujar Indra dengan nada pelan namun wajahnya penuh kecemasan yang dalam.
Ki Bagawanta menghampiri Indra, memegang bahunya dan menatap langit Menara Sarasvati, berdoa dalam hati.
"Semoga para dewa menutup mata atas kemungkinan terburuk".
*
Malam hari, di asrama putra Suryajenggala.
Cindeloka terbaring di ranjang, menatap langit-langit sambil merenungkan ujian nasional. Bayangan pertempuran, ketakutan akan Nyi Rangdageni, dan keraguan terhadap dirinya sendiri bercampur menjadi satu.
Pikirannya menyinggung satu nama: Mawar Sunda, guru Tim Nawa.
Ia masih tidak mengerti bagaimana guru itu bisa selamat dari tragedi masa lalu yang disebut-sebut paling kelam di Suryajenggala.
"Bagaimana bisa! Dia bisa selamat dari peristiwa itu? Padahal yang lainnya sudah menjadi mayat termasuk orangtuaku!" Gumamnya dalam hati.
Sesekali ia melirik Shiva yang sudah tertidur pulas.
Dalam diam itu, ia merasa sesuatu yang belum pernah muncul sebelumnya:
ketakutan untuk kehilangan orang-orang yang mulai berharga baginya.
Cindeloka menutup mata, menunggu pagi datang.