Mengkisahkan Miko yang terjebak lingkaran setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romi Bangun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LINGKUP
Langit sore mulai sepenuhnya mendung. Terlihat juga rintik gerimis yang turun perlahan membasahi jalan.
Sebagian rekan sudah pamit pulang sedari tadi. Hanya tersisa empat orang termasuk aku dan Yudha.
"Gue kalo inget itu selalu kagum Mik.." ucap Yudha.
"Tapi gue mah gak berani barbar, mending pasang togel.. hahahaha.."
Aku tertawa kecil. Ada rasa bangga yang sempat mampir, tapi cepat tenggelam. Rasanya abu-abu. Bahkan condong ke sakit.
"Lah, sesuai prinsip.. cacing-cacing naga-naga!" jawabku bersandiwara seolah masih ingin tenggelam.
Kami berdua pun tertawa kecil.
Sayangnya, disela gerimis ini Yudha harus pamit pulang. Tentu saja wajar, istrinya pasti mengkhawatirkannya.
Dan saat Yudha mulai memacu kuda besinya, aku teringat..
"Oh iya, gue belum cerita perkara pinjol yang bengkak..." gumamku.
Yudha lebih berpengalaman soal ini. Mungkin ada lebih dari dua puluh juta ia galbay dari pinjol.
Galbay atau gagal bayar. Istilah bagi orang yang terjerumus pinjol namun enggan membayarnya.
Bukti bahwa pinjol juga kejam. Sekelas Yudha yang karyawan tetap saja kesulitan untuk membayarnya.
Apalagi aku.
"Kalau gue galbay aman gak ya..?"
Langit semakin gelap. Namun gerimis reda begitu saja. Aku beranjak dari kursi untuk menuju penjaga warkop.
Setelah membayar dua gelas kopi, aku langsung pulang.
Saat perjalanan pulang aku mengecek notif dari ponsel.
Pesan dari Hendra, "Jadi ngabarin kagak jir.. gue masuk malem soalnya."
Aku mengabaikannya dan terus beranjak pulang.
-
Sesampainya di kosan, aku langsung berbaring. Tak ada mandi ataupun makan, hanya rebahan dan scroll sosmed.
Di sela itu, aku menemukan postingan lowongan kerja di Instagram.
"Dibutuhkan Operator Produksi, Umur Maksimal 22 tahun......"
Postingan yang menarik dan template yang meyakinkan. Didukung dengan ratusan komentar pada postingan tersebut.
Aku kemudian melihat akun pemilik postingan, BKK SMK 3 Kota Bekasi.
"Lah, ini mah yang gue sering kesana..."
"..berarti terpercaya, besok gue samperin."
Aku pun mempersiapkan berkas yang dibutuhkan.
Tak lupa aku membuat secangkir kopi, lagi. Kopi ketiga yang ku minum hari ini.
Setelahnya aku kembali duduk di keramik yang dingin. Bersila sambil bersandar pada tembok yang warnanya lusuh.
Dan kembali memainkan ponsel.
Drrttt drrttt
Di sela layar ponsel yang terus ku gulir tanpa tujuan, namanya muncul. Naila.
Kekasihku, yang jarang ku hubungi.
Aku terdiam sebentar sebelum mengangkatnya. Bukan karena sibuk, tapi karena ragu dengan diriku sendiri.
"Halo…" suaranya terdengar cerah, seperti biasa.
Jarak ratusan kilometer tak pernah berhasil mengikis kepolosannya.
"Kamu lagi ngapain?" tanyanya ringan.
"Lagi di kos," jawabku singkat. Terlalu singkat, seolah takut ada kebohongan yang ikut keluar.
Dia bercerita hal-hal kecil. Tentang hujan di kotanya. Tentang temannya yang salah naik ojek online.
Tentang rencana makan malam sederhana yang gagal karena hujan. Hal-hal sepele yang anehnya terasa mahal bagiku sekarang.
"Kamu capek ya?" tanyanya tiba-tiba.
Aku terdiam. Pertanyaan sederhana, tanpa tuduhan. Tapi dadaku seperti ditekan pelan.
Rasanya, dia tau aku sedang bertarung dengan badai.
"Sedikit," jawabku.
"Yaudah, jangan dipaksa ya. Kamu kan udah berusaha."
Nada suaranya tulus. Masih belum tahu apa-apa tentang pinjol. Tentang situs.
Tentang angka-angka yang lebih sering ku pikirkan daripada wajahnya sendiri.
Aku tersenyum kecil, tapi senyum itu pahit.
Bagaimana mungkin seseorang sepolos dia masih percaya padaku.
Sementara aku sendiri sudah lama tak percaya pada diriku?
"Kamu jangan telat makan," lanjutnya.
"Kalau ada apa-apa, cerita ya. Jangan dipendem sendiri."
Aku mengiyakan, meski tahu aku sering berbohong pada janji sekecil itu.
"Dan kalau udah mentok, pulang aja dulu gapapa.. kan disini ada aku." imbuhnya.
Batinku langsung menolak. Bukan karena tak mau, tapi karena malu. Malu pulang sebagai pecundang.
Itulah alasanku berusaha menetap disini walau semakin hancur.
Panggilan berakhir dengan tawa kecil dan ucapan hati-hati.
Layar kembali gelap.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa benar-benar malu.
Bukan karena kalah.
Tapi karena ada seseorang yang masih menganggap ku layak dipercaya. Sementara aku sibuk menghancurkan diriku sendiri.
Aku sungguh takut mengecewakanmu
Disisi lain, aku juga takut kehilanganmu.
Buruknya diriku, sering meninggalkan gadis sepertinya kesepian.
"Beneran dah... ternyata masih banyak yang percaya gue.." pikirku, sambil menggapai segelas kopi yang mulai dingin.
Malam mulai larut, saatnya untuk hilang dari realita sementara. Selamat datang dunia mimpi, aku harap mimpi kali ini cukup indah.
-
Paginya aku bangun pukul delapan pas. Tanpa alarm, hanya feeling yang ku andalkan seperti dulu.
Aku bergegas untuk mandi. Setelahnya ganti baju yang rapi untuk datang ke BKK.
"Sesuai postingan kemarin, hari ini lowongan nya terbatas." gumamku sembari menyemprot parfum.
Jika tak segera, lowongan akan terisi penuh sebelum kemudian ditutup.
Tanpa sarapan aku langsung menuju motor. Dan memacunya pergi ke BKK.
TINNNNNN!!!
Tiba-tiba ada pengendara motor yang asal menyebrang di perempatan.
"Woy goblok!" aku berteriak keras, memaki pengendara itu yang pergi begitu saja.
Untungnya aku sempat mengerem meski hampir terserempet. Tapi karena itu aku juga sadar satu hal.
"Duh, pengereman gue agak gak beres nih..."
Sesampainya di BKK aku langsung menuju lobby. Menanyakan terkait lowongan yang diposting oleh pihak mereka.
"Lah, bukannya kemaren ikut tes mas?" sambut penjaga loket.
Ternyata dia ingat aku.
"Hehe, gagal pak.." jawabku.
Setelah bertanya singkat, dia membenarkan postingan itu.
"Untung situ datang pagi, soalnya udah hampir penuh... kurang tiga orang lagi mas."
Aku terkejut mendengarnya. Sekaligus bersyukur. Jika tadi aku tak memilih segera bangun, selesai sudah.
Berkas diurus, dan aku lolos administrasi. Jadwal test menyusul akan di informasikan lewat pesan WhatsApp.
"...kalau begitu terimakasih Pak." ucapku.
Setelahnya aku berjalan menyusuri lobby. Sembari melihat-lihat situasi sekolah. Ada rasa rindu sekolah tumbuh dihati.
"Piala berjejer banyak gitu, lomba apa aja ya?" gumamku sambil melihat lemari kaca besar berisi puluhan piala.
Melihat sisi lain, ada siswa siswi yang tengah praktek olahraga. Membuatku semakin rindu masa-masa sekolah.
Meski begitu, tak ada niat sekecil pun untuk mengulangi masa itu. Aku benci matematika.
Padahal, justru matematika yang sering menjadi juri saat tes kerja seperti ini.
Aku menuju parkiran, sambil menelpon Hendra. Rasanya ingin mampir sebentar sambil ngopi.
"Ada dimana lu?" tanyaku dari telepon.
"Kosan, sini main.." jawabnya singkat.
"Otw.." tulis ku sambil berjalan memegangi ponsel.
Saat hendak memasukan ponsel ke dalam kantong. Notif berbunyi. Tapi bukan notif pesan seperti biasanya.
Suaranya familiar. Denting yang merdu nyaring seperti lonceng. Aku sangat mengenal suara notif ini.
Notif dari mobile banking.
Aku membuka layar lagi.
Rp100.000 telah diterima dari Yudha *****
Aku mematung.
Nominalnya kecil. Tapi dadaku seperti ditampar pelan.
Aku menutup layar.