Kata orang, hal yang paling berkesan dan takkan pernah bisa dilupakan adalah malam pertama. Tapi untuk seorang gadis bernama Jaekawa Ayu, malam pertama yang seharusnya bisa ia kenang seumur hidup justru menjadi hal yang paling ingin ia hapus dari ingatan.
Bagaimana tidak, ia melakukannya dengan lelaki yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Lama melupakan kejadian itu, takdir justru mempertemukan Jae dengan lelaki itu di satu tempat bernama Widya Mukti. Apakah Jae akan menagih janji itu atau justru berpura-pura tak mengenalnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31# Puncak emosi Jae
Awalnya Jae hanya ingin mengusir Fahrizal yang datang bersama Angga, namun ketika Fahrizal menerima telfon dari Sion dan Jae menyadari itu, Jae menyalakan speaker di ponsel Fahrizal. Kemarahan yang lalu kembali memuncak, entahlah...setelah apa yang terjadi padanya, Jae begitu marah, benci dan murka pada sosok bernama Sion Dewangga itu. Hidupnya belakangan ini kacau.
"Zal, buru....gue balik sendiri ke Rancasawa apa gimana? Kalo 10 menit Lo belum balik gue tinggal ya bareng Angga, ya..."
Panggilan itu mati.
"Sion dimana?" tanya Jae, Fahrizal dan Angga terlihat saling melirik saat menemukan wajah dingin Jae, "jawab." Ia lantas mengeratkan cengkramannya di kerah baju Fahrizal dan mengguncangnya.
"Di..." ia mele nguh, " janji, kalo gue bisa ketemu Bian dulu?" pinta Fahrizal.
"Mau Lo itu mah! Enak aja!!!" Rani dengan wajah gemasnya mendorong kepala Fahrizal kesal. Bahkan sejak tadi ia yang menekan bahu dan tangan Fahrizal di tembok bersama Salsa.
Namun Jae justru, "oke. Bianca bakalan jalan balik kesini kalo Lo bilang---"
"Sion di gerbang Widya Mukti, Jae...udahlah Zal, toh lambat laun Sion juga bakalan ketemu Jae lagi di kampus." Ujar Angga ingin selamat, kenapa juga ia harus terlibat masalah kedua temannya ini yang justru merugikannya sebab Andara dan Sesil sudah memegangnya hingga menempel di tiang posko layaknya maling ayam.
Jae lantas mengambil kunci motornya, menyerahkan Fahrizal dan Angga pada keempat temannya itu, tak lupa ia menenteng helm, bukan untuk kepalanya tentu saja, namun untuk ia hantamkan di kepala Sion.
"Jae! Jaeeee!"
"Astagaaaa!" Andara dan Salsa melepas pegangannya dan bermaksud mengejar Jae.
Bersamaan dengan datangnya mobil KKN 21 yang melihat kepergian Jae dengan motornya, bahkan Jae masih memakai dress tadi.
"Kemana tuh?!" tanya Alby melihat Jae menggeber motornya.
Dan kepanikan mulai terjadi, Dengan Salsa dan Andara yang meneriaki, "Jaeeee!!!"
"Kenapa sih, ada apa?!" tanya Bianca ikut panik, dan pandangannya jatuh pada Fahrizal, "Rizal? Angga?"
"Bang! Pinjem motor bang!" panik Andara, "Jae mau nemuin Sion di gerbang Widya Mukti."
"Mamposss kan," Arlan bergegas turun dari mobil dan mengambil motor Co-op lalu mengejar Jae.
"Sion siapa?" tanya Senja.
"Sion mantannya Jae, kak...ngga tau ada masalah apa tapi kayanya Jae murka banget."
Sion mendengar deru berat mesin motor dari arah dalam Widya Mukti, dan saat ia menoleh ke belakang....itu Jaekawa.
Senyumnya menyeringai meski terkejut pada awalnya, terakhir kali, ia disiram jus alpukat oleh Jae, dipermalukan satu kampus.
"Hehey....kordes KKN 30 cantiknya."
"Perse tan sama badji ngan kaya Lo." Jae melayangkan helmnya ke arah Sion yang kemudian ditepis pemuda itu.
"Apa-apaan nih?!" tanyanya tak terima.
"Gara-gara Lo hidup gue belakangan ini ancur! Lo bang sat Sion!" kembali Jae sudah melayangkan helmnya membuat Sion menghindar dengan menepis hingga helm Jae terjatuh dan siap melawan Jae.
"Masih bahas obat dan minuman itu? Toh Lo baik-baik aja kan, atau...." tembaknya.
"Gue benci Lo! Sampai kapan pun Lo badji ngan. Beraninya Lo munculin muka Lo disini!"
"Jawab gue Jae! Lo ngapain dan ketemu siapa sore itu?!" kini Sion mencekal tangannya, namun Jae melayangkan tamparannya di pipi Sion dengan sebelah tangan lainnya.
*Plakk*!
"Ngga penting gue ketemu siapa! Yang jelas, gue mau, lo rasain apa yang gue rasain !" Jae kembali ingin melayangkan tangannya namun Sion menahannya kembali, tak kehabisan akal, Jae menendang pusaka milik Sion.
*Bugh*!
Sion mengerang hingga terpundur dan hampir terpental jatuh.
"Cewek si alan." Ringisnya bangkit, "gue end--toottt baru nyaho Lo!" Sion bangkit dan hendak meraih Jae. Namun dari arah tak terduga, satu tendangan mampu membuat Sion terpental jatuh ke tanah.
"An jing. Lo cowok kan?!" Arlan menarik Jae ke belakang badannya, "jadi Lo mantan breng seknya Jae?"
"Ngga usah ikut campur, Lo siapa! Pacar barunya nih cewek gila?"
"Kenapa emangnya? Penting buat Lo? Pergi Lo bang sat." usir Arlan.
Sion bangkit dan menggeleng, "Lo liat aja Jae...Lo liat ya, Lo bakalan nyesel pernah gini sama gue. Gue bersyukur putus dari Lo. Lo ngga tau caranya bersenang-senang, Lo pikir Lo cewek oke?! Buka mata Lo! Ngaca! Lo juga gampang di be go-be goin..." Ucap Sion kini naik ke atas motornya dan pergi.
Tatapan Jae masih menatap ke arah perginya Sion.
Arlan menaruh kedua tangannya di pinggang, "emosi bikin lupa caranya koordinasi, ya?"
Jae bersandar sejenak di motornya, mengusap wajahnya kasar dan menatap kedua tangan yang memerah sebab tadi di cengkram Sion kencang.
Arlan berdiri di hadapan Jae dan menarik kepala Jae ke dadanya, "jangan bertindak sendiri ngikutin emosi. Terlebih dia cowok...sekuat-kuatnya kamu, tenaga kamu bakalan kalah sama dia."
"Rasanya emosi aku udah meluap-luap aja begitu denger suaranya. Padahal sebelumnya masih bisa diredam cuma siram dia pake jus alpukat...tapi sekarang tuh kaya ada emosi yang numpuk terus baru bisa meledak." Akui Jae.
Arlan mengehkeh, "mau nuntasin emosi? Barangkali ada yang tertinggal sebelum aku pulang, besok?"
Jae mendongak menatap Arlan.
Laju ban motor besarnya menggilas jalanan menuju jembatan goyang dimana kabel dengan lapisan paralon yang melintang sejauh jembatan ini adalah aliran listrik untuk lampu jalanan di rumpun bambu.
Arlan menghentikan laju motornya bersama Jae yang mengikutinya di belakang.
"Mau ngapain disini?" tanya Jae dimana langit sore yang warnanya itu gradasi jingga dan keunguan yang langka sekali ia lihat. So beautiful.....Kenapa ia baru notice dengan langit ini, padahal ia ada sejak hari pertama Jae dan kawan-kawan datang. Menyambut namun tak di lihat. Suara aliran deras air terdengar bahkan sejak jarak puluhan meter.
"Icon Widya Mukti..." jawab Arlan mengajak Jae untuk berjalan di atas jembatan yang di bawahnya adalah aliran sungai besar yang suara derasnya membuat sebagian nyali ciut.
Arlan juga menunjuk ke arah ujung jembatan dimana hamparan sawah warga dan sungai tempat kincir air Jovi berada.
"Mau lihat proker KKN 21 dulu?" ajaknya.
"Tapi itu motor?" tanya Jae.
"Aman lah sebentar. Nanti kita balik lagi kesini." jawabnya.
Ada putaran kincir besar oleh arus air yang deras, bahkan suara riak airnya itu terdengar nyaring di telinga Jae, bukan berisik namun menghanyutkan dan tenang terkendali. Suara alam memang tak pernah gagal membuat jiwa tenang.
Dua roda kincir air besar yang bergerak terhubung dengan generator mengubah energi kinetik menjadi mekanik. Cantik sekali dua roda yang berputar dilatari sawah hijau membentang, sungguh selama lebih dari 3 hari Jae disini ditambah waktu survey, ia luput mengagumi keindahan alam disini.
"Buat KKN 21 itu bukan hanya sekedar turbin yang berputar sepanjang hari sebagai pembangkit listrik aja." Arlan mendekap kedua tangannya di dada sambil memandang jauh ke arah kincir seperti sedang melihat makna terdalam.
"Tapi sarana untuk kita belajar, memupuk kebersamaan, kekeluargaan, suka duka. Dari proker ini kita akhirnya tau sifat masing-masing, saling menerima, menciptakan ikatan dan perasaan yang ngga bisa diukur dengan kata persaudaraan." Ucap Arlan.
Ia terus saja berputar tak pernah berhenti sepanjang aliran airnya mengalir, mata Jae nyaman melihat itu.
"Asli, keren deh..." akui Jae mengangguk, melihat mereka masih berputar seperti sedang berkejaran dengan riak airnya, membuat...tenang.
Arlan menoleh dan menatap Jae, "besok aku pulang. Baik-baik disini, jangan kaya tadi lagi. Selesaikan KKN dengan hasil sesuai ekspektasi, aku tunggu di Jakarta."
Kini Jae yang menoleh mendongak menatap Arlan dimana kini jaraknya lebih dekat dari sebelumnya, bahkan bisa dikatakan tak ada lagi jarak.
Arlan meraih kedua bahu Jae dan menunduk demi menyatukan bibirnya dengan bibir Jae. Tidak singkat namun tidak pula lama. Anehnya Jae tak mau menolak itu, sungguh Jae tidak berniat menendang Arlan layaknya menendang Sion tadi.
Bibir itu berpindah mengecup kening Jae hangat.
Jangan...jangan berhenti, Jae dan Arlan ingin waktu berhenti untuk saat ini.
.
.
.
.